Bag. 2

“Aduuuh, pagi-pagi udah bikin badmood.” Kevin, karyawan yang tempat kerjanya berseberangan dengan Dian, mengeluh sambil menyenderkan tubuh ke kursi dan mengangkat kepala. Pandangannya terarah ke langit-langit ruangan, kemudian dia memejamkan mata sambil memijat bagian dahi yang terletak antara kedua alis.

“Ada apa, Vin?” tanya Dian yang tiba-tiba tertarik.

“Ada klien yang nggak ngerti maunya apa.”

“Oh ….” Dian langsung mengerti apa yang dimaksud Kevin. Jawaban Kevin memang singkat, tetapi Dian ikut merasa pusing dengan hal tersebut. Klien yang tidak mengerti keinginannya atau yang tidak menjelaskan dengan detail fitur-fitur yang diinginkan dalam sebuah aplikasi ataupun situs web adalah hal yang bisa membebani seorang programmer.

Katakan saja ada seseorang yang ingin membayar jasa seorang programmer untuk membuat sebuah aplikasi untuk mengedit kover buku. Dia harus memberitahu programmer mengenai fitur-fitur yang diinginkan. Hal-hal yang tampak kecil seperti fitur menambahkan warna yang beragam, penambahan filter, ataupun penambahan elemen-elemen gambar tertentu lebih baik dikatakan klien dengan jelas sehingga programmer akan mengerti apa yang si klien inginkan. Terkadang, ada yang menyuruh seorang programmer untuk membuat aplikasi atau situs web sesuai pemahaman programmer itu sendiri dan klien akan mengoreksi hasil akhirnya. Bayangkan apabila klien terlalu banyak protes atau mengajukan perubahan, maka penyelesaian aplikasi atau situs web tersebut akan memakan waktu lebih lama.

Dan tentu saja, tidak satu pun dari Dian dan teman-temannya ingin mendapatkan klien yang seperti itu.

“Bukan aku, sih, yang dapet project-nya, tapi Rizky.” Kevin kembali menginterupsi Dian dari pekerjaannya. “Dia tadi sempet cerita waktu kita ketemu di depan toilet.”

“Kalau bukan kerjaanmu, kenapa kamu kelihatan frustrasi gitu?” tanya Dian. Rasanya agak sia-sia karena sempat menaruh rasa kasihan pada Kevin. Rizky adalah seorang web developer, lebih tepatnya back-end developer, seperti Kevin dan baru bekerja di perusahaan ini setahun yang lalu.

“Tiba-tiba bayangin aja kalau aku di posisi dia gimana,” balas Kevin, kemudian dia kembali mengoperasikan komputer dan mulai bekerja. “Jul, fitur mana yang udah fix dan nggak ganggu fitur lain?” Kevin bertanya kepada Juliana, rekan kerjanya yang berposisi sebagai front-end developer.

Dian hanya mengangguk-angguk. Dia juga akan frustrasi jika mendapat klien yang sama seperti Rizky.

“Nanti mau ngumpul bareng di Sunrise?” Juliana tiba-tiba memberi usul mengunjungi kafe depan perusahaan sepulang kerja. “Hari terakhir sebelum libur, nih. Sabtu aku mau ke sana tapi kayaknya lebih baik tidur seharian daripada nongkrong.”

“Sunrise? Aku ikut,” balas Dian dan dilanjutkan dengan anggukan Kevin. “Mbak Ninda?” Dian menoleh ke sebelahnya.

“Aku ikut.” Ninda yang tahu kalau Dian akan memaksanya, segera menjawab. Namun, wanita tersebut melanjutkan, “Kalau nggak capek, sih.”

Dian berdecak pelan. Ninda jarang sekali berkumpul bersama mereka jika ada agenda nongkrong yang tempatnya seringkali sama, seperti restoran makanan cepat saji, warung tradisional, dan beberapa kafe dekat perusahaan. Ninda sudah seperti kakak perempuan Dian, dan hanya wanita itulah yang tetap sabar menanggapi meskipun Dian mengeluhkan hal yang sama. Walaupun Ninda pernah menanggapinya dengan galak karena lelah dan terlalu jengkel dengan keluhannya, itu membuat Dian merasa lebih baik. Memiliki pendengar yang baik adalah hal yang patut disyukuri.

Karena Ninda masih tidak memberi kepastian mengenai rencana kumpul-kumpul mereka, Dian akhirnya kembali mengutak-atik bahasa pemrograman di depannya. Hello World, tulisan yang selalu mengawali hari-hari seorang programmer memang terkadang membuat bosan, tetapi bagi Dian, ini adalah dunianya di mana dia bisa mendapatkan uang untuk hidup. Di sisi lain, tidak hanya urusan uang, seorang programmer juga akan senang dan puas apabila hasil kerja kerasnya dikenal dan bermanfaat bagi banyak orang. Sebagai seorang software developer yang bertugas membuat, mendesain, dan mengembangkan perangkat lunak untuk komputer ataupun ponsel membuatnya ingin merasakan kepuasan tersebut.

***

Juliana adalah orang paling terakhir yang bergabung di meja. Antrean yang lebih panjang daripada biasanya membuatnya harus berdiri lebih lama. “Jam segini banyak juga, ya, anak muda yang ke sini,” komentarnya setelah memindai semua orang yang berada di dalam kafe. Pengunjung dominan anak kuliah. Sepertinya, meja yang ditempati Juliana, Dian, Ninda, dan Kevin adalah satu-satunya meja kumpulan karyawan sekaligus pelanggan tertua.

“Akhirnya kamu mau ikut juga, Mbak.”

Ninda berdeham sebagai tanggapan dari ucapan Kevin. “Ya, kapan lagi juga aku bisa ke sini. Thanks to Juliana karena tahu kalau aku lebih suka makan nasi daripada dijejelin cake dan kopi.”

Juliana menampilkan senyum yang dibuat-buat. “Iya, dong, karena aku pengertian kalau Mbak Ninda lapar jadinya kuubah tempat ngumpulnya.” Kemudian, dia mengalihkan pandangan ke Kevin. “Tuh! Lihat Mbak Ninda, umur kalian sama tapi kenapa kamu masih suka ngopi? Katanya pengin ngurangin kebiasaan ngopi sebelum makan?”

“Ya, kamu nawarin, jadi aku iya-iya aja.” Kevin membela diri.

Kedua orang itu malah berdebat. Dian yang melihat hanya menggelengkan kepala berulang kali, sedikit heran terhadap mereka yang energinya masih banyak setelah bekerja selama delapan jam. Dia melirik ke Ninda yang sejak tadi sibuk menggulir layar ponselnya dengan ekspresi serius di wajah. “Lihat apaan, sih, Mbak?” tanyanya.

“Mau beli baju tidur buat adikku. Baju lamanya udah jelek, katanya,” jawab Ninda. “Dia juga pengin dibeliin merek Stroberi.”

“Stroberi? R&S?” Kevin bertanya. Perdebatannya dengan Juliana selesai begitu saja. Red and Sweet, yang juga disingkat dengan R&S, adalah salah satu merek baju yang cukup ternama belakangan ini. Beberapa orang menyebutnya ‘Stroberi’ karena lambang mereknya menyerupai buah stroberi, meskipun penyebutan itu agaknya tidak sesuai karena tidak semua buah stroberi terasa manis. “Itu nama perusahaan yang pengin bikin website ke Rizky tadi.”

“Oh iya?” Ninda mengangkat kepala. Sedikit tertarik dengan fakta bahwa Stroberi memiliki keterkaitan dengan perusahaan mereka, meskipun hal ini terjadi karena adanya proyek kerjaan yang dijalankan salah seorang rekan kerja mereka.

“Sebenarnya malas mengungkit ini lagi, tapi …,” Kevin mulai merendahkan suaranya, “dulu, aku pernah bikin website khusus profil perusahaan buat mereka, tapi kayaknya mereka nggak puas.” Sebelum bekerja untuk perusahaan yang mereka tempati saat ini, Kevin memang pernah menjadi seorang pekerja lepas untuk bidang programmer.

“Kenapa?” tanya Dian. “Kalau ngomong jangan setengah-setengah, dong, Mas.”

“Nggak ngerti ini benar atau salah, tapi mereka udah ganti website-nya setelah pakai website buatanku selama tiga bulan. Aku agak kesal, sih, apalagi mereka udah bikin aku ngubah fitur tertentu berkali-kali, eh ujung-ujungnya nyewa programmer lain.”

What the hell.” Juliana mendesis. Sebagai seorang web developer seperti Kevin, dia bisa merasakan bagaimana sakitnya ketika klien tidak menghargai usaha mereka padahal hal itu tidak mudah dilakukan. Apalagi mereka sudah mencurahkan tenaga dan otak serta menggunakan ketelitian yang tinggi dalam membuatnya.

Ngomong-ngomong, dalam urusan membuat sebuah situs web, Kevin dan Juliana sering bekerja sama. Kevin adalah seorang back-end developer, tugasnya membangun dan mengelola teknologi yang mendukung server, aplikasi, dan database—bagian-bagian yang tidak terlihat secara langsung oleh pengunjung ataupun pengguna situs. Juliana sendiri awalnya hanya belajar menjadi front-end developer yang bertugas mengurus tampilan depan situs web agar terlihat bagus bagi penggunanya. Namun, seiring berjalannya waktu, Juliana juga mempelajari bagian-bagian tak terlihat dari situs web yang berperan besar dalam berjalannya laman-laman yang dihasilkan.

Programmer lain itu … bukan Rizky, kan?” Ninda bertanya dengan ragu-ragu dan dibalas dengan gelengan oleh Kevin. Rizky mendapat proyek membuat situs web khusus pembelian baju di toko daring, bukan situs web berisi profil perusahaan.

“Denger-denger, Rizky pinter banget di angkatannya. Mungkin itu yang bikin perusahaan pilih dia buat ngambil project bikin online shop-nya Stroberi.” Juliana mengatakan sebuah info yang terdengar baru bagi mereka. “Rizky itu adik tingkatku, anyway, dua tahun di bawahku.”

“Harusnya Mas Kevin bilang Rizky, nggak, sih? Kasihan kalau dia tertekan gara-gara dapat klien yang seenaknya sendiri,” ujar Dian.

Kevin tertawa kecil. “Tenang, aku bakal kasih tahu dia gimana si Stroberi itu. Aku nggak sejahat itu kali buat ngebiarin Rizky tertekan sama permintaan klien yang nggak jelas dan deadline dari bos,” balasnya. “Cuma, kuharap mereka berubah dan cepat sadar, sih, apalagi Rizky lumayan pintar ngeyakinin orang, kan.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top