Bagan 12 · Kunjungan
PENGADILAN Negeri berdiri kukuh di tengah-tengah terik mentari Jakarta. Ujian Akhir Semester telah selesai, menjelaskan mengapa Veronica Putri bisa hadir di hari tengah pekan seperti ini.
Vero membenahi kacamata hitam yang membingkai wajahnya. Beberapa langkah di depannya, terdapat wanita paruh baya dengan rambut ter-blow rapi khas salon, serta sepatu jinjit tinggi berwarna hitam. Wanita itu mengenakan baju terusan hitam, juga topi lebar yang melindungi wajah berpoles riasan mahalnya dari panas cahaya.
"Mama, tunggu." Vero berkata dari balik punggung wanita itu. Ratu, mama Vero, membalikkan badan. Dengan satu tangan bermanikur, ia menurunkan kacamata di tulang hidung, seakan bertanya pada anaknya, 'ada apa?'.
"Hape aku ketinggalan di dalam." Sang anak semata wayang mengaku. Satu tangan mengaduk tas jinjing, menunjukkan kebenaran kalimat itu.
"Hm. Ya sudah cepat ambil, Veronica. Mama tunggu di mobil. Di sini panas." Ratu membenahi posisi kacamatanya, seakan kalau tidak demikian, cahaya ultraviolet akan mengikis korneanya.
Dan bagitu saja, Vero berbalik meninggalkan mamanya. Dua perempuan itu berpisah di depan pintu garbang Pengadilan Negeri.
Vero langsung memusatkan perhatiannya pada salah satu meja administrasi, menanyakan pada bapak petugas yang tadi sempat membantunya menjelaskan prosedur perceraian untuk mama dan papanya. Bapak itu bahkan tidak sadar kalau ada satu unit smartphone yang teronggok di balik tumpukan berkas mejanya. Vero sedikit bersyukur gawai itu tidak keburu hilang.
Setelah mengucapkan terima kasih yang keluar setengah hati, Vero berencana segera menuju ke parkiran, tempat mobil mamanya dan supir mereka sudah menunggu. Namun langkah kaki Vero segera terhenti saat ia merasakan pergelangan tangannya dicekal. Genggaman jemari besar menahan lengannya.
"What the—!" Vero membelalakkan mata. "Lu?!"
"Hai." Nada suara itu ringan, dan dengan ringan pula, cekalan tangan di lengan Vero lepas. Lelaki itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi satin dan kemeja fit body. Vero merasa pernah melihat wajah lelaki itu sebelumnya.
"Lu ...." Vero tidak tau nama lelaki itu. "Mau apa?"
"Gue Melvin." Pencekal Vero tersenyum. "Lo satu kampus sama adik gue, kan? Kevin?"
Seketika pikiran Vero berhenti. Ya. Dia memang tidak kenal lelaki itu secara dekat. Tapi dia tau. Mereka pernah bertemu di bar milik orang tua Vero.
"Lu langganan di Princess," simpul Vero kemudian, seakan mereka ulang pertemuan pertama mereka saat Melvin menyapanya. Vero tak acuh saat itu, pun saat ini juga sama. Apa urusannya orang ini? pikir Vero.
"Dan lo ...." Lelaki itu, Melvin, mendekatkan wajahnya ke wajah Vero, seakan menelusuri garis muka cewek itu. "Ngapain di sini?"
"Bukan urusan lu." Vero melengos dan hendak berjalan meninggalkan Melvin.
"Tunggu!" Tangan Vero kembali dicekal.
Oke, gue mulai males sama cowok tukang grepe ini. Boleh nggak sih gue tabok sekarang juga?! Vero melirik ganas.
"Kalau lo lagi ada masalah, gue siap bantu." Melvin melepaskan lengan Vero, dan dengan gesit mengeluarkan kartu nama dari saku jasnya.
"Dari mana lu tau gue ada masalah?" Vero bertanya sambil menerima kartu nama itu tanpa selera. Cewek itu membaca sekelebat nama keluarga yang tertera di sana. Begitu familier. Tjahyadewa and Sons Law Firm.
"Lo ada di sini." Melvin melayangkan pandang ke sekeliling mereka. "Tempat ini bukan untuk orang yang hidupnya mulus-mulus aja. Ya kan?"
Vero bungkam. Perkataan Melvin barusan cukup menohok.
Ya, memang hidup Vero sedang digelayuti masalah sekarang. Ya, memang sudah sah sejak hari ini, Veronica Putri adalah seorang anak dengan status broken home.
Dan ya, untuk kali kedua, pertemuannya dengan Melvin tidak terlalu menancapkan kesan baik. Namun demikian, Vero tidak membuang kartu nama Melvin. Entah kenapa, Vero menggenggam erat kertas identitas itu.
Tanpa merespons lagi, cewek itu melangkah pergi.
___
KEVIN berjengit saat seekor kucing tanpa bulu lewat di hadapannya. Sepagi ini, Kevin sudah harus sport jantung. Ketenangan pagi hari rupanya masih menjadi sesuatu yang langka di kediaman Tjahyadewa.
"Kucing siapa ini, Pa?" Kevin bertanya pada papanya, Tuan Tjahyadewa. Kepala keluarga itu menurunkan kacamata kotak di wajahnya dan melongok dari meja makan.
"Ah, si Venus! Punya Hahaboru-mu itu, Kevin. Dia titip dulu, mau pulang ke Medan dua minggu katanya."
"Oh ...." Kevin memperhatikan hewan itu. Aneh. Kucing tanpa bulu. Rasanya seperti melihat elf peri rumah di Harry Potter. "Ya udah, terserah. Asal jangan masuk ke kamar Kevin aja ya, Pa. Nanti mau ada temen kampus yang main ke sini soalnya."
"Teman yang mana dulu ini? Yang bencong itu bukan?" tanya papa Kevin dengan nada tinggi. Kevin sudah keburu pergi meninggalkan ruang makan.
Tuan Tjahyadewa menggeleng pelan. Meskipun sudah tidak tinggal serumah, komunikasi dengan mantan istrinya masih terus berjalan. Co-parenting, istilahnya.
Dan kapan hari, mama Kevin sempat menyenggol hal ini. Wanita itu mengkhawatirkan orientasi seksual anak bungsu mereka, yang terlihat mulai melenceng dan tampaknya menabrak norma. Awalnya, Tuan Tjahyadewa tak ambil pusing. Bisa saja ini kecemasan tanpa dasar berarti yang kerap dialami oleh ibu dari anak-anaknya itu.
Tapi, belakangan ini, rasanya kecemasan itu menular pada sang kepala keluarga. Terlebih lagi saat Melvin melaporkan hal yang sama; Kevin dekat dengan teman yang agaknya berbahaya.
Sementara itu, di kamar pribadi Kevin, cowok itu sedang sibuk menata ulang buku-buku di raknya. Kamar Kevin tampak seperti perpustakaan mini, dengan set sofa dan meja yang berkumpul di sudut ruangan. Kevin sengaja mengisi ruang pribadinya itu senyaman mungkin untuk belajar.
Siang menjelang, dan kecemasan Kevin mulai menggunung. Sepertinya overthinking merupakan hal lain yang diwariskan oleh mamanya selain wajah menawan.
Tiga puluh menit setelah makan siang dan berpuluh-puluh kali mengecek ponsel, Kevin akhirnya mendengar deru mesin motor yang berhenti di halaman rumahnya. Ketika membuka pintu depan, betapa leganya Kevin melihat Eliot ada di sana, membonceng Karamel di jok belakang.
Dua orang itu langsung turun dan menyapa Kevin, meluruhkan segala kecemasan yang tadi sempat timbul. Kini, perasaan lega itu bercampur dengan gugup.
"Hay, Kevin! Wow, ini rumah kamu?" Karamel menyapa sambil melayangkan pandangannya, kentara menunjukkan kekaguman pada bangunan megah rumah keluarga Tjahyadewa yang menyatu dengan kantor firma hukumnya.
"Iya. Masuk, Karamel. Eliot."
Kevin menganggukkan kepala pada sosok Eliot yang berjalan di belakang Karamel. Lelaki gemulai itu berulang kali mendelikkan dan mengedipkan mata, dengan mulut komat-kamit entah apa yang intinya menunjukkan pada Kevin, ini loh, Karamel ada di rumah lo!
"Kita langsung ke kamar aja," instruksi Kevin pada dua tamunya itu. Kevin berusaha bersikap ramah. Kedipan mata Eliot kembali mengganggu. Kevin balas memelotot seakan berkata, iya, iya, gue tau, El! Bisa nggak sih muka lo biasa aja? Nggak usah norak begini, deh! Gue masih inget rencana kita kok!
Ah, rencana. Iya. Rencana yang disusun oleh Eliot untuk mendekatkan Kevin dengan Karamel. Rencana yang meskipun digagas sepihak oleh lelaki tambun gemulai itu, tapi tetap saja Kevin ikuti tanpa banyak komentar ba-bi-bu.
Rencana yang diam-diam Kevin aminkan untuk menjadi kenyataan. Untuk dia dan Karamel bisa menjadi lebih dekat, lebih dari sekadar teman.
"Kev, ada colokan listrik, nggak? Laptop kita butuh asupan, nih." Suara Karamel menyedot perhatian Kevin. Buru-buru cowok itu mengangguk.
"Ada di laci lemari buku sebelah situ. Bentar, aku ambil—"
"Gue aja! Kalian siapin dulu aja bahan-bahannya."
Eliot menyela dan menyeruak ke arah lemari yang ditunjuk Kevin. Sengaja. Pasti lelaki itu berencana memberi waktu dan tempat untuk Kevin menggencarkan PDKT selancar-lancarnya.
Tapi apalah daya seorang Kevin Tjahyadewa, yang bukannya berbasa-basi mencuri hati Karamel, namun malah mematung memperhatikan gadis yang kini berdiri di kamarnya itu. Karamel begitu manis, dengan rambut panjang bergelombang dan poni tipis. Hari itu, Karamel mengenakan sweater abu-abu dan celana kulot hitam yang jatuh memeluk kaki.
Beberapa detik berdiri kikuk menjadi santapan pandangan Kevin, Karamel akhirnya berinisiatif membuka ranselnya. Tanpa komando, Karamel langsung mengeluarkan laptop dan charger untuk ditata di atas meja. Kevin buru-buru membantu.
Dari suara decakan lidah Eliot di sisi lain ruangan, Kevin bisa merasa kalau Eliot tidak puas dengan inisiasinya. Kevin kurang halus, kurang modus, dan kurang perhatian. Kurang-kurang itulah yang seringkali Eliot tekankan dalam pembahasan mereka. Dan Kevin rasa, Eliot ada benarnya.
Sayangnya, Kevin tidak bisa merubah sikapnya dengan instan—seperti yang Eliot harapkan. Kevin tidak bisa mendadak berubah jadi Don Juan atau Casanova, penakluk wanita. Kevin akan tetap menjadi Kevin. Introver parah di hadapan semua orang, termasuk Karamel.
"Pssstt. Fokus." Bisikan dari Eliot itu disertai sikut yang menyeruduk rusuk Kevin. Ah, iya. Fokus.
"Kita bisa mulai sekarang?" tanya Kevin sesaat setelah selesai mengatur meja mereka. Laptop, buku notes, dan alat tulis bertebaran siap pakai.
"Boleh," jawab Karamel riang. Gadis itu tampak lebih bersemangat hari ini.
"Oke. Mulai dari mana dulu, nih?" Jemari Kevin bersiap di atas keyboard, bagaikan kuda-kuda sebelum berlari.
"Cari keyword pake nama 'Kavion Krisnanto'," instruksi Karamel sambil mulai fokus mengetik di laptopnya sendiri. Kevin mengernyitkan dahi mendengar nama itu. Nama lelaki yang asing, tak pernah ia dengar sebelumnya.
Sekali, ia melirik ke arah Eliot, seakan minta penjelasan. Anggukan pasti dari Eliot memberi kode pada Kevin, dengan pandangan mata meyakinkan, bahwa Kevin harus percaya pada keadaan ini, menuruti mau Karamel mencari lelaki bernama asing itu.
Kevin tidak suka ketidaktahuan. Tapi sepertinya, rasa suka Kevin pada Karamel lebih besar dari pada ketidaksukaannya. Dan juga, sekali lagi Eliot melayangkan pandang. Kedip-kedip, kode-kode. Pergerakan gerilya kali ini berbeda dari biasanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top