Ya'ahowu
Aro akhirnya ikut turun, Om Periaman mengajak mampir dulu di toko roti. Harum roti yang dipanggang menguar sampai ke mobil. Perpaduan manis dan gurih begitu mengundang, membuat Aro penasaran.
Toko roti itu terlihat mungil, berdiri di bawah pohon raksasa yang rimbun. Jika dilihat dari kejauhan, toko itu seperti berada di dalam batang pohon. Tidak ada bangunan lagi di kanan-kirinya. Anehnya, begitu Aro masuk, ruangan dalam toko seperti melebar. Tampak lemari kaca dengan berbagai varian roti dipajang. Wangi vanila, cokelat, stroberi memenuhi ruangan.
Seorang wanita menyapa dengan ramah. Rambut putihnya digelung membingkai wajah bulat keibuan. Wanita itu mengingatkan Aro kepada Ibu Yos, guru IPA yang baik hati.
"Selamat datang. Mau roti yang mana?"
Aro berkedip. Aro yakin mata wanita itu yang semula cokelat tua berubah menjadi biru ketika menatapnya. Pelan-pelan Aro merasa nyaman. Pikirannya ringan, dipenuhi dengan kegembiraan seperti ketika memakan roti kukus karamel.
"Roti kukus karamel, ya?" tanya wanita itu sambil menuntun Aro menuju etalase di dekat pintu.
Aro hanya bisa menurut. Benaknya seperti diselimuti kabut manis. Tanpa disadari, tiba-tiba saja sekotak roti kukus sudah ada di tangannya. Hal terakhir yang sempat diingat Aro sebelum meninggalkan toko adalah bisikan wanita itu yang membuat hatinya tenang. "Jangan khawatir, Umbu Zega akan sembuh."
Aro tersenyum tipis, hanya itu reaksinya meski terkejut ketika wanita itu menyebut nama Papa.
Apakah Aro pernah bertemu dengannya? Apakah wanita ini teman Papa?
Begitu masuk mobil, kecemasan datang secepat kilat, langsung meremas hati dan membuat perutnya mulas. Serangan rasa khawatir, membuat adegan Papa yang dibawa ambulan kemarin malam terulang lagi di benaknya.
Papa memang sering pusing, beberapa kali sakit, mungkin pusingnya kemarin makin menjadi. Papa sedang melakukan riset berkaitan dengan pekerjaannya sebagai dosen. Kertas dokumen bertebaran di meja kerjanya. Papa jadi sering bergadang. Kerja keras itu membuatnya pingsan sampai akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Papa baik-baik saja .... Papa akan sembuh.
Aro merapal kalimat itu seperti mantra, meski jauh di lubuk hatinya, ia takut Papa akan ....
Aro menggeleng kuat-kuat, mengusir pemikiran itu dari kepalanya.
Di mobil ia terheran-heran, bagaimana bisa kenyamanan dan ketenangan yang ia rasakan di toko roti berubah demikian cepat setelah ia keluar? Bagaimana wanita itu tahu kue kukus yang sedang dipikirkannya?
Mobil berhenti. Nenek yang sudah berdiri di depan pagar mengalihkan perhatian Aro. Mata Nenek berkaca-kaca. Begitu Aro turun, Nenek langsung meraih anak itu ke dalam pelukannya.
"Aro, Aro nogu ...."
Aro hanya diam, membiarkan Nenek memeluk dan terisak di bahunya.
Nenek lalu berkata-kata dalam bahasa Nias. Bahasa yang terdengar seperti bahasa planet lain di telinga Aro. Lama-lama Aro menjadi tidak nyaman, didorongnya Nenek pelan.
"Ya'ahowu, Nenek."
Mendengar Aro mengucapkan salam, Nenek memandanginya dengan senyum merekah. Aro menunduk. Ia sebenarnya malu. Hanya beberapa kata dalam bahasa Nias yang bisa diucapkan. Semuanya hanya sepatah-patah.
Rumah Nenek hanya 45 menit perjalanan dari rumah Aro, tetapi Nenek seperti membuat jarak dengan keluarga Aro. Hanya di hari-hari besar tertentu mereka bertemu. Pertemuan yang selalu diisi dengan percakapan kikuk dan dilakukan dalam waktu singkat.
Aro meletakkan tas di kamar tamu lalu bingung apa lagi yang akan ia lakukan.
Mama sudah berpesan agar ia menunggu di rumah Nenek. Mama akan menjemputnya begitu Papa sudah pindah ke kamar rawat inap.
Aro menarik napas panjang. Ia tidak ingin berlama-lama bersama Nenek. Kecanggungan yang kental di antara mereka membuat Aro tidak betah. Nenek baik, tetapi Aro lebih suka sendirian saja di rumah. Toh, sekarang ia sudah kelas 6, sebentar lagi masuk SMP. Aro bisa mengurus dirinya sendiri.
Ponsel di sakunya bergetar. Begitu melihat layarnya, Aro mendesah kecewa. Hanya notifikasi iklan. Sekarang, ia tak bisa menghubungi siapa-siapa. Teman-temannya pasti sedang berlibur. Setelah ini Aro akan menelepon Mama. Aro akan meminta agar diperbolehkan ke rumah sakit. Jika perlu, ia akan mengarang cerita kalau Nenek juga memaksa Aro menghubungi Mama agar diperbolehkan mengunjungi Papa.
Aro turun ke dapur ketika Om Periaman memanggil. Di meja makan, box kue kukus terbuka. Nenek sedang duduk memandangi isi di dalamnya.
"Aro, Om ada kuliah sampai malam. Baik-baik di rumah sama Nenek. Nanti mamamu akan mengabari."
Aro hanya mengangguk. Nenek diam saja ketika Om Periaman berpamitan.
"Aro, kue ini dari toko roti mana?"
"Dekat rumah ini, Nek. Aku enggak ingat namanya."
"Apakah penjaga toko mengatakan sesuatu? Apakah kamu merasakan sesuatu?"
Aro diam. Menimbang-nimbang haruskah ia menceritakan kejadian di toko tadi. Jangan-jangan perasaan tenang yang dirasakannya hanya halusinasi. Mungkin ia dipengaruhi harum berbagai macam varian roti sehingga sejenak melupakan kekhawatirannya.
Nenek menarik napas panjang. Matanya masih lekat menatap Aro. Menunggu.
"Eh ... anu ... tadi ibu yang menjaga toko bilang kalau Papa akan baik-baik saja. Dia menyebut nama Papa. Apakah dia teman Nenek?"
Mata Nenek melebar, lalu keningnya berkerut. Sekarang wajahnya berubah menjadi serius.
"Aro, nogu. Aku akan menceritakannya sekarang. Papamu tidak bisa mencegahku untuk memberitahu tentang kejadian sebenarnya."
Nenek berdiri, menuju ke lemari dapur. Gerakannya tegas. Dengan perlahan, ia meminggirkan beberapa botol dan mengeluarkan sebuah buku.
"Sudah saatnya kamu, sebagai cucu generasi keempatbelas keluarga Zega, tahu apa sebenarnya yang membuat kutukan itu terjadi."
Aro membeku. Otaknya lambat mencerna kalimat Nenek.
Cucu generasi keempatbelas? Kutukan? Apa sebenarnya yang disembunyikan keluarga Papa?
Nenek membuka lembaran pertama buku di depannya. Udara menjadi dingin ketika Nenek mulai bercerita. Angin yang tadinya semilir, berembus kencang. Suaranya seperti siulan yang membuat Aro merinding.
"Inilah yang terjadi. Bukan di sini. Bukan di dunia manusia. Namun di Tano Niha, di dunia keempatbelas. Tempat leluhurmu berasal."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top