Bagi 4 · Sphynx

__________

KEDIAMAN Keluarga Tjahyadewa, 19.08 WIB.

Rumah itu megah dan luas, dengan belasan rak buku berisikan literatur hukum dan surat kabar berbaris tertata rapi. Ruang tamu merangkap sebagai meja resepsionis firma hukum keluarga Kevin, bertandakan plang putih di depan halaman rumah dengan tulisan balok hitam : Law Firm Tjahyadewa and Sons

Sependek kesimpulan Amel, Kevin adalah anak bungsu yang tinggal di rumah ini bersama ayah dan keduaeh, apa tiga?kakaknya. Semuanya laki-laki, menyemat nama Tjahyadewa di KTP mereka. Itulah sebabnya firma hukum ayah Kevin diikuti embel-embel 'Sons', bukan 'Partners' atau 'Rekan'. 

Kamar tidur seorang Kevin Tjahyadewa merupakan ruangan luas yang menyatu dengan perpusatakaan pribadi—well, nggak 'resmi' jadi perpustakaan sih, Amel hanya berpendapat demikian sebab kamar Kevin dipenuhi rak-rak buku dan sofa tebal yang nyaman sebagai ruang baca. Ranjang berlapis sprei abu senada dengan warna sofa di satu sudut ruangan, sementara di sudut lain, tempat sofa-sofa berkumpul ditemani rak-rak buku dikelilingi jendela bertutup tirai putih-kekuningan, tiga orang pemuda-mudi sedang duduk berserakan ditemani laptop yang terbukaAmel, Kevin, dan Eliot.

"Huahhhh!!!!" Amel berteriak frustasi sambil menutup layar laptopnya.

Buntu. Masa depan seorang Karamel serasa buntu.
Seluruh upaya mangobok-obok search engine di jagad maya hanya berujungkan data Vion saat menjadi mahasiswa di Adelaide. Sosial media tidak aktif, nomor hape boro-boro. Abang yang satu ini sungguhan lenyap ditelan bumi.

"Astoge, iye iye Mel, gue matiin download-nya. Lemot dikit aja dah ngamuk-ngamuk, dasar nene lampir..." Eliot menanggapi sambil menggeser mouse dalam genggamannya.

"Bukan gitu Yot, ini gue ngerasa hopeless. Gimana coba caranya nemuin Mas Vion. Kevin, lo ada ide nggak?" Amel menjawab sekaligus mengalihkan pandangannya kearah Kevin. Pemuda yang dipanggil namanya itu sontak mengerjapkan mata.

"Errm..." Kevin tak sempat berkata-kata,

"Diem-diem bae Kev, ngopi napa. Ngantuk lo ye? Muke ditekuk-tekuk gitu, ntar luntur loh gantengnya." Eliot menimpali jayus.

"Bukan, ini cuma... sebenernya, kita nyari siapa sih ini? Mantan pacar ya?" Kevin menjawab dengan rikuh, nada suaranya getir menandakan ketidaknyamanan.

"Hah??" Amel tergagu.

"HAHAHHAHAHA." Eliot mengumandangkan tawa sekencang TOA, membuat Kevin jadi salah tingkah melihat respon mereka.

"... Kevin sayang, lo kalo cemburu emang bisa jadi buta ya. HAHAHAH," lanjutan kalimat Eliot membuat Amel tersenyum kecut. Cemburu? Kevin? Oh tidak... Jangan sangkut pautkan abangku dengan percintaan sesama jenis kalian, plis.

"Bukan kok, Kev, ini abang gue. Dia udah kabur sejak mau kita jemput dari Australi tahun lalu. Lo beneran ngga ada ide cara nemuin dia, ya?" Amel menjawab dengan tabah sementara Eliot masih terbahak gulung-gulung.

"Ohh..." Kevin bernapas lega. "Sebenernya bisa sih, kayaknya. Kamu ada nomer KK kan, Kar?" 

"Kartu Keluarga? Ada sih, cuma—"
Amel tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar, menampakkan pria paruh baya dengan janggut lebat melayangkan pandangan tajam.

"Kevin, kamu lagi ngapain? Papa lihat ada motor Eliot didepan, kamu nggak berduaan sama— Eh..." ucapan pria itu terhenti saat pandangannya bertubrukan dengan sosok Amel. 

Detik itu juga, Amel berkesimpulan kecut dalam hati, bahwa Eliot sudah terlampau sering mampir ke rumah Kevin sampai-sampai motornya saja dihafal. Pikiran itu tervisualisasi dalam senyuman canggung di bibir Amel.

"Papa apa-apaan sih, bikin kaget aja. Oh iya, ini Karamel, Pa." Kevin menjelaskan seiring Amel dengan sigap menjulurkan tangan, disambut jabatan oleh pria yang Kevin panggil Papa tadi.

"Amel, Om..." gumam gadis itu.

"Oohh, jadi ini yang namanya Karamel? Nama kamu unik sekali, Amel. Salam kenal ya, saya Papanya Kevin." Nada suara pria tersebut melunak, dilengkapi dengan mata tua yang menyipit dalam senyuman tertutup janggut. Entah kenapa, nada suara Papa Kevin terdengar sedikit... lega.

"Yeuu, sama Amel aja dibaek-baekin si Om. Aku dong, nggak disalamin juga?" Eliot menyeletuk dari udara kosong, membuat Amel melirik ganas kearah sobatnya yang tak tau sopan santun itu.

"Ah, kalau kamu sudah bosan Om lihatnya. Ini sepertinya kalian sibuk, sedang belajar kelompok ya?" pria itu menanggapi.

"Iya. Papa ngapain pulang? Bukannya ada meeting sama klien?" Kevin menjawab sekaligus membombardir papanya dengan pertanyaan.

"Papa mau ambil berkas, ada yang ketinggalan. Ya sudah, lanjut saja kalian belajarnya ya. Kevin, pesankan delivery makan malam sekalian buat teman-teman kamu. Amel, Eliot, Om tinggal dulu ya," pamit Tuan Tjahyadewa sambil berbalik keluar ruangan, meninggalkan Kevin yang berkata putus asa,

"Tutup lagi pintunya, Pa! Nanti si Venus masuk..."

Terlambat. Langkah kaki papanya terlampau jauh sementara sekelebat hewan berlapis kulit cokelat muda baru saja menyelinap memasuki pintu kamar yang setengah terbuka.

"Omaygattt!" Eliot menjerit lebay melihat hewan itu, kedua kakinya otomatis tertekuk keatas sofa dengan gesit, sementara Amel terkesiap kagum.

"Wah! Haloo, siapa nih? Kev, kucing sphynx ya ini?" Gadis itu segera berlutut untuk menjalarkan telunjuknya kearah kucing tersebut, membiarkan hewan tanpa bulu itu mengendus ujung jemari Amel sebelum mengizinkan gadis itu membelai kepalanya. 

Hari itu, Amel 'berkenalan' dengan dua makluk sekaligus : ayah Kevin sebagai sesama manusia, dan si kucing Venus.

"Amel! Iiihh, lo kaga geli? Kucing gada bulu gitu, keriput-keriput mirip otong, kenapa bisa lo pegang-pegang sihhh??" Eliot bergidik melihat interaksi sahabatnya dengan hewan alien tersebut.

"Heh, sembarangan. Ini tuh ras kucing elit tau Yot, harganya bisa belasan juta, apa lagi yang ada gradasi warnanya kayak gini nih, hidung cokelat gelap motif siamese. Duhh lucu banget..." Amel berniat menggendong kucing tersebut, namun si hewan dengan gesit meloncat kearah sofa yang diduduki Kevin dan memanjat sandaran sofa, menggosokkan kepala gundulnya kearah Kevin.

"Belasan juta buat megang otong?! Dah gila," Eliot berkomentar sementara Kevin dan Amel sama-sama menahan tawa mendengar ocehannya.

 "Ini si Venus, Kev? Kenapa nggak dibolehin masuk?" Amel bertanya sambil memperhatikan Kevin,

"Iya, ini Venus. Aku kira kamu takut kucing, apalagi yang bentukannya aneh kayak gini, Eliot aja geli liatnya. Ternyata kamu beda ya, Karamel," Kevin mengerling sekilas kearah gadis itu, menyuguhkan senyum termanis yang pernah Amel lihat.
Anjrit! Be still, my heart.

"Ohh, hehe... iya, aku juga punya kucing kok di rumah," jawab Amel, yang reflek mengatupkan mulutnya setelah sadar ia mengeluarkan kata 'aku'.

"Erm, guemaksudnya, gue... eh, iya! KK tadi, butuh buat apaan Kev? Gue ada tapi nggak bawa, yang ada KTP nih, bisa?" Amel gelagapan berkata dengan serabutan, dan Eliot mulai tersenyum jayus melihat sahabatnya yang salah tingah tersebut.

Kevin pun turut tersenyum tipis sebelum melanjutkan, "KTP ya? Hmm... bisa sih, kayaknya. Soalnya kan nomor seri-nya sama kaya di KK ya. Boleh deh, sini coba." 

"Oke, bentar..." Amel segera mengaduk tasnya untuk mencari dompet, mengeluarkan selembar Kartu Tanda Penduduk yang mendadak ia sesali keberadaannya.

"... aduh, tapi foto gue jelek banget Kev. Jangan diliat ya?" Amel mengulurkan kartu tersebut setengah hati. 

Kevin menerima kartu itu dan langsung mencelakai perintah Amel. Si bungsu Tjahyadewa tersebut mematai foto KTP Karamel sambil tersenyum penuh arti, memperhatikan ekspresi Amel yang berpose kaku, dengan poni tipis membingkai wajah mungilnya.

"Cantik gini," simpul Kevin. 

Kata itu bagaikan mantra ajaib yang membuat Amel membisu, otaknya mendadak beku.

"Aku pinjem dulu ya, coba nyari sesuatu. Tunggu sini bentar." Kevin melanjutkan kalimatnya sambil bangkit, meninggalkan ruangan diikuti kucing Venus yang membuntut.

Amel menggigit bibirnya dengan gamang. Dalam ruangan ini, hanya tersisa dirinya dan Eliot.

"Kevin aneh nggak sih, Yot? Lo nggak curiga, gitu?" Amel membuka obrolan.

"Hm?" tanggap Eliot, senyum miring masih menghiasi wajahnya.

"Gue bener-bener bingung, Yot. Walopun lo laknat dan minus akhlak, tapi kan tetep, lo sahabat gue. Ngga enak lah gue..." Gadis itu mulai meracau, membuat Eliot meilirik dengan satu alis terangkat.

"Maksut lau?"

"Ya... gimana-gimana juga lo kan udah nemenin gue dari orok. Gue bukan pager yang makan taneman, bukan teman nikung teman. Apalagi komentar Kevin barusan..."

"Mel."

"Dia bilang gue cantik? Hah?? Dah gila. Cowok seganteng dia muji gue? Cantik, katanya? Aaarghhh, terus gue harus gimana, Yot? Mana jatung gue geder-geder gini pula, kaga bisa diatur.. Gue bersalah banget kalo sampe ada apa-apa..."

"Amel."

"Gue tau dia itu gebetan lo, Yot, dan walaupun hubungan kalian kayaknya ditentang sama bokapnya Kevin, tapi"

"DOI TUH NAKSIR ELO, GEBLEG!!" suara Eliot jelas dan lantang, menggelegar bagaikan tamparan relaita di gendang telinga Amel.

"Hah? Jangan ngaco, Yot! Dia kan gebetan lo..." Amel berusaha terbangun dari syok-nya.

"Gebetan dari hongkong! Dia tuh nempelin gue terus biar bisa deket sama lau, Maimunah! Aduh, gue kira lo dah peka, udah dari dulu-dulu padahal... Ahh, malah ngira si Kevin lekong coba. Sumpah, goblok kok borongan," Eliot ngerap sambil memijit pelipis kepalanya, menyayangkan sahabatnya yang dikata cantik tapi ternyata dongo luar biasa.

"Jadi... Kevin nggak homo?" Amel menyimpulkan dengan hati-hati, berbalas tatapan tajam dari Eliot.

"Macho begitoh mana mungkin demen ama batangan, Amel... aduduuh, kayaknya perlu gue geplak nih pala lo biar tuh otak yang gesrek balik lurus lagi." Eliot meremas udara dengan gemas, sementara Amel terdiam mencerna fakta baru ini dengan mulut menganga.

"Berarti ini seriusan nih, lo baru tau?" Pertanyaan lanjutan Eliot terlontar bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka lebar. 

Kevin berdiri di sana, menggenggam secarik kertas di satu tangan dan menenteng tumpukan kotak pizza di tangan lainnya.

"Baru tau apaan, El?" timpal Kevin yang mendengar potongan kalimat tadi.

__________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top