Idealis Vs Realis
Hening menyelimuti kamar kos yang gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah senter dari ponsel yang digenggam oleh kedua tangan. Seorang gadis berbaring miring di tempat tidur, matanya basah kala jempolnya pelan-pelan mengusap layar ponsel dengan pelan.
Jam sudah menunjukkan pergantian hari. Sudah lewat tengah malam. Jam selarut ini seharusnya sudah tidak ada lagi yang terjaga. Akan tetapi, gadis yang kini meringkuk di bawah selimut bulu itu belum pula terlelap.
Isakan kecil keluar dari bibir yang bergetar. Gadis itu, Dinda, memejamkan mata dengan erat, ia mendesis seolah sedang kesakitan. Namun, bukan fisiknya yang sakit saat ini, melainkan hati.
Hati Dinda sakit sekali. Dadanya sangat sesak. Frustrasi, kesal, sedih, marah, rasa tidak berguna, rasa tidak bisa melakukan apa-apa. Semua perasaan ini membuncah semakin lama ia melihat berbagai berita miris tentang pembantaian yang terjadi pada saudara-saudara seimannya. Bagaimana mungkin hatinya kuat kala melihat dokumentasi dan sorotan akan penderitaan anak-anak, wanita, orang tua, hewan tak bersalah, dan seluruh masyarakat yang ada di sana?
Belum lagi saat ia menyaksikan secara langsung bagaimana tololnya orang-orang yang memihak pada kelompok yang jelas-jelas bersalah. Orang bilang, tak peduli seberapa baik dan sempurnanya engkau, satu kesalahan dapat menghapus segala kebaikan itu. Namun kenapa hal ini tidak berlaku untuk penjajah ini? Tak peduli beratus-ribuan kali mereka berdusta, tanpa tahu malu, melakukan kejahatan perang disaksikan oleh seluruh dunia, melakukan hal semaunya, tetap saja ada pihak goblok yang masih saja percaya?
Apakah manusia memang sudah sejauh ini? Sudah sampai di sini? Sudah kembali lagi ke masa di mana sebuah nyawa bukanlah apa-apa?
Sesak. Dada Dinda sesak sekali. Setiap malam saat seharusnya Dinda beristirahat, dia akan mengecek segala berita baru, berharap ada berita baik, berharap kejahatan zionis akan terungkap. Namun nyatanya, selama ini kejahatan mereka sudah sangat terang-terangan. Tidak ada lagi yang perlu diungkap. Mereka sudah melakukannya sendiri dengan bangga berkat bantuan pihak super power dunia.
Ya Allah, kuatkanlah hati hamba-Mu ini ....
Malam itu, Dinda tertidur dengan kelopak mata yang masih basah dengan air mata.
***
Sore ini Dinda sedang duduk sendirian di salah satu kafe. Laptopnya terbuka lebar, jemarinya berlari di atas kibor dengan lincah. Dari kerutan yang muncul di antara alis, terlihat jelas bahwa Dinda sedang serius.
Kafe yang dia tempati sekarang hanyalah sebuah kafe kecil. Hanya ada Dinda dan seorang lagi pelanggan lain, sisanya hanyalah pegawai yang sedang bersih-bersih. Entah sudah berapa lama Dinda di sini, tetapi minuman yang ia pesan masih sisa setengah. Dia hanya meminum sedikit demi sedikit sebelum benar-benar mengabaikan gelas kaca yang berdiri diam di belakang laptop.
"Selesai," gumamnya menekan tombol enter dengan gerakan riang. Tangan yang sama meraih gelas minum yang es di dalamnya telah mencair. Namun, Dinda tidak kelihatan peduli. Matanya justru menatap layar laptopnya dengan membara.
Ia baru saja memublikasikan sebuah artikel. Sebuah artikel yang merangkum segala informasi yang ia dapatkan tadi malam. Tentu saja ini bukan artikel pertama yang Dinda publikasikan.
Dinda bukan seorang jurnalis, tetapi ia gemar menulis. Ia sadar bahwa tidak semua informasi yang ia dapatkan tiap malam diketahui oleh orang-orang lain dari Indonesia. Hanya kejadian-kejadian besar saja yang terdeteksi, sedangkan berbagai insiden kecil yang tak kalah menyayat hati justru sering luput dari perhatian.
Ini tidak bisa dibiarkan. Dinda tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia perlu membuat orang-orang tahu, lebih banyak lagi orang yang tahu dan sadar akan apa yang terjadi. Lebih banyak lagi. Lebih, lebih banyak lagi. Semua orang harus tahu.
Ya, semua orang harus tahu.
Genggaman tangan Dinda pada gelas dingin itu mengerat. Kantung mata terlihat jelas menghiasi wajah lelahnya, tetapi binar membara di kedua obsidian hitam itu tidak bisa diabaikan.
***
Idealistis. Katanya, itu lawan kata dari realistis.
Dinda kurang setuju. Mengapa pemikiran yang teguh pada cita-cita dianggap tidak realistis? Mengapa menginginkan sesuatu yang ideal dianggap tidak menyadari kenyataan? Bukankah jika suatu keadaan tidak ideal, maka kita harus berjuang untuk menjadikannya ideal?
Keras kepala dan tidak peduli pada kenyataan memang tidak baik. Namun, menjadi idealis seharusnya tidak membuat seseorang menjadi suka berkhayal. Pun menjadi seorang realis tidak berarti mengubur impian dalam-dalam.
Namun mengapa idealis dan realis dianggap sebagai dua hal yang berlawanan?
"Mungkin inilah alasannya."
Malam yang sunyi di sebuah kamar kos yang gelap. Suara bisikan Dinda terdengar nyaring entah mengapa. Lagi-lagi gadis itu ada di posisi yang sama, meringkuk di atas kasur dengan selimut bulu yang menutupi badan. Lampu senter ponsel kembali menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Dinda mengusap air matanya dalam diam.
Apakah begitu naif jika ia mengharapkan penjajahan di dunia ini musnah? Apakah naif baginya untuk berharap tak ada lagi pertumpahan darah yang sia-sia dari anak-anak tak bersalah? Apakah naif mengharapkan zionis akan kalah dan musnah?
Tidak. Tidak naif. Kemenangan sudah dijanjikan. Kemenangan itu pasti akan diraih.
Akan tetapi, haruskah prosesnya semenyakitkan ini? Sakit. Sesak. Tak berdaya. Apakah tak ada lagi yang bisa Dinda lakukan?
Malam itu, Dinda bahkan tidak ingat kapan ia akhirnya terlelap.
***
Begitu banyak kata-kata pendahulu tentang menulis. Menulis itu abadi, menulis itu menaruh hati, menulislah jika ingin meninggalkan jejak di dunia ini.
Sebenarnya Dinda tidak tahu seberapa besar dampak yang ia berikan hanya dengan artikel-artikel kecilnya. Artikel yang sebisa mungkin dikemas dengan singkat dan menarik, menyertakan bukti-bukti dan disusun sedemikian rupa agar bisa dikonsumsi khalayak ramai. Dinda sendiri tidak yakin apakah usaha ini akan membuahkan hasil.
Resah. Takut.
Dua emosi ini selalu melingkupi hati dan dadanya tiap kali jarinya menyusun kata demi kata menjadi kalimat. Ia tidak takut dihujani oleh berbagai macam komentar tak mengenakkan untuk setiap artikel yang ia publikasikan, pun ia tidak resah dengan ancaman orang-orang yang telah kehilangan hati nuraninya itu.
Dinda resah karena ia merasa belum cukup. Ia takut jika hal yang telah dilakukan sejauh ini akan sia-sia.
Namun, bukan hanya itu saja yang Dinda rasakan.
Harapan.
Ya, hatinya lebih dipenuhi dengan harapan yang membuncah. Harapan bahwa tulisan ini akan meraih banyak orang, harapan bahwa tulisan ini bisa membuka hati lebih banyak lagi. Harapan yang ada jauh lebih besar dari rasa resah dan takut.
Apakah artinya Dinda seorang idealis?
Mungkin iya, mungkin juga tidak. Dinda cukup realistis untuk tidak memilih terbang ke Timur Tengah dan menjulurkan tangannya secara langsung untuk membantu para korban. Akan tetapi Dinda yakin idealismenya akan terwujud dengan tindakan kecil yang ia lakukan setiap hari.
Maka dari itu, ketika tiba waktunya saat hati nurani seluruh dunia terketuk, ketika segala bentuk tekanan dan perlawanan mulai membuahkan hasil, ketika zionis terpukul mundur dan akhirnya musnah, ketika hari itu datang, ketika hari itu tiba ....
... akankan benar-benar tiba ...?
Ketika kemenangan yang dinanti-nanti akhirnya menjadi kenyataan, Dinda yakin bahwa usahanya yang tidak seberapa ini mampu membawa perubahan.
Namun, apakah dunia ideal Dinda sudah terwujud?
Tentu saja belum. Akan masih banyak kejahatan-kejahatan lain di dunia ini.
Dinda hanya perlu melakukan porsinya, melakukan hal yang perlu ia lakukan, melakukan yang biasanya sudah dilakukan. Dinda tak akan pernah berhenti berjuang untuk mendapatkan dunia idealnya itu.
Selesai
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top