Mimpi itu Simpan Dulu

Seseorang mengingatkan lelaki itu dengan ikan. Menggelepurlah ia saat naik ke darat. Lalu, yang dilihatnya hanyalah mata ikan itu yang terbelalak kemerahan. Tanyanya dalam hati, “Dengan apa ikan bernapas?”

Lelaki itu menenangkan pikiran, berusaha tidak memikirkan hal bodoh yang sudah jelas-jelas diajarkan kepadanya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Sesaat kemudian, seorang lelaki tua menghampirinya, lalu memukul kepalanya tanpa rasa bersalah.

“Sejak kapan kau menjadi bodoh?” tanya lelaki tua itu.

Ya, sejak kapan dia menjadi bodoh? Dia berusaha mengingat kembali. Ternyata dia bodoh sejak tadi pagi: ketika ia memandang langit dan bermimpi.

*

Angin itu tak lelah untuk beringsut-ingsut dari sudut ke sudut dunia tanpa meninggalkan celah. Seorang lelaki duduk di teras rumah dengan mulut terkunci. Tidak, jangan ada yang mengajaknya bicara. Wajahnya tertunduk tak percaya diri.

Seekor kupu-kupu terbang menyombongkan sayapnya yang indah. Angin membawanya entah ke mana. Sempat-sempatnya kupu-kupu itu bersombong. Padahal ia terbang sendirian saja. Tampak jelas dari wajah lelaki itu bahwa ia mengagumi keberanian dan kepercayaan diri sang kupu-kupu. 

“Andai ... andai waktu itu aku bermimpi menjadi indah, akankah aku bisa menjadi berani seperti dirinya?” gumamnya sendirian.

Kupu-kupu itu singgah di jendela. Sedang mencari apa, lelaki itu pun tidak tahu. Padahal tidak ada daun, bunga, atau bangkai buah. Hanya jendela kaca. Kaca murni, bersih, dan tak berbau. Lelaki itu bangkit meninggalkan kopi hangatnya, lalu mendekati kupu-kupu itu, ditelitinya dengan seksama bentuk sayapnya. 

Lelaki itu mengernyitkan dahi. “Apa jadinya jika kupu-kupu tanpa sayap? Akankah tetap indah?” Untuk yang ke sekian kalinya, lelaki itu berbicara sendiri. Otaknya telah dipenuhi triliunan wacana, terkadang ketika tidak bisa menampung keseluruhan wacana itu, meledaklah ia keluar dari mulut dengan untaian kalimat yang beragam macam.

Tetangganya yang lewat di depan rumah, memandangi lelaki itu yang bicara sendiri: langsung menghindar. Itulah yang sering disebut sebagai ... paradigma. Sifat alami manusia yang harus dipelajari keras-kerasan oleh para kupu-kupu. Tidak, berparadigma tidak salah. Manusia tidak akan pernah salah.

Lelaki itu menangkap si kupu-kupu, membawanya masuk ke dalam rumah. Ia berjalan cepat ke arah dapur, lalu mengambil gunting di tempat sendok. Sedetik setelahnya, dibunuhnya kupu-kupu tadi. Secara perlahan.

“Paradigma itu perlu bukti!” Di antara triliunan wacana yang menumpuk di dalam otak, hanya satu kalimat yang mendominasi. Ya, kalimat bahwa paradigma itu perlu bukti. Kalimat yang menghantuinya sejak berumur delapan belas tahun.

Sekarang benar-benar baru ada istilah "kupu-kupu tanpa sayap". Apa jadinya? Kupu-kupu itu langsung mati. Eksperimen menciptakan kupu-kupu tanpa sayap barusan, membuat lelaki itu langsung ingin menjadi ilmuwan. Ya, dia langsung mengira bahwa dia adalah ilmuwan terbaik sepanjang sejarah peradaban kehidupan manusia. Sekali lagi, dia telah membunuh kupu-kupu itu. Akhirnya ia mendapatkan jawaban bahwa kupu-kupu akan mati jika tidak memiliki sayap.

Apalagi yang dicarinya? Tidak ada. Setelah membunuh satu jiwa, ia hanya berdiam diri, duduk di teras dari siang hingga sore, tanpa merasa bersalah sama sekali sebab sudah menjadi pembunuh.

“Angin ini benar-benar sialan!” decak lelaki tanpa nama itu.

Angin pun berhenti beringsut. Sakit hati. Angin pun sakit hati atas ucapan tak bertanggung jawabnya. Sejak mendengar bahwa hadirnya adalah kesialan, angin tidak pernah beringsut lagi. Cuaca jadi panas, semua tumbuhan mati, air pun tidak mengalir lagi dari hulu ke hilir. Sampai sore ini, ketika lelaki itu bersumpah kepada angin bahwa dia tidak akan menuntutnya lebih lagi. Angin berbaik hati dan melakukan kebiasaannya lagi.

Atas kerusakan yang telah terjadi, seorang lelaki tua yang muncul entah dari mana, menghampiri rumah lelaki pembunuh kupu-kupu tadi. Lelaki tua itu berjalan tergesa-gesa, wajahnya terlihat memendam amarah.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya dengan nada menantang, membusungkan dadanya yang kurus, matanya melotot menampakkan urat-urat yang telah busuk. 

Lelaki tanpa nama itu mengernyitkan dahinya lagi. “Apa ... apa? Apa yang kulakukan?” tanya lelaki itu polos.

Lelaki tua itu menghela napas malas. “Jangan merasa bahwa kau adalah Tuhan Semesta Alam. Yang Maha Berhak Atas Segalanya,” katanya sambil duduk di bangku teras: tepat di sebelah lelaki tanpa nama tadi. Perawakannya sekarang sudah tampak agak santai.

“Maksudmu apa, Pak Tua? Kau siapa? Apa maumu?” Lelaki itu bertanya balik. Setelah sekian lama, dia akhirnya memiliki teman bicara. 

“Tanah kering, air tergenang, dan hutan mengeluarkan bau tak sedap. Apa? Apa? Kau bertanya apa?” omel lelaki tua tadi. “Perlu apa kau dengan identitasku?”

Lelaki tanpa nama itu mendengus kesal. Akhirnya ia paham lelaki tua yang di sebelahnya ini membahas apa. Sudah tua, masih saja peduli terhadap bumi manusia. Tubuhnya sendiri saja sudah bau tanah. 

“Oh, Pak Tua, kenapa sih? Urusanku dengan angin sudah selesai. Kau jangan menambah-nambahi. Salahku jikalau aku memiliki mimpi?”

“Anak muda saat ini bodoh maksimal. Sangat tidak realistis. Apa mimpimu? Membuat dunia ini menjadi hancur?” tanya lelaki tua itu dengan sedikit menyengir.

“Tadi pagi, kulihat langit. Indahnya langit tiada tara. Kupikir kesempurnaan milik langit. Tuhan menciptakan langit? Apakah Tuhan lebih sempurna dari langit? Ya, jawabannya iya. Tuhan lebih sempurna dari langit,” jelas lelaki tanpa nama tadi, dia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. Matanya kosong menatap ke atap. “Ternyata langit juga cacat. Ya ... meskipun itu paradigma manusia. Langit, kan, di atas awan. Yang membuat langit tampak cacat itu, kan, awan. Awan yang tak menentu bentuknya. Kau tahu, Pak Tua? Baru saja aku dibuat kagum oleh sempurnanya langit, aku langsung bisa mengetahui letak cacatnya. Namun, aku menemukan sesuatu yang lebih hebat, loh, Pak Tua.”

“Apa yang hebat? Yang lebih hebat daripada langit atau daripada Tuhan?” tanya lelaki tua itu.

Yang ditanyai memutar bola matanya malas. Ekspresi wajahnya saat ini seolah mengatakan, “Sudah tua masih saja bodoh!”. Untungnya, dia masih bisa menyimpan kalimat itu dengan rapi di lemari otaknya.

“Tentu saja yang lebih hebat daripada langit. Sejauh ini, Tuhan tiada tanding. Jadi, yang lebih  hebat daripada langit adalah kupu-kupu ....”

“Kupu-kupu?” 

“Ya. Setidaknya sebelum kuketahui letak cacatnya kupu-kupu. Oh, tidak! Kau sudah mendengar bahwa kupu-kupu memiliki cacat.”

“Jadi ...?” Lelaki tua itu menaikkan alisnya sebelah.

“Pelajaran yang kudapat tadi, bahwa kupu-kupu akan mati jika sayapnya dipotong.”

“Kau! Memotong sayap kupu-kupu?” tanya lelaki tua itu tidak percaya.

“Apakah aku terlihat bercanda? Ya, tentu saja. Itu untuk membuktikan paradigmaku. Aku pikir kupu-kupu itu sempurna, ternyata sama saja.”

Plak!

Lelaki tua itu memukul kepala kawan bicaranya. Sontak lelaki tanpa nama itu terkejut bukan main. Apa yang terjadi? Dia pun tidak sempat mengerti.

“Bodoh! Apa yang kau harapkan dari dunia ini?” tanya lelaki tua itu.

“Apa? Apa yang kuharapkan? Tentu saja kesempurnaan. Kau tidak merasa bahwa dunia ini cacat? Paradigma manusia saja yang melebih-lebihkannya sehingga ia terlihat sempurna. Manusia, kan, hobinya hanya berparadigma!” jawab lelaki itu dengan tegas. 

Lelaki tua itu terbahak-bahak, menampakkan gusinya yang kosong tanpa gigi dan mulutnya yang bau busuk. “Kau itu bodoh sekali, sumpah. Kau manusia terbodoh yang kutemui di dunia ini. Sikapmu aneh!”

Lelaki tanpa nama itu tampak kesal. Wajahnya memerah, ingin sekali ia bangkit dan membanting tubuh kurus lelaki tua yang di sampingnya. “Apa lagi salahku?” tanyanya singkat.

“Kau memiliki mimpi supaya dunia ini sempurna? Kau pikir semua kesalahan yang ada di dunia ini tercipta karena ingin disempurnakan? Tentu saja tidak, Bodoh! Cacat, dunia ini memang cacat. Dunia dan seisinya cacat, tapi bukan berarti kau bisa memperbaiki kecacatan itu dengan mimpi. Percuma kau mimpi, menuntut kesempurnaan. Pada akhirnya kau tidak akan menemukannya. Karena tidak ada yang sempurna di dunia ini! Ya ... aku tidak tahu bagaimana kalau neraka. Kau coba saja mati, apakah kau menemukan kesempurnaan?” Habislah si lelaki tanpa nama diomeli.

Lelaki tanpa nama itu menutup matanya, menenangkan pikirannya, mengatur napasnya, sambil memikirkan ucapan kawan bicaranya. Benar juga, tidak ada yang bisa diharapkan untuk dunia yang serba cacat.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top