Bagan 10 · Sisi Lain

WAKTU menunjukkan malam yang sudah terlampau larut, beberapa menit lewat pukul sepuluh. Pintu depan terbuka lebar, bersamaan dengan seorang pemuda yang baru meraih kunci mobil di meja ruang tamu. Dua kakak beradik yang berpapasan dari dalam dan luar rumah.

“Baru pulang, Adek?” tanya Melvin ke arah Kevin yang baru masuk. Si bungsu menjawab dengan gumaman asal, tak begitu mengindahkan eksistensi kakak nomor duanya. 

“Kok tumben malem banget? Biasanya sore juga udah sampe rumah.” Melvin melanjutkan. Melihat ekspresi adiknya yang mulai dongkol memberikan hiburan tersendiri bagi anak tengah Tjahyadewa ini.

“Tadi habis kelas malam, terus ngopi temen.” Kevin menjawab asal sambil berlalu. Ransel kuliah di punggungnya menjadi bukti riil bahwa cowok itu berkata jujur.

“Temen?” Melvin urung menuju garasi mobil. Menggoda Kevin terasa lebih menyenangkan untuk sesaat ini. Melvin mengikuti adik bungsunya itu sambil melanjutkan celetukan, “Temen kamu yang lekong itu, ya? Aduh, Kevin! Kenapa sih kamu jadi deketnya sama makhluk begituan? Siapa deh namanya, El-Eli … Yot? Eliot, nah!”

Seperti biasa, Kevin mengabaikan.

Melvin belum menyerah. Dia tersenyum jahil dan menyikut lengan adiknya.

”Wajah kamu itu cakep loh, Adek! Sayang banget kalo nggak dibuat ngegaet cewek cantik. Kayak temen kamu yang sering nongkrong di bar itu, yang waktu itu pap foto seksi di DM kamu.” 

“Ngomong apaan si.” Kevin menggumam sambil membuka pintu kamarnya. Melvin mencegah pintu itu tertutup sempurna. Kepalanya melongok dari sela pintu.

“Kenalin dong, Key.” Melvin menaik-turunkan alis lebatnya.

“Gak jelas,” gumam Kevin.

“Plisss.” 

“Udahlah, Bang Em. Gue capek, mau tidur.” Kalimat itu menjadi akhir kesabaran Kevin. Si bungsu membanting pintu kamarnya menutup. 

“Habis ngopi malah tidur, dasar aneh.” Melvin bergumam di balik daun pintu kamar Kevin yang kini tertutup rapat. Sambil membalikkan badan dan berjalan keluar rumah, Melvin bergumam, lebih pada dirinya sendiri.

“Okelah kalo Key-Key nggak mau ngenalin. Gue bakal kenalan sendiri.”

___

PRINCESS Lounge and Bar tampak remang sekaligus gemerlap seperti biasa. Kontradiksi yang begitu nyata, hidup, dan tersembunyi. Musik yang menghentak dengan kadar bass lumayan tinggi, menggetarkan rongga dada setiap pengunjung, sekaligus membuat tempat ini jadi lokasi menyepi yang sempurna. Sepi di tengah keramaian.

Ini adalah tempat favorit Melvin selain meja kantor-rumahnya.
Jika di meja itu Melvin biasa menghasilkan rupiah, maka di tempat ini Melvin biasa menghamburkannya. 

Melvin berjalan ke tengah ruangan, tempat open bar berada dan seorang gadis bearcat rambut merah muda sebagian sedang meracik minuman. Layaknya teman yang sudah lama akrab, Melvin menyapa gadis itu.

“Hai, Ann.”

Anna membalikkan badan, lalu tersenyum ke arah satu langganan setianya itu.

“Malam, Kak Melv. Yang biasa?” Suara renyah Anna mengudara. 

Melvin mengangguk sebagai jawaban, sembari kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menyebar pandangan.

“Si itu … mana? Temen lo yang kemarin?” tanya Melvin ketika segelas gin and tonic tersaji di hadapannya.

Anna mengangkat alis.

“Kak Melv mau check-in? Cari siapa? Miya? Layla?” 

“Bukan, bukan. Itu loh, yang kemarin kata lo anaknya owner.” Melvin menyeruput minumannya.

“Yang kemarin … aku bilang nggak bisa di-booking itu, kan?” Satu alis Anna menukik. Gadis itu terbiasa bermanis-manis menyebut dirinya ‘aku’ di hadapan pelanggan, sebuah trik efektif untuk mendapatkan tip tambahan. Namun kali ini, nada suaranya tak terdengar manis sama sekali. Matanya memincing, seakan Melvin adalah sebuah ancaman. Insting Anna menyembul dengan satu peringatan: lindungi Vero.

“Jangan temen aku yang itu deh, Kak. Kan udah aku bilang dari kemarin, kalau dia itu nggak bisa diganggu gugat.” Kali ini kalimat Anna tegas. Melvin hampir tersedak gin and tonic-nya.

Melvin menurunkan gelas dan bertanya, “Kenapa emangnya?” 

Butuh beberapa detik hingga Anna menggelengkan kepala, seakan menyingkirkan keraguannya untuk terbuka dengan Melvin. Kalau mau Kak Melvin pergi, mungkin salah satu caranya adalah dengan gamblang begini. Bikin cowok macem dia penasaran cuma akan memperpanjang minat mereka.

“Dia … lebih rapuh dari kelihatannya. Lagi banyak masalah. Sori, tapi aku  nggak bisa biarin dia digarong sama cowok macem Kak Melvin. No offense.” 

Melvin tersenyum. “None taken. Kalo emang temen lo itu off limit, yaudah, gue terima. Gimana kalo gue garong lu aja kalo gitu, boleh nggak?”

Anna tertawa pelan. “Apaan sih, Kak Melv. Kan udah aturan bar, nggak boleh godain karyawan di sini! Dah ah, aku mau kerja dulu,” ucap Anna sambil berlalu. Pelanggan lain membutuhkan perhatiannya.

Dalam hati, Anna bersyukur lelaki itu tidak melanjutkan percakapan mengenai Vero. Dia tahu batasan. Sepertinya, Melvin Tjahyadewa tidak seburuk dugaan Anna.

___

KEVIN tak bisa memejamkan mata. Pasti karena efek kopi yang diteguknya petang tadi bersama Eliot dan Karamel. Atau mungkin juga, karena perkataan kakaknya, Melvin, sedikit mengusik Kevin tanpa sebab yang jelas.

Dia tidak menyangka, bahwa ternyata anggota keluarganya memperhatikan gerak-gerik Kevin sebegitu dekat. Mulai dari Melvin yang sadar bahwa Kevin sering berteman dengan Eliot--mungkin karena fakta bahwa sobat Karamel itu sering mampir ke rumahnya, membicarakan taktik PDKT Kevin dengan temannya--hingga Melvin yang diam-diam merekam wajah perempuan pengganggu Kevin di dunia maya dan memberinya informasi bahwa perempuan itu, Vero, sering ditemuinya di bar.

Sejak kapan Melvin memperhatikan?

Dan sejak kapan juga, segala urusan di hidup Kevin jadi konsumsi publik anggota keluarganya?

Tak bisakah Melvin bersikap bodo amat dengan segala masalah yang ada di hidup Kevin? Tidak memperlakukan Kevin layaknya bocah ingusan akibat statusnya yang merupakan anak bungsu?

Cowok itu membalikkan badan, Menghadap ke kiri dan ke kanan. Bedcover terasa sedikit sesak memeluk badannya, membuat Kevin meloloskan diri dari dekap selimut itu. Kini Kevin Tjahyadewa terlentang di atas ranjang, menantang tatap bola lampu di atap yang sudah padam. Sebuah pikiran mengusik benaknya.

Tadi itu, Bang Em beberan lagi ngomongin Vero, kan? pikirnya. 

Veronica Putri. Sudah lama sekali dia tidak dihantui eksistensi cewek itu. Baik di kampus maupun di sosial media, Vero bagaikan hilang ditelan bumi. Kevin rasa, ini pasti karena caranya mengaku-ngaku Karamel sebagai pacar di kedai kopi XXI tempo hari sukses besar. Beberapa minggu belakangan ini, hidup Kevin bagaikan lepas dari jerat kuku perempuan yang kerap disebutnya nenek lampir itu.

Jujur, hari-hari Kevin menjadi tenang setelah momen itu. Tak ada lagi pepetan nenek lampir di setiap kelas, tak ada lagi teror virtual di DM sosial medianya, dan tak ada juga suara cempreng Vero yang mengganggu konsentrasi belajarnya di dalam kelas.

Tapi kenapa, di tengah ketenangan itu, Kevin malah merasakan sesuatu yang janggal? Seakan benaknya tak bisa ditahan untuk tidak berpikir ke mana-mana.

Vero … ternyata dia sering nge-bar? Kevin melepaskan angannya bertanya-tanya. Emang udah sering, atau … jadi pelampiasan karena ulah gue? Dan, kenapa juga gue mendadak harus ngerasa gini? Gue nggak peduli. Harusnya, gue nggak usah peduli.

Sebersit perasaan terhadap Vero yang selama ini tak pernah muncul di benak Kevin, mendadak timbul tanpa aba-aba, tanpa bisa ditahan. 

Rasa bersalah yang sebelumnya tak pernah ada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top