Meja Harmoni

Tangan, kaki, suara indah, bukan kekuatannya.

Kejelian, kecerdasan dan bantuan alam adalah energinya.


Langit dalam sekejap berubah menjadi kekuningan. Telur di dalam tas Aro berdenyut kencang. Sikhe masih terus berjalan cepat. Aro mengekorinya.

Mendadak, Sikhe berbalik. Dua tangan di pinggang, matanya memelotot dan anak perempuan itu menyemburkan kata-kata dengan cepat.

"Jangan mengikutiku! Kau lihat langit cepat sekali berubah warna, sebentar lagi ...akan ... timbul...pergi! ..... lari!"

Kata-kata Sikhe hanya hidup di udara lalu mati ketika masuk ke telinganya. Aro tidak paham apa yang dikatakan anak perempuan itu. Yang ia sadar, ada deru angin di belakangnya. Sikhe menunjuk-nunjuk dengan heboh.

Aro masih tidak paham. Ia baru berbalik ketika suara tabuhan dan dentang terdengar keras. Begitu berballik, ada pusaran angin tidak jauh dari tempatnya berdiri, mula-mula pusaran itu hanya setinggi lututnya, lama-lama pusaran membesar diiringi dengan suara tabuhan yang makin kencang.

Sikhe sudah ada di sampingnya. Tak terlihat ketakutan, Aro malah melihat ekpresi jengkel di wajahnya.

"Karena kamu, sih!" serunya sambil memukul lengan Aro dengan keras.

Lalu anak itu maju mendekat ke pusaran angin. Berkata-kata dalam bahasa yang tidak Aro mengerti. Mula-mula seperti racauan, lama-lama terndengar seperti nyanyian.

Telur dalam tas Aro berdenyut makin kencang, seolah ingin keluar dari dalam tas. Aro memeriksanya dan terbelalak mendapati telur itu berpendar terang. Dengan hati-hati dikeluarkannya telur itu, dibiarkannya melayang di udara.

Telur Andaria menghampri Sikhe yang kini sedang bernyanyi dan menari. Keduanya seperti menari dalam satu harmoni.

Perlahan deru angin melesap, meninggalkan anak angin yang membawa debu. Telur Andaria turun perlahan mendarat telapak tangan Sikhe.

Alam seolah-olah mendengarkan perintah Sikhe. Bukannya merasa lega, Aro yakin Sikhe makin kesal. Anak perempuan itu berbalik, langkahnya berderap menuju ke Aro.

Aro mundur perlahan, mengantisipasi tindakan apa yang akan dilakukan Sikhe terhadapnya.

Dengan kasar diserahkannya telur itu kepada Aro. Untunglah, telur itu tidak terjatuh dan masih berdenyut.

"Dengar, ya. Aku akan membawamu ke sana. Ke dunia Awuwukha. Setelah itu, kutinggal!" ujar Sikhe dengan ketus.

Seketika kelegaan membanjiri Aro. Ia tidak memprotes meski Sikhe menyambar lengannya dengan kasar lalu setengah menyeret Aro menuju pusat pusaran badai tadi.

Suara debam menggelegar ketika pusaran angin terjadi ternyata ditimbulkan oleh benda dari batu yang terjungkir di tanah. Bentuknya seperti meja bulat dengan satu kaki menghadap langit.

"Aro, bantu aku! Berat sekali ini!"

Aro menaruh tasnya dengan hati-hati lalu bergegas menghampiri Sikhe.

"Mengapa pusaran angin menjatuhkan benda ini? Kau .... Sungguh akan membawaku ke dunia awu-awu?" tanya Aro hati-hati.

Sikhe tidak menjawab. Ia memberi isyarat agar Aro membalikkan batu itu bersama-sama.

"Ini altar penari. Hanya para keturunan penari yang bisa naik ke atasnya. Altar ini satu-satunya jalan masuk ke dunia awuwukha setelah dunia mereka disegel oleh nenekmu. "Memangnya nenekmu tidak menceritakan apa pun tentang nenekku?" Sikhe bertanya sambil memandang lekat wajah Aro.

Aro menggeleng. "Tidak. Aku baru mendengar cerita tentang semua ini tadi malam."

"Memangnya tidak ada yang bercerita kepadamu tentang dunia ini? Tentang Ono Mbela? Atau tentang Raja Sirao?"

"Siapa memangnya ....?"

"Hantu."

Aro menggeleng. "Mungkin seperti kuntilanak, atau pocong?"

"Makhluk apa itu?"

Aro hendak menjelaskan ciri-ciri makhluk – makhuk halus yang ia tahu, tetapi ekor matanya menangkap telur dalam tasnya bergerak. Buru-buru didekapnya tas Nenek Ewona di dada.

"Kita harus cepat."

"Kita? Kamu," ralat Sikhe.

"Ya... ya... ya... Cepatlah, bagaimana caranya masuk ke dunia awu-awu?"

Sikhe merapikan tuniknya. Dengan kedua tangan, ia juga merapikan rambut keritingnya yang mencuat berantakan akibat diterjang angin tadi. Dengan takzim ia meraba seluruh permukaan altar itu.

Aro mundur, ia ingat cerita Nenek tentang altar ini. Satu-satunya cerita yang membuat mata Nenek berbinar-binar.

"Altar penari hanya boleh diinjak oleh yang ditakdirkan untuk menari. Tarian akan membuat alam bersenandung ...." 

 Aro ingat Nenek bergumam sambil merentangkan tangannya.

Tarian burung elang. Bergerak perlahan, mata tajam memandang. Berputar, menukik, lalu diam. Dengarkan suara alam. Kekuatannya melebihi pikiranmu, kedasyahtannya melampaui tembok-tembok tak terlihat.

Lantunan syair yang didengar Aro dari Nenek sekarang keluar dari mulut Sikhe. Anak perempuan itu bergerak perlahan di atas altar. Kedua tangan direntangkan, ia berjongkok lalu bangkit perlahan-lahan. Aro merasakan telur dalam dekapannya berdenyut dengan cepat.

Lalu tanah yang diinjaknya bergetar, Aro makin erat memeluk tasnya

Sikhe berputar lagi, makin lama makin cepat. Aro yakin ia mendengar bunyi gong yang bersahutan, lalu denting-denting yang tidak beraturan menyelinap.

Aro merasa ada tirai kabut yang tercipta di sekitar altar, suara-suara mulai menghilang. Digantikan dengan desir yang membawa angin dingin. Sikhe masih menari, Aro mendadak waspada ketika seberkas cahaya jatuh ke altar. Mula-mula menerangi kaki Sikhe, lama-lama cahaya itu menyebar membuat sumber tunggal yang menyilaukan mata. Tanpa disadari, Sikhe sudah berdiri di samping Aro.

"Gerbang dunia Awuwukha, ke sanalah kamu harus pergi." Sikhe menunjuk ke sinar itu.

"A-ada apa di sana?"

"Tentu saja Awuwukha," jawab Sikhe dengan kesal.

"Aku ... aku tahu, maksudku, seperti apa di sana?"

"Memangnya kalau kuceritakan, niatmu bisa dibatalkan?"

Aro tertegun. Sikhe benar, apa pun yang ada di dalam situ tidak akan bisa membuatnya mundur. Ia sudah di dunia keempatbelas, saatnya maju.

Aro mengingat-ingat lagi ucapan Nenek Ewona sebelum ia melintasi gerbang di toko roti. Sesuatu di sini tidak akan melukaiku, tidak akan melukaiku. Patahkan kutukan Awuwukha, patahkan kutukan Awuwukha.

Meski lututnya lemas, Aro menguatkan diri. Telur dalam pelukannya masih berdenyut kencang, seirama dengan detak jantungnya. Telur itu seolah-olah ingin menyemangati Aro.

"Iya. Tenang, aku akan membawamu ke Pohon Liagra," bisik Aro sambil melangkah.

Aro melintasi cahaya dengan mata terpejam, dalam hati ia berharap Sikhe berubah pikirann dan mengikutinya. Nyatanya, ketika ia membuka mata, keheningan yang menyambutnya. Langit berubah menjadi gelap, kontras dengan langit biru yang ia tinggalkan sebelum masuk ke dalam cahaya.

Aro memandang sekitar. Aro ada di halaman suatu rumah, atau halaman belakang?

Rumah yang dilihatnya adalah rumah adat khas Nias. Rumah yang dilihatnya di dinding ruang tamu Nenek. Ia melihat kayu penyangga rumah berhias ukiran berwarna merah dan kuning yang menjadi penanda rumah adat utama.

Aro mengerjap, berusaha menyesuaikan dengan penerangan yang hanya berasal dari obor yang ditancapkan di keempat tiang penyangga rumah induk. Sayup-sayup Aro mendengar suara seperti langkah kaki berderap.

Aro berjalan cepat mengendap-endap menuju bawah rumah induk, ia menyembunyikan badan di balik tiang penyangga utama. Jantungnya berdegup kencang. Suara langkah kaki makin dekat. Pelan-pelan Aro mengintip.

Satu barisan kerangka tanpa tengkorak sedang berpatroli. Aro langsung menegang. Prajurit tanpa kepala itu membuat Aro yakin ia benar berada di dunia Awuwukha. Awuwukha membawa hampir seribu orang tanpa kepala ketika ia dibuang dari Tano Niha.

Sekarang Aro mengubah niatnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Awuwukha. Untuk apa? Toh, hanya dengan mengantarkan telur ini ke Pohon Liagra, kutukan terhadap keluarganya akan hilang. Sekarang, ia harus mencari di mana Pohon Liagra berada.

Di Jurnal disebutkan bahwa Pohon Liagra adalah pohon raksasa, menjulang tinggi menopang langit. Begitu besar dan tingginya sehingga mata tidak bisa menangkapnya.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top