Sowa'a Aro
Sowa'a Aro Zega
Sowa'a adalah pesta besar. Aro berarti berani. Zega adalah marga.
Anak laki-laki pemberani dari keluarga Zega yang dirayakan dengan pesta besar-besaran.
Nyatanya, tidak demikian. Aro lahir prematur. Menghabiskan 3 bulan pertama hidupnya di rumah sakit. Papa masih belum menjadi dosen tetap, Mama hanya ibu rumah tangga biasa. Mereka baru saja menempati kontrakan 1 kamar ketika Aro lahir.
Kala itu, dunia rasanya runtuh, begitu kata Mama tiap kali bercerita tentang proses kelahiran Aro.
Tidak ada yang istimewa dalam hidup Aro. Ia bersekolah seperti anak-anak umumnya. Hobinya bermain bola seperti anak laki-laki umumnya. Satu-satunya pengganjal adalah tingginya tidak seperti anak kelas 6 SD pada umumnya.
Ibu Yos bilang, pertumbuhan anak laki-laki tidak secepat anak perempuan. Terlebih Aro lahir prematur. Aro akan berkilau di waktu yang tepat. Kalimat yang terdengar seperti penghiburan semata.
Karena tinggi badannya itu, Aro menjadi tak percaya diri. Di sekolah, ia sering menyendiri, dan baru ikut bermain bola jika ada yang mengajaknya.
Aro lebih suka menghindari tantangan. Baginya, tantangan berarti deretan kesulitan yang tidak perlu dicari-cari. Pergi menemui Nenek Ewona adalah hal besar yang pertama kali dilakukannya.
Suara dari perutnya membuat Aro refleks merogoh tas yang diberikan Nenek Ewona. Selain jurnal Nenek, ada bungkusan lain. Dengan pelan, Aro mengeluarkannya. Harum gurih manis langsung menguar, memancing perutnya berbunyi lebih keras. Isi bungkusan itu ubi panggang.
Aro makan dengan lahap. Sejak pagi perutnya kosong. Ia pergi dari rumah Nenek pagi-pagi sekali sebelum Om Periaman bangun. Selesai makan, tenggorokannya tercekat. Ia merogoh lagi tas itu. Tidak ada botol minum.
Apa yang kuharapkan? Memangnya ini kantung Doraemon? rutuk Aro dalam hati.
Dengan kesal ia bangkit memandang sekitar, mungkin ada rumah warga lokal yang bisa ia datangi.
Namun, sepanjang yang bisa dilihat hanya tanah lapang luas dengan hamparan rumput yang menguning hampir kering.
Aro berjalan menuju tempat yang rendah. Diingatnya kembali percakapan dengan Papa ketika mereka hiking di pegunungan.
Cari tempat rendah, karena air mengalir dari tempat tinggi ke rendah.
Rasanya ia sudah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya, tetapi hanya padang rumput yang dilihatnya. Kakinya seperti melumer. Begitu menemukan tempat teduh, Aro merebah. Sinar matahari tidak begitu terik, tertutup awan malah. Dengan putus asa dibukanya jurnal Nenek.
Tabib Jenazah.
Itu saja yang tertulis.
Tidak ada keterangan seperti yang ada di halaman Ono Mbela.
Aro membuka lagi lembaran berikutnya. Betapa terkejutnya Aro, halamannya kosong.
Dengan panik dibukanya lembaran jurnal itu, digoncang-goncang, diangkatnya tinggi-tinggi. Tidak ada yang berubah.
Aro yakin semalam jurnal itu penuh dengan tulisan tentang makhluk yang diceritakan Nenek. Ia bahkan membacanya ulang lalu melemparkan jurnal itu karena ketakutan. Barulah ketika ia datang ke kamar Nenek karena khawatir, Aro mendengar Nenek menyebutkan nama Aro dan papanya.
"Umbu nogu, Aro nogu ..... boi .. boi."
Anakku, jangan ... jangan ....
Ingauan Nenek membuat hatinya. Keberaniannya mendadak muncul membuat Aro memungut jurnal itu.
Gemuruh membuat Aro tersentak. Hatinya bersorak. Ada gemuruh, berarti hujan akan turun. Ia mengedarkan pandangan mencari pohon agar bisa berteduh.
Lalu suara gemuruh yang menggelegar membuat ia lari terbirit-birit tanpa arah. Berada di padang terbuka menjadikannya satu-satunya target untuk disambar petir.
Aro akhirnya menemukan satu pohon kecil. Sambil terengah-engah, ia berjongkok. Ketakutan mengalahkan rasa hausnya. Ketika gemuruh berhenti, lamat-lamat didengarnya suara percikan air.
Di depannya ada jalan menurun, sungai kecil dangkal terlihat. Aro memacu langkah sambil menelan ludah. Meski matahari tidak bersinar terik, ia tetap kehausan.
Suara percikan yang didengarnya berasal dari sumber air dekat akar pohon yang menjuntai.
Aro berlari, membiarkan kaki celananya terendam, tangannya yang sudah meraup air terhenti ketika suara melengking terdengar dan sesosok tubuh menabraknya.
"Jangan!"
Aro terhuyung. Secepat kilat tubuhnya ditarik ke tepi sungai.
"Airnya beracun!"
Aro tertegun. Sosok yang menariknya adalah anak perempuan. Mungkin seumuran dengannya. Kulitnya legam dari kepala sampai ke kaki. Anak itu memakai tunik bersulam emas merah dengan motif seperti tas yang diberikan Nenek Ewona.
"Kau ... kau ... siapa?"
Anak itu mundur selangkah. Sekarang gantian Aro yang diamati.
"Kamu, siapa?"
"Oh ... aku ... emm ... Aro, aku tinggal di...." Aro berhenti, mengingat-ingat apakah jurnal Nenek pernah menyebutkan makhluk dengan ciri-ciri seperti anak itu.
"Aku Sikhe. Tahu kan, arti Sikhe. Jadi, enggak usah memandangku seperti itu. Semut memang hitam, itulah sebabnya aku dinamai Sikhe." Meski awalnya wajah anak itu ceria, begitu menyebutkan namanya ia langsung cemberut.
Aro masih bingung. Banyak pertanyaan yang menjejali mulutnya, tetapi yang dikatakannya hanya, "A... aku haus."
Sikhe mengangguk, menyerahkan botol minum.
Aro meneguknya dengan rakus.
"Air sungai itu beracun. Ada sesuatu yang membendung aliran sungai. Bapa mengutusku agar melihatnya." Sikhe berjalan menyusuri tepian sungai. Sesekali merunduk mendekatkan kepala ke permukaan air.
"Apakah kamu tinggal dekat sini? Aku baru saja ... err ...." Pertanyaan Aro terhenti ketika Sikhe tiba-tiba masuk ke air lari berlari menuju seberang sungai.
Untuk sesaat Aro tidak melihat apa-apa. Hanya ada gundukan semak dan rumput yang tinggi. Namun, begitu mengikuti Sikhe yang menyeberang, barulah sosok itu terlihat.
Aro sontak mundur begitu gundukan berbulu yang mengambang. Kaki-kaki dengan bulu halus menyembul di sisi-sisi tubuh makhluk itu.
"Pantas. Bentuknya saja yang segini, tapi energinya membuat semua air kembali ke sumber." Sikhe menggerutu.
"Makhluk apa itu?" Lutut Aro lemas, ia berjalan makin mundur berkebalikan dengan SIkhe yang makin merengsek maju.
Sikhe tidak menjawab. Ia sibuk menyibakkan rumput. Aro hampir terjengkang begitu Sikhe berhasil menarik sosok itu.
Makhluk itu mempunyai kaki yang berbulu. Tidak dua, tidak empat mungkin 10 atau lebih. Aro tidak fokus menghitungnya. Makhluk bercapit seperti kepiting tetapi lebih mirip laba-laba.
Ada banyak tonjolan di badannya, mempunyai kelopak dan terlihat seperti mata yang memejam.
"Ayo! Bantu aku!"
Sikhe tampak kewalahan menarik kaki-kaki berbulu itu. Aro bergeming, ia masih syok dengan pemandangan di depannya.
"Aro! Ayo!" Seruan Sikhe berbarengan dengan bunyi gemuruh membuat Aro tersadar. Dengan takut-takut tangannya meraih salah satu kaki.
Rasanya seperti memegang kemoceng bulu ayam yang basah. Kaki makhluk itu sebesar dua kepalan tangan Aro.
Susah payah mereka berdua menyeret si laba-laba ke tepi sungai.
"Ini makhluk apa?"
"Laba-laba Andaria. Ini yang keempatbelas! Oh, tentu saja ini yang keempatbelas! Kau yang keempatbelas!" Telunjuk Sikhe mengarah ke Aro. Matanya berbinar kemudian meredup setelah mengamati Aro.
"A... aku?" Aro mundur.
Kilat menyambar menghentikan percakapan mereka. Sontak, Aro dan Sikhe meloncat.
"Tidak ada waktu. Ayo pergi ke tabib jenazah." Sikhe sigap meraih kaki laba-laba dan memberi isyarat kepada Aro untuk mengikutinya.
Langit berubah gelap dalam sekejap. Masih belum menyadari siapa dan apa yang sedang dilakukannya bersama Sikhe, Aro hanya bisa menurut ketika mereka berdua menyeret laba-laba Andaria menaiki bukit.
Aro merasa laba-laba itu menjadi makin ringan. Mereka berjalan makin cepat. Gerimis mulai menerpa kepala. Dari kejauhan terlihat sebuah pondok mungil. Ketika hanya beberapa langkah dari pintu pondok. Petir menyambar tepat di depan Aro. Laba-laba Andaria yang mereka bawa bergetar. Kelopak mata yang tersebar di seluruh tubuh mendadak terbuka.
Sikhe menjerit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top