Bagan 2 · Gaduh
E x t r o v e r t :
[noun] - an outgoing, overtly expressive person
__________
SETIAP hal dalam dunia ini mempunyai dua sisi yang saling menyeimbangkan. Yin dan Yang. Order and chaos. Layaknya dua kutub berlawanan, keseimbangan tersebut merupakan magnet yang dapat saling tarik-menarik sekaligus tolak-menolak.
Begitu pula manusia beserta sifat-sifatnya. Berlawanan dan menyeimbangkan.
Kevin, seorang introver yang merasa nyaman dengan keheningan dan ketenangan dalam kesendiriannya, merupakan kutub yang bisa bertahan dengan kesunyian total tanpa interaksi dengan manusia lain selama berminggu-minggu.
Sebaliknya, orang yang ekstrover akan merasa selalu butuh, harus, kudu, wajib, dan haus akan sosialisasi dengan manusia lain. Mereka tak bisa hidup sendiri. Sangat benci dengan sepi. Sunyi rasanya mati.
Dan ... wujud ekstrover paripurna yang menjadi kutub balik seorang Kevin Tjahyadewa termaterialisasi dalam sosok Veronica Putri.
Ada pepatah barat yang mengatakan bahwa 'opposite attracts'. Konsepnya sama dengan magnet berlawanan yang saling tarik-menarik. Dua hal yang bertolak belakang mempunyai kemungkinan besar untuk saling melengkapi.
Itulah yang dirasakan oleh Vero. Di matanya, sosok Kevin yang dingin, diam, misterius, dan berjarak merupakan sebuah gunung es yang menantang untuk di tanjaki. Well, itu dan ... fakta bahwa Kevin gantengnya luar biasa.
Sejak hari pertama masa orientasi mereka sebagai mahasiswa baru, mata Vero tak bisa lepas memandangi Kevin yang saat itu berseragam kaos olahraga. Rahang Kevin yang berbentuk persegi kukuh, dengan rambut hitam dan mata yang teduh, menipis menjadi sebaris garis saat cowok itu tersenyum. Menawan. Sungguh menawan.
Cewek itu makin keranjingan ketika menghabiskan beberapa kelas mata kuliah pengantar di semester pertama bersama Kevin. Cowok yang sosoknya menyegarkan mata itu ternyata juga dapat menyegarkan otak. Kevin ternyata kritis dalam memahami materi perkuliahan meskipun sering diam dan jarang mengobrol. Cowok itu tak banyak bicara, namun menohok tepat sasaran ketika perlu menjawab pertanyaan.
Enam bulan pertama berkarir sebagai mahasiswa, Vero sudah bisa menyimpulkan bahwa Kevin bukan cowok biasa. Hati dan otak Vero sepakat bahwa sosok Kevin adalah investasi berharga untuk melengkapi hidupnya. Opposite attracts, katanya.
Begitu pula dengan magnet yang saling tarik-menarik, Kevin juga merasakan Vero sebagai sebuah magnet. Bedanya, daya yang dirasakan cowok itu adalah tekanan yang me-repel, mendorong dan menolak keberadaannya ke sudut paling jauh.
Berisik. Itulah satu kata yang muncul dalam benak Kevin setiap matanya bersirobok dengan sosok Vero. Bagi Kevin, tingkah laku Vero yang sangat mencolok membuatnya merasa tak nyaman, terintimidasi, dan ingin segera pergi meninggalkan ruangan itu. Mencipta jarak sejauh-jauhnya dari pusat kebisingan bernama Vero.
Jika memang cinta bisa membuat segalanya lebih indah, maka hal itu tidak berlaku bagi Kevin. Cinta Vero—jika itu memang bisa dikatakan cinta—merupakan suatu tragedi yang menebas habis kedamaian hari-hari kuliahnya.
Seperti sekarang ini.
"Keviiinnn~" panggil Vero nyaring seraya merangkul lengan cowok itu. Kevin buru-buru menarik lengannya lepas dari cengkraman pemangsa.
"Galak banget ih, kebiasaan. Kalo galak gini makin cakep looohhh!" Langkah kaki Vero berjalan cepat menyamai Kevin yang mulai melangkah terburu-buru, setengah berlari.
"Mau kemana sih? Ngapain buru-buru banget ... tungguin dong!" Cewek ini tak menyerah untuk melepaskan mangsanya, membuntuti Kevin sampai keluar dari pintu gedung kelas mereka.
"Mau lo apa sih?" gubris Kevin akhirnya.
"Pulang bareng yuk," pinta Vero dengan mata memohon.
"Gue masih ada kelas." Penolakan itu bernada dingin.
"Hah ... kelas apaan? Kan hari ini kuliah kita cuma ada tiga."
"Nggak semua mata kuliah itu kita tempuh di jurusan. Gue ada sharing Universitas, matkul Pengantar Dasar-dasar Pancasila. Udah ya, telat nih."
Dan si mangsa pun lepas sudah. Vero hanya mampu memandangi punggung Kevin yang berjalan cepat, meninggalkannya berdiri di tempat.
___
DUSTA Kevin berhasil melepaskannya dari cengkraman cakar Vero. Nggak sepenuhnya dusta sih, Kevin memang benar-benar ada kelas lanjutan. Namun kata 'telat' yang tadi dimulutkan olehnya ... itu sepenuhnya dusta.
Masih ada 45 menit waktu luang sebelum kelas Pengantar Dasar-dasar Pancasila dimulai.
Awal hari yang buruk bagi Kevin Tjahyadewa nampaknya akan segera berubah. Sambutan pemandangan gedung perpustakaan umum yang menjulang tinggi bertingkat membuat senyum Kevin merekah.
Segera, Kevin melangkahkan kaki menuju layar datar tempat katalog virtual menanti. Cowok itu dengan gesit mengetikkan satu judul buku yang menjadi incarannya sejak liburan semester lalu di e-library, Intelegensi Embun Pagi.
Keterangan di layar kaca menunjukkan bahwa buku itu tersedia, dengan sisa satu eksemplar yang dapat dipinjam. Satu.
Tanpa membuang tempo, Kevin segera melangkahkan kaki menuju lantai dua tempat section buku fiksi berada, mengikuti nomor rak yang ditunjukkan dalam keterangan katalog virtual. Kaki Kevin bergerak secepat mungkin tanpa menimbulkan banyak suara.
Sesampainya di rak tujuan, cowok itu mencari buku tebal bersampul putih dengan logo hologram berkilau yang mencolok. Satu kali sapuan mata, tak ada.
Kevin mencoba mencari lagi dengan lebih teliti. Telunjuknya bergerak menguruti sampul-sampul buku dari rak teratas hingga yang menghimpit lantai. Nihil. Sekali lagi, buku yang ia cari tidak ketemu.
Setengah hati, Kevin berjalan menuju meja penjaga perpustakaan. Kalau bukan karena terpaksa, Kevin sangat anti menanyakan hal apapun kepada petugas manapun.
"Mas, novel fiksi 'Intelegensi Embun Pagi' karya Dewi Lestari kok nggak ada, ya?" Suara Kevin membuat petugas di meja itu mengangkat wajah dibalik layar monitor.
"Sebentar, ya," jawab sang petugas sambil menggesek mouse yang ada di genggamannya, mengetikkan beberapa kata, dan menunggu sepersekian detik.
"Oh, lagi dipinjam itu, Mas," putus sang petugas setelah membaca informasi di layar monitor.
"Loh, tapi di katalog virtual tadi ada ...," ujar Kevin tidak terima.
"Iya, kalau katalog internet memang update-nya setiap tengah malam. Ini barusan aja, bukunya dipinjam. Tunggu seminggu lagi saja, waktu sudah dikembalikan."
Kevin mengangguk kaku, menelan kekecewaan.
___
RUANG 8 Perpustakaan Pusat Universitas Indomaya. Pukul 16.18 WIB.
Jika manusia diibaratkan smartphone yang mempunyai daya baterai sebagai energi yang wajib di-recharge, maka posisi Kevin saat ini bagaikan ponsel dengan baris baterai merah yang hampir padam.
Tiga kelas berturut-turut di gedung jurusan yang digaduhi oleh eksistensi Vero membuat energinya terkuras habis, hampir tak bersisa. Untungnya, minggu ini adalah pertemuan pertama di awal semester. Bisa dipastikan bahwa perkuliahan tidak akan diisi materi, melainkan kontrak kuliah yang berlaku di masing-masing kelas.
Prosentase kehadiran, batas waktu keterlambatan tiba di kelas, model tugas dan cara penyampaian materi, serta hal-hal mengenai proses belajar mengajar yang akan disepakati oleh mahasiswa dan dosen di hari pertama kelas mereka, menjadi tradisi seragam di universitas sepenjuru nusantara.
Kevin segera mengincar kursi paling belakang. Tenang, itulah tujuannya menjauhi kerumunan mahasiswa lain di kelas itu. Kevin butuh ketenangan.
Selang beberapa lama Kevin menikmati tenangnya sendiri, sepasang mahasiswa muda-mudi duduk tepat di sebelahnya. Laki-laki dan perempuan.
Si laki-laki sedikit buntal dengan kumis tipis dan rambut gondrong berbando. Sementara si perempuan, yang duduk pas di samping Kevin, mempunyai wajah mungil dihiasi poni tipis. Mata gadis itu menyipit tiap kali senyumnya merekah, memamerkan sepasang lesung pipit dan bibir yang tertarik simetris. Manis.
Eh, apa?
Tidak.
Kevin buru-buru menundukkan pandangannya, menyalakan layar ponsel untuk melihat jam di sana. Sudah hampir 10 menit dari waktu perkuliahan seharusnya dimulai. Dosen mereka terlambat di hari pertama.
Lagi, Kevin mencoba mengalihkan perhatian dari dua sosok classmate asing di sampingnya. Terdengar sedikit suara tawa gadis yang menangkap pandangannya tadi, diselingi kalimat-kalimat tanggapan yang tenggelam oleh lantangnya suara teman lelakinya.
Opposite attracts, itulah yang Kevin tangkap dari pemandangan di sampingnya. Interaksi antara laki-laki dan perempuan nampak tak seimbang, namun entah bagaimana, terlihat ... harmonis.
Si lelaki yang jelas-jelas ekstrover mendominasi percakapan mereka, meninggalkan perempuan dengan sedikit ruang tanggapan, jelas menandakan siapa sang Alfa dalam percakapan. Demikian, senyum tak putus merekah dari bibir dua manusia itu.
"Udah ah, Yot. Sssttt, dosennya dateng tuh ...."
Sepatah kata tertangkap di telinga Kevin, berasal dari perempuan tadi, memutus curhatan teman lelakinya tentang entah apa.
"Eh, iya. Sssttttt," beo si laki.
Perhatian mereka tertuju sepenuhnya pada pria paruh baya yang kini berdiri di depan ruangan. Dosen pengampu mereka adalah Pak Albert, tenaga pengajar dari Fakultas Hukum.
Rutinitas kesepakatan kontrak kuliah menjadi pusat konsentrasi yang Kevin usahakan dengan susah payah. Kehadiran dua manusia di sampingnya membuat Kevin sedikit tergelitik untuk melirik sekilas.
Gimana ya wajah cewek tadi kalau lagi nggak ketawa? Benak Kevin meracau dengan lancang.
Bagai komando autopilot, leher cowok itu berputar sedikit ke sisi kanan, menangkap sosok yang beberapa detik lalu mengisi pikirannya tanpa izin.
Rupanya si gadis sedang menunduk, membaca buku tebal dengan kertas yang tipis di sisi kiri, menandakan buku itu baru mulai dibaca. Kini bukan hanya leher dan kepala Kevin yang menoleh, namun sebagian tubuhnya sudah terarah menghadap si perempuan.
Buku apa yang dia baca? Kenapa baca pas lagi kuliah? Kenapa nggak di rumah aja? Benak Kevin kembali mengudarakan tanya yang terbang tanpa kendali pilotnya.
"Hey. Lo ganteng banget, anak jurusan mana?"
Suara itu rendah, dalam, dan bernada mendayu yang feminim. Suara dua meja di sebelahnya. Berasal dari lelaki teman perempuan itu.
Hah?
Kevin mengangkat wajah hanya untuk bersirobok dengan si penanya langsung. Rupanya dia tak salah dengar, mahasiswa gondrong dengan bando tersemat di rambut serta kumis tipis itu sedang memperhatikannya lekat-lekat.
"Emmm ...." Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Kevin, sebuah gumaman tanpa kata-kata.
Sepanjang hidup Kevin, ada dua kejadian paling aneh yang terukir paten dalam ingatannya.
Pertama, Kevin 7 tahun, ketika ia selesai sirkumsisi dan mamanya bersikukuh untuk memajang potongan kulit preputium-nya dalam album foto.
Kedua, Kevin 20 tahun, saat ia dipuji 'ganteng' oleh laki-laki lain. Dan yang ini, baru saja terjadi.
"Hey, kok malah begong? Kenalin, gue Eliot."
Suara tadi kembali menjangkau pendengarannya, kali ini dilengkapi dengan telapak tangan teracung menunggu dijabat.
"...."
Kevin kehabisan kata-kata, tak tahu apa yang harus dilakukan. Amigdala di belakang kepalanya memancarkan sinyal bahaya, matang dengan bumbu kebingungan, horror, dan panik bercampur menjadi satu.
"HEH! Lo bikin dia takut. Minggir deh, Yot."
Suara renyah yang bersumber tepat di sebelahnya membuat Kevin berkedip sadar. Tepisan tangan gadis itu mendepak uluran tangan teman lelakinya seketika.
Gestur itu membuat si gadis melepaskan cengkramannya pada buku yang sedari tadi ia baca. Kevin dapat melihat jelas di meja itu, buku yang tertutup otomatis itu mempunyai sampul putih dengan hologram berkilau. Barisan judul tercetak dengan kilau senada, 'Intelegensi Embun Pagi'.
"... sorry, ya. Temen gue ini emang nggak ada akhlak," lanjut si gadis, tertuju langsung kepada Kevin.
"Ehm, iya. Nggak apa-apa," jawab cowok itu buru-buru.
Hening.
Tak ada interaksi lanjutan setelah malaikat penyelamat berwujud gadis bertangan besi tadi meluputkan Kevin dari bencana—entah berupa apa bencana itu kelak.
Beberapa menit berlalu ditekan atmosfer rikuh yang mencekam kursi Kevin. Ia tahu, bahwa bagi dua orang di sampingnya, Kevin mulai menjadi tak kasat mata. Ah, dia sudah biasa. Malah, itu yang selalu diinginkannya; menjadi invisible dan duduk diam, tenang di dalam cangkangnya sendiri.
Satu-satunya hal yang mengganggu benak Kevin saat ini adalah perang batin yang mendadak berkecamuk, tepat saat ekor matanya menangkap gerakan gadis tadi membuka kembali buku tebal putih yang memantulkan warna metalik pada sampul hologram, asyik melanjutkan bacaan beberapa halaman pertama.
Kevin mencuri-curi pandang sekilas ke arah buku yang menjadi magnet perhatiannya. Otaknya sudah tak lagi ada di kelas itu. Imajinasinya berkelana menerka-nerka kelanjutan kisah tokoh-tokoh di novel penutup series Supernova yang telah ia impikan sejak berbulan-bulan lalu.
Mendadak, buku itu tertutup.
Netra Kevin tak sengaja menangkap pandang gadis di sebelahnya, kini sedang menatapnya tajam, tak putus.
Dengan satu gerakan mulus, tangan gadis itu terulur tepat di atas buku ajaib, dengan posisi telapak tangan terbuka, siap menjabat.
"Masih mau kenalan, nggak?" Suara itu kembali mengudara, berasal tepat dari sebelah Kevin.
Cowok itu mengerjapkan matanya beberapa detik, memproses realita.
Gadis itu memiringkan kepala seraya berucap lirih, "... kalo nggak, gak papa. Kita bisa ngerti kalo lo ilfil sama kelakuan Eliot tadi. Tapi jangan ngeliatin gue deket-deket gitu terus, dong! Kripi tauk!"
Kevin membatu. Uluran tangan itu perlahan turun, menarik kembali tawaran sekaligus ancaman yang keluar dari bibir si gadis.
"Kevin." Tangan itu segera disambut, tergenggam dalam satu jabatan hangat.
Gadis itu tersenyum seraya menyebut namanya,
"Oh, ternyata lo bisa ngomong. Gue Karamel."
__________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top