Putri Kebaya

Seringkali aku bertanya-tanya tentang eksistensi kehidupan. Perihal mengapa aku harus terlahir di muka bumi ini, berjuang untuk hidup dan kenapa manusia melakukan sesuatu berulang-ulang. Seperti ... pemuda-pemudi kawin, kemudian memiliki anak. Mereka hidup dalam pohon keluarga nan kokoh. Namun, sang anak akan menempa hidup sendirian ketika orang tuanya meninggal, lalu membangun keluarga baru.

Sesingkat itulah. Harus ada kematian untuk melahirkan kehidupan lainnya. Anak-anak yang tumbuh akan digembleng dengan penuh harapan. Saat mereka balita, nalurinya berharap bisa berjalan dan berbicara. Setelah itu, belajar menulis dan membaca, sampai diarahkan untuk bercita-cita dengan menempuh pendidikan.

Menjelang jenjang akhir sekolah itulah sebuah perkataan sang guru mengusik benakku. Beliau baru saja mengakhiri pelajaran sosiologi, dan kami mebahas tentang masa depan dalam obrolan hangat. Hingga beliau menatap kami dengan penuh keseriusan dan bertanya, "Lulus sekolah nanti kalian mau jadi apa?" 

Aku saat itu tengah berpangku tangan sambil menatap papan tulis yang bersi cita-cita teman sekelas. Sementara telingaku hanya mendengarkan lonjakan euforia mereka ketika dengan bangga membahas harapannya. Aku sendiri hanya bisa terbungkam. Jujur, aku tidak tahu akan berlabuh ke mana saat dewasa nanti. Sebab tidak seperti siswa-siswi kebanyakan, aku bukanlah orang yang memiliki cita-cita.

Tatkala semua teman sekelas usai bersuara, aku menjadi giliran terakhir untuk menjawab. Kuputuskan untuk berdiri di tengah mata-mata yang mulai menatap penuh penasaran, sambil meremas erat seragam sekolah untuk meredam rasa gugup di tengah suara yang sulit untuk keluar. "Aku ... ingin bekerja dan hidup sederhana."

Embusan napas berat sayup-sayup terdengar, kentara sekali bahwa mereka tidak puas dengan jawabanku. Sebagian lainnya tergelak tawa. Sementara satu di antara mereka mulai berkelakar, "Bagaimana bisa kamu hidup bahagia dalam kesederhanaan?"

Aku hanya bungkam. Niat hati, ingin memberikan jawaban kepada lelaki itu saat hari perpisahan nanti. Namun, bahkan setelah lulus aku belum menemukan jawabannya. Kehidupanku justru semakin merosot, dan pertanyaan sang guru benar-benar menjadi kenyataan tak berkesudahan. Aku taktahu harus ke mana.

Kehidupanku semakin merosot jatuh saat menjadi pengangguran. Keluar masuk pekerjaan, mencoba berbagai skill yang cocok, hingga jatuh pada kenyataan bahwa aku sudah lelah menghadapi kehidupan. Tidak ada pemotivasi. Hal itu membuatku semakin jauh dari lingkungan dan orang-orang sekitar.

Bagaimana tidak? Keluarga yang menjadi alasan aku bekerja sudah tiada. Aku pernah mencoba jatuh cinta untuk merasakan hal manis, di antara kepahitan ini. Pria itu sering kutemui saat dalam perjalanan menuju tempat kerja. Aku yang biasanya menerobos lampu merah, kini berujung mentaati peraturan hanya untuk mencuri pandang.

Seringkali kami terlibat kemacetan bersama. Di tengah lautan manusia dengan wajah masam, sorot mata teduhnya menjadi penyejuk suasana. Namun, sebelum aku benar-benar bisa menyapa lelaki itu, dia sudah lebih dulu bersama gadis lain. Sementara aku? Hanya menjadi pengagum yang tidak pernah dia ketahui.

Pada titik itu, aku memutuskan untuk membunuh perasaan kepada angan yang takpasti. Namun, tanpa sebuah harapan, aku tidak bisa hidup menjadi manusia pada umumnya. Pekerjaanku menjadi kacau, berkali-kali menerima surat pelanggaran dari atasan. 

Saat itu butik kami mendapat klien rancangan baju pernikahan. Semua pekerja sudah memiliki tugas masing-masing, kemudian aku diberi tanggung jawab penuh atas pakaian tersebut. Namun, aku salah menerapkan pola pada gaun mempelai wanita, sehingga gaun tersebut sangat sesak pada tubuhnya yang berisi.

"Sebisa mungkin akan kurombak lagi," kataku penuh keyakinan sambil menunduk, kerena kesalahan yang telah kulakukan. Meski demikian, aku ingin menciptakan gaun cantik kepada wanita itu di momen sakral untuk kehidupan barunya.

Bos mengangkat gaun putih dengan lapisan furing brokat berbunga timbul itu ke hadapan wajahku. Bagian kupnat yang menampakkan pinggang ramping di gaun tersebut sudah sobek saat dipakai sang wanita. "Sudahlah. Gak ada harapana lagi." Kini, pandangan bos beralih pada potongan atas gaun. "Bagian dadanya juga kurang diekspos. Padahal di situ letak keanggunannya terpancar."

Demikianlah. Satu kesalahan yang kubuat malah beranak menjadi berbagai kesalahan. Padahal sejak awal, model inilah yang diharapkan oleh klien tersebut. Tidak terlalu terbuka, tetapi tetap memancarkan kharisma sebagai seorang wanita. Hanya saja, karena posisiku sejak awal sudah bersalah, aku takmau memperkeruh suasana. "Maaf, Bos. Kesalahan ini bakal saya jadikan pelajaran buat berbenah diri."

"Gak ada penyelesaian dengan kata maaf. Butik kita rugi!" Dia melemparkan gaun itu ke arahku dengan kecewa. Lantas berkata sambil bersedekap. "Ambil saja bajunya. Kelihatan, Abel. Sejak awal kamu buat baju ini untuk dirimu sendiri, karena ukurannya sesuai sama proporsi badanmu."

Aku mengernyit. Sebegitukah mereka berpikir diriku ingin menikah? Bahkan, aku masih muda dan banyak hal yang sebetulnya harus diperjuangkan. Meski dunia semakin mengajak bercanda dalam permainan takdir.

Kalimat tersebut menjadi ucapan perpisahan untuk mengakhiri pekerjaanku sebagai penjahit. Lantas segera mengangkat kaki dari tempat yang katanya surga para gadis. Penuh dengain pakaian branded sebagai ajang memamerkan penampilan.

Malam itu, aku berjalan gontai melewati para tunawisma. Mereka duduk di pinggiran toserba sambil mengangkat tangan untuk meminta setiap ada pejalan kaki yang lewat. Angin malam menerjang kulit rentanya, tetapi hati mereka lebih kokoh untuk mengais hidup membela diri di tengah realita. Bahkan masih dapat tersenyum kecil saat berhasil mendapat sepeser uang.

Aku ikut tersenyum melihat sebuah semangat membara dalam hati mereka. Tak ada pembeda besar antara kalangan bawah dan kalangan atas dari keyakinan untuk bertahan hidup. Meski dari segi penampilan, mereka tampak jauh lebih memperihatinkan dari yang terlihat.

Hal itu membuat aku mendapat sebuah jawaban dari pertanyaan teman sekelas, bahwa patokan kebahagiaan tidak bisa diukur dari seberapa sederhananya hidup seseorang. Nyatanya, banyak kebahagiaan yang justru hadir dari kesederhanaan tersebut.

Aku berjongkok, kemudian memasukkan uang pesangon ke dalam topi salah satu tunawisma. "Ini rezeki buat Bapak," ucapku dengan tulus, hanya agar aku bisa kembali melihat sebuah senyuman. Sementara pria paruh baya itu justru berlinang air mata, bisa jadi ini penghasilan pertama yang ia dapatkan setelah sekian lama berdiam di sini.

Aku merasa memberikannya pada orang yang tepat. Sejak saat itu aku merasa tercerahkan. Takperlu alasan besar untuk hidup.di muka bumi, cukup dengan bisa membantu orang lain saja aku sudah merasa menjadi bagian dari kehidupan. Setelah sekian lama dalam keterpurukan, aku pun mencoba kembali bangkit.

Pertama-tama, aku memulainya dengan melakukan hal terkecil, dengan mempermak gaun yang sudah dibuang dari butik, kemudian menyulapnya menjadi kebaya nan elegan. Aku pikir, kita harus menonjolkan keberadaan kepada negeri, dan aku memperkenalkannya dari sebuah kebaya.

Pagi harinya, aku terbangun dengan semangat. Meski tanpa keluarga dan seorang kekasih. Aku hanya perlu kepercayaan diri dengan mengenakan kebaya itu, kemudian bercermin untuk melihat bahwa aku memang pantas mengenakannya sebagai seorang putri. 

Teruntuk kalian yang sedang dalam masa sulit, aku juga ingin berpesan, "Mungkin saja harapan itu sejak awal sudah tercapai. Tapi karena kalian belum mencintai diri sendiri, hasil dari pengharapan itu tidak terlihat."

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top