Bagan 18 · Kabar Karamel

RASANYA kepala Kevin berputar, sering, beberapa jam dalam sehari.

"Nanti lama-lama bakal mendingan, kok," ucap dokter saat Kevin menanyakan kondisinya. Oke, setidaknya afirmasi positif itu bisa menjadi bekal Kevin untuk berpikir positif pula.

"Sekarang kita fokus sama healing tulang rusuk kamu. Berita bagusnya, itu bisa dilakukan sambil rawat jalan. Selamat, Kevin, kamu bisa segera pulang. Tinggal tunggu jahitan di kepala kamu kering. Oke?" Dokter itu tersenyum. Kevin coba membalas senyuman itu, tapi rasanya hambar. Ah, masih ada yang mengganjal ...

[Gimana, El?]

Pesan itu sudah bercentang dua biru sejak lima belas menit lalu, menandakan Eliot di seberang sana sudah membacanya.

Sejak pertama kali mengoperasikan ponsel barunya, pikiran Kevin tertuju pada satu kontak semata. Karamel.

Sayangnya, nama Karamel tak kunjung menunjukkan status online. Nomor teleponnya juga mati, dan chat yang dikirim Kevin hanya terpantul satu centang abu-abu. Tak terkirim.

Sudah dua hari Kevin mencoba, mencari, dan meraba eksistensi Karamel Krisnanda se-jagad maya. Nihil. Gadis itu bagai hilang ditelan bumi.

Kevin tentu saja kalang kabut sendiri. Satu-satunya orang yang bisa ditanyai adalah Eliot. Sialnya, Eliot sangat-sangat slow respon dalam 48 jam terakhir. Kevin sudah bertekad, jika dia sampai rumah nanti, dia akan nekat menemui Eliot di indekosnya.

Baru saja kecemasan Kevin membuncah, sebuah getaran di ponsel mengalihkannya. Pemandangan berikutnya membuat Kevin bernapas super lega.

[Sabar, cyin. Ai baru kelar mandi, mau siap-siap ke sono. Lau sherlock alamat RS sekarang juga, sama kasi tau dirawat di kamar mana. I'm coming for u baby!]

Pesan dari Eliot itu bagaikan bara yang memantik semangat Kevin. Untuk pertama kali setelah siuman, Kevin memanggil mamanya dengan senyuman.

"Ma, bisa tolong bantu aku mandi sebentar? Mau ada temen jenguk."

Nyonya Tjahyadewa mengangkat wajah dari atas gadget tablet. Seketika mulutnya mengucap syukur. "Akhirnyaaa, Key-Key mau mandi juga! Udah mati rasa hidung Mama dari kemarin nyium bau kamu!"

___

BUBUR ayam itu meluncur menuju perut Kevin dengan lancar. Bisa dibilang, ini adalah makanan padat yang mengisi lambung Kevin selama dua minggu terakhir. Rasanya, sungguh fulfilling.

Kantin rumah sakit menjadi saksi bagaimana Kevin Tjahyadewa, sang pasien pesakitan yang beberapa jam lalu tak bernapsu untuk hidup, kini tampak begitu cerah di depan lelaki gembul berbando kuning. Eliot duduk di hadapan cowok itu dengan air muka yang sama sekali berbeda.

Bagaikan magnet yang bertolak belakang, ekspresi Eliot tak terbaca. Ada rasa bersalah di sana, amarah, kesal, dan kasihan juga. Yang kentara, sebersit lega terpancar dari cara lelaki gemulai itu memandang Kevin yang lahap memakan bubur.

Kalau kehadirannya saja sudah bisa menyuntikkan semangat sebegini rupa pada sang bungsu Tjahyadewa, maka Eliot berhak merasa lega.

"Jadi, Karamel ...?" ucap Kevin sambil menelan suapan terakhir buburnya.

Satu sebutan nama itu meruntuhkan kepercayaan diri Eliot seketika. Of course, Amel! Sobat manisnya itu pasti jadi alasan kenapa kehadiran Eliot begitu memacu semangat Kevin saat ini. Mendadak, perasaan nano-nano itu kembali membludak di ulu hati Eliot. Aduh, mulai dari mana ya ...

"Em, jadi ... si Amel, ya?" Eliot mulai memilin-milin ujung rambut gondrongnya. Pemuda itu mengumpulkan nyali sekaligus kalimat untuk tidak memadamkan kebahagiaan Kevin. Sulit.

"Jadi, Amel itu ... em, sekarang, posisinya, dia lagi ada di Surabaya." Eliot menarik napas dalam-dalam. Kevin tampak mendengarkan dengan seksama.

"Ke tempat abangnya itu?" ucap Kevin.

Eliot mengangguk. Dalam hati mengagumi ingatan Kevin atas detail lokasi yang menjadi bahan pencarian mereka waktu itu.

"Ooh. Terus, kenapa nomornya nggak aktif? Kapan dia balik ke Jakarta lagi?" Nada suara Kevin masih terdengar cerah, membuat Eliot semakin pahit untuk mengatakan kalimat selanjutnya.

"Emmm, sebenernya ... Amel nge-block semua kontak lo, Kev."

"HAH???"

"Soalnya, lo ... nge-ghosting, gitu?"

"What the?! Tapi kan gue kecelakaan, El. Gue nggak sadarkan diri. Dua minggu! Terus, kenapa kalian nggak coba cari tau dulu, sih? Kok bisa tiba-tiba ambil keputusan—"

"Oke, oke, tenang dulu, Kev. Tenang ...." Eliot menarik dan mengembus napas, seakan berkata 'tenang' untuk dirinya sendiri. "Keadaannya rumit. Gue coba jelasin sejelas-jelasnya, oke?"

Kevin mengangguk pelan sambil menahan emosinya. "Fine."

"Jadi, waktu terakhir kita ketemu itu, pas lo bantuin Amel nyari abangnya, doi ngide mau nyusul si Vion ke Surabaya bareng sama orang tuanya...." Eliot memulai.

Vion? Kavion? Oh, itu nama kakaknya, batin Kevin.

"Nah, pas itu, dia sempet cerita kalau kalian ada confess gitu pas lo nganter dia pulang dari rumah lo, bener?" Eliot bertanya.

Kevin mengangguk. Bersamaan dengan itu, Eliot menjentikkan jari.

"Nah. Itu. Si Amel tuh sempet ngarepin lo ngasih dukungan moral sebelum doi cabut. Tapi yang dia dapetin, malah nomor lo yang nggak aktif, semua kontak nggak bisa dihubungi. Waktu itu, kita—dia dan gue—ngira lo nge-ghosting dia. Kita nggak tau kalau ternyata lo kecelakaan. Lo nggak ada temen deket selain kita, ya kan? Dan gue juga nggak punya kontak keluarga lo ...."

Kevin menghela napas tak percaya. "Kenapa nggak nyamperin ke rumah gue sih, El? Kan kalian tau di mana gue tinggal."

Elion menelan ludah, berat. "Sorry, my bad. Gue waktu itu suudzon lo beneran jadi 'kang ghosting. Ya kali kita nyamperin gitu aja. Malu, Kev. Gengsi. Dan ... emmm, yah salah gue juga sih, waktu itu ngomporin si Amel buat ngeblokir lo balik dan fokus sama tujuannya waktu itu, nyamper abangnya di Surabaya."

Kepala Kevin yang tadinya sudah berkedut pasif, kini mendadak berdenyut nyeri. Menusuk. Sial, desis Kevin dalam hati. Ditatapnya Eliot yang kini menundukkan kepala, tampak benar-benar bersalah. Setelah beberapa detik dibungkam sunyi, akhirnya Eliot bicara lagi.

"Dan juga, Kev, sebenernya masalah ini nggak sesimpel ini. Karena ...." Eliot tampak ragu.

"Apa lagi? Bilang aja. Gue udah ngga bakal kaget sama apapun yang bakal lo ucapin," tantang Kevin dengan nada dingin.

Eliot menata napasnya sebelum berkata dengan lirih, "Ortu Amel meninggal, Kev. Kecelakaan pesawat pas mau balik dari Surabaya. So, timing-nya kacau banget dan nggak memungkinkan buat gue atau Amel untuk ngelurusin sama lo ...."

Seketika denyut di kepala Kevin berhenti. Satu detik. Dua. Rasanya, jantungnya juga. Dada kevin terasa bolong, dingin, tak berdegup.

"Ortu Karamel ... meninggal?" ulang Kevin dengan bibir tanpa suara. Eliot yang paham gerakan bibir itu, mengangguk perlahan.

"T-tunggu, tunggu. Ceritain ke gue pelan-pelan. Dari awal." Kali ini Kevin menaruh perhatian lebih. Fokus, sepenuhnya pada Eliot.

Melihat emosi Kevin menurun, Eliot tampak sedikit lega. Perlahan, terurailah kejadian demi kejadian tentang apa yang terjadi pada ayah-ibu Karamel. Pada keluarga Krisna.

Tentang pesawat yang gagal take off di bandar udara Juanda. Tentang Karamel yang selamat karena 'kabur' ke hotel tempat kerja Kavion. Tentang dua bersaudara itu yang kini menjadi yatim piatu. Tentang acara tahlil tujuh hari yang menguras energi. Hingga diakhiri dengan kabar Karamel yang saat ini berada di Surabaya, mendampingi kakaknya menyelesaikan urusan pekerjaan di hotel dan mengangkut barang di indekosnya.

"Dia udah di sana dari kemarin lusa. Rencananya sih, minggu depan baru balik Jakarta lagi. Lo mau ... ngomong sama dia, sekarang?" Eliot bertanya sambil menyodorkan ponselnya.

Kevin menimbang-nimbang sejenak, untuk kemudian menggelengkan kepala.

"Lo suruh dia unblock kontak gue aja, El. Biar gue yang ngomong langsung sama dia. Kalau tanpa aba-aba dan lewat orang ketiga gini, gue takut bukannya kelar tapi malah makin keruh."

Eliot menggumamkan kalimat "Iya juga, ya?" sebelum menghela napas, lagi. Misinya yang cukup berat sudah terselesaikan. Dia sudah menyampaikan pada Kevin apa yang perlu disampaikan.

Perbincangan mereka berlanjut beberapa menit. Langit mulai gelap, padahal waktu baru menunjukkan pertengahan sore. Eliot menengadah. Mendung.

"Kev, gue cabut deh yak? Takut kehujanan nih."

Kevin mengiyakan. Sebelum mereka berpisah, Eliot lagi-lagi meminta maaf, dan berkata dia akan memastikan Karamel melepas blokiran kontaknya pada Kevin dalam waktu beberapa jam saja. Kevin tertawa dan mengangguk, sebelum mengucapkan terima kasih dan melepas kepergian Eliot.

"Sudah pulang temen kamu, Key?"

Suara familier menyambut Kevin sekembalinya ke kamar rawat. Nyonya Tjahyadewa tampak sedang melipat beberapa potong baju kotor untuk kemudian dimasukkan ke dalam tas carrier.

"Iya, Ma," jawab Kevin singkat.

"Nggak nyangka, ternyata anak cowok Mama ini lumayan populer juga, ya? Hari ini aja sudah ada dua orang yang jenguk."

"Hah? Dua?" Kevin mengerutkan kening. Eliot dan siapa?

"Iya. Yang satunya malah kayak udah jadi satpam pribadi kamu, nungguin terus dari awal kamu koma."

Kalimat mamanya itu sontak membuat Kevin tergemap. Pikirannya menjalar ke mana-mana. Karamel? Nggak mungkin. Dia kan di Surabaya.

Rasa penasaran akhirnya mendorong Kevin untuk bertanya. "Siapa, Ma? Kok aku nggak ketemu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top