Bagan 3 · Karamel

A m b i v e r t :

[noun] - a person whose personality has a balance of extrovert and introvert features.
.
·
"... an ambivert is someone whose in the middle of introvert and extrovert, they can walk comfortably both sides. This makes them very powerful —and, also ... very indecisive."
Graenolf

__________

TANGAN itu mungil dan lembut, tergenggam hangat dalam jabat Kevin.

"Karamel?" Cowok itu mengulangi nama yang unik terdengar di telinganya.

"Iya, biasa dipanggil Amel juga."

"Keren," gumam Kevin lirih. Karamel memiringkan kepala, mendekatkan telinga kearah Kevin sebab tidak terlalu mendengar kata-kata itu.

"Hm?" 

"Eh, nggak. Lo suka baca 'Supernova' juga?" Kevin menunjuk buku yang terlipat di meja Karamel. Gadis itu mengangguk antusias.

"Suka banget. Gue udah nungguin ini buku terakhirnya. Nggak nyangka kalo di perpus kampus ini ada," jelas Karamel. 

Iya, ada karena gue yang request, batin Kevin sambil tersenyum.

"Emang suka baca sci-fi, ya?" Kevin membenahi posisi duduknya, menghadap penuh ke arah Karamel.

"Sebenernya gue suka banget cerita superhero, tapi ini masuklah."

"Oya? Superhero? Kalo gitu, lo tim Marvel atau DC?"

Karamel mengulum senyum sebelum menjawab yakin, "Marvel lah! Gue pemuja setia Steve Rogers, si Kapten Amerika." 

"Wah? Kalo gitu kita perang sipil nih, gue ironhead garis keras, pencinta Tony Stark. Lo udah nonton film mereka yang Civil War, kan?"

Karamel menggeleng sedih. "Belom, nggak sempet."

"Seriusan? Lo harus nonton! Kebetulan weekend besok gue ada rencana marathon film Avengers bareng abang-abang gue ...." Kevin mengatup mulutnya ketika sadar akan apa yang barusan ia lontarkan. Bagaimana bisa percakapan ringan tentang buku novel malah berujung pembahasan yang menyenggol abang-abangnya? Terlalu cepat, Kevin!

"Lo ngajak gue nonton, nih?" Suara renyah Karamel sukses membuat cowok itu gelagapan. Sebelum Kevin bisa merespons, suara lain mengudara dari kursi sebelah mereka.

"Heh! Ssssttt! Kok lo malah jadi SKSD sih, Mel?? Bisa bahaya tauk!" Eliot mendesis persis ular derik. Amel memutar mata sekilas, tak menggubris sobatnya.

"Oiya, ini Eliot. Dia penyuka segala makhluk. Lo nggak homofobik kan?" ucap Karamel ke arah Kevin. Nadanya terdengar setengah bercanda.

"Heh, kurang ajer! Lau jangan becandain gosip durjana itu, deh, Mel! Temen gue bukan si?" Kali ini menggertakkan gigi, membuat Karamel tertawa pelan.

"Ampun, ampun. Becanda," ucap gadis itu.

Ah, beneran bercanda rupanya, batin Kevin setengah lega.

"Tenang aja Kev, Eliot ini seru kok anaknya. Baik pula." Karamel berkata seakan-akan punya kekuatan telepati. Apakah keraguan di wajah Kevin kentara sekali?

"O ya? Kalo seru dan baik, gue nggak peduli dia mau suka sama manusia ber-gender apa. Hai, Eliot, ya? Gue Kevin." 

Uluran tangan dari Kevin langsung disambut oleh teman Karamel itu, berujung jabatan tangan yang sengaja dilama-lamakan oleh Eliot, membuat Karamel lagi-lagi harus memukul tangan sobatnya hingga lepas. 

"Yot, jangan ganas-ganas!" desis Karamel.

Beberapa menit dilalui dengan interaksi bersama Karamel dan Eliot, Kevin bisa merasakan bagaimana atmosfer ruangan kelas ini menjadi ringan dan menyenangkan. Eliot dengan sifat ekstrovernya tidak overpowering layaknyKevin bergidik ketika membandingkan ini—Vero. Sementara Kramel, ah ... gadis ini merupakan titik tengah penyeimbang sempurna, menjadi penyalur tawa Kevin sekaligus wasit yang memawang kelaknatan Eliot.

Pak Albert menjelaskan sesuatu dengan suara lantang di depan kelas. Kevin terlalu asyik tenggelam dalam dunianya di kursi belakang bersama dua teman baru yang seru, sampai tak menggubris sedikitpun perkataan Dosen pengampu mata kuliah malam itu.

"Hey itu yang dibelakang! Kenapa malah diskusi sendiri?!" Teguran itu sontak membuat Kevin, Karamel, dan Eliot membeku seketika. Pandangan tajam Pak Albert kini mengarah lurus ke mereka.

"Kamu, Kevin Tjahyadewa! Jadi ketua koordinasi kelas, ya?" lanjut Pak Albert, membuat punggung Kevin tertegak kaku seketika. Pak Albert ... Albertus Dirandra. Ah! 

Kevin meringis tertahan. Ia baru ingat, Pak Albert ini adalah kolega papanya di firma hukum. Saat itu juga, Kevin merasa ingin menghilang dari kursinya.

"Baiklah class, silakan daftarkan kelompok kalian pada saudara Kevin di belakang sana. Sepeti yang tadi saya bilang, bentuk kelompok berisikan tiga anggota, lalu diskusikan bersama apa pengertian 'Pancasila' menurut pemahaman kalian. Ingat! Jadikan paper minimal seribu kata, dikumpulkan minggu depan!" 

Dalam hitungan detik, kursi Kevin didatangi beberapa mahasiswa dari seluruh kelas, bagai semut yang menyambut gula. Salah satu dari teman kelasnya memberikan lembar print-out berisi daftar absesi mahasiswa di kelas ini. 'Pak Albert bilang biar gampang ngedata,' katanya.

Kevin menarik napas, menguatkan diri dan mencoba tabah, mencatat nomor kelompok dari nama-nama teman kelas yang telah tercantum rapi.

Setelah badai mereda, Kevin memperhatikan lembaran yang kini sudah agak lecek.

"Oke, sisa kita nih yang belum dapet kelompok. Kalian mau jadi sekelompok, kan?" ucap Kevin sambil melirik ke arah Eliot dan Karamel. Dua manusia ini duduk kaku dengan mulut terkatup, sesekali saling pandang dengan tatapan mata tak terbaca.

"Mau kan? Sisa kita doang nih, pilihannya," lanjut Kevin sambil menelusuri daftar absensi itu. Tanpa menunggu respon Karamel maupun Eliot, Kevin mengangkat bolpoin dalam genggamannya, siap mencatat.

"Eliot Sanjaya ... oh, lo jurusan TI, ya?" Kevin membacakan data yang ada di hadapannya, dengan yakin menuliskan nomor kelompok '12', seragam dengan dirinya.

Kevin lanjut menelusuri daftar itu untuk mencari data gadis di sebelahnya, namun aneh ...

"Karamel? Nama lo yang mana ya, kok nggak ada? Apa jangan-jangan, sistem eror, ya, jadi nggak ke-print?" 

Tak ada jawaban. Kevin mengangkat pandangan, hanya demi bersitatap dengan wajah Karamel yang memucat seputih kertas.

"Lo sakit, Karamel? Eh ... yaudah tenang-tenang, gue yang urusin. NIM lo berapa? Nanti biar dicek ulang, nggak usah panik gitu." Kevin coba menjelaskan seiring Karamel mulai menggeleng-gelengkan kepala.

"Nggak," ucap gadis itu.

"Hah? Lo nggak mau sekelompok sama gue?" Kevin tak bisa menutupi kekecewaan dalam nadanya.

"Bukan gitu, gue .... "

"Karamel harusnya nggak ada di kelas ini, Kev." Desisan suara Eliot menyerobot pendengaran Kevin. 

"Maksudnya?" Kevin mengerutkan kening, tak mengerti. 

"Gue nggak kuliah di sini, Kevin." Karamel membisikkan pengakuannya. Wajah gadis itu terbuang ke sisi, menghindari tatapan Kevin. "Gue bukan mahasiswa kampus ini."

Butuh beberapa detik untuk Kevin bisa mencerna fakta itu. Pacu otak Kevin harus kembali melaju saat suara lantang Pak Albert kembali terdengar.

"OKE, kalau sudah selesai semua, kalian bisa duduk sesuai kelompok masing-masing untuk mulai diskusi. Kevin! Daftar nama kelompoknya sudah selesai, kan? Cepat bawa ke sini."

Adrenalin mengalir bagai derasan air terjun Niagara di tubuh Kevin. "Sebentar, Pak," lantang cowok itu. Buru-buru ia membuka ulang lembaran di hadapannya, meneliti barisan nama-nama mahasiswa yang bersisian dengan NIM mereka.

Beberapa detik berlalu dengan cepat, Kevin menuliskan sesuatu pada lembaran. Karamel menatap cowok itu dengan mata melebar, mempertanyakan apa yang ia lakukan.

"Percaya aja sama gue," pinta Kevin sambil beranjak dari bangkunya, menyerahkan lembaran itu kembali ke Pak Albert.

"Mampus gue, moga nggak di-DO gara-gara beginian ...." Suara Eliot terdengar lirih, membuat Karamel menoleh sontak menghadap sahabat kecilnya itu.

"Lo jangan ngaku kalo kenal ama gue, Yot. Mereka nggak akan tau. Biar gue aja yang kena." Karamel menggenggam tangan Eliot yang terasa dingin oleh keringat.

"Okeh," setuju Eliot sambil mengangguk yakin. 

Kevin kembali dengan senyum tersungging di wajahnya, membuat Eliot dan Karamel kompak bertanya 'gimana'.

"Tunggu aja," jawab Kevin sambil mendudukkan diri kembali di kursinya.

Pak Albert mengabsen sekaligus membacakan nomor kelompok di depan kelas. Karamel dan Eliot menunggu dengan harap-harap cemas, seakan sedang berada di kursi panas. Saat akhirnya nama Kevin disebutkan, telinga mereka terfokus penuh mendengar kata-kata Dosen itu.

"Kelompok dua belas; Kevin Tjahyadewa, Eliot Sanjaya, dan Eka Rizky."

Eliot dan Karamel ternganga sedetik, segera memborong Kevin dengan tatapan menuntut penjelasan. Cowok itu tersenyum lebar.

"Lo malsuin nama orang, Kev?" tuduh Eliot.

"Bukan, itu nama mahasiswa yang nggak masuk hari ini." Kevin mengangkat bahu, seakan-akan hal itu bukan sesuatu yang besar. 

"What?"  Eliot memekik tertahan.

"Udah, percaya sama gue." Kevin mengucapkan kata yang sama dua kali. Eliot mendelik setengah tak percaya, sementara Karamel mengembangkan senyumnya. Manis.

"Oke." Karamel mengangguk.

Setelah beberapa saat dilingkupi sunyi berbumbu kelegaan, Karamel mencondongkan tubuh sedikit ke arah Kevin, membisikkan sebaris kalimat pamungkas.

"Makasih udah nyelametin hidup gue sama Eliot ya, Kev. Ngomong-ngomong, Civil War-nya gimana tuh? Jadi ngajak nonton nggak nih?"


__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top