Dunia Kecil yang Kuharapkan

 “Dunia seperti apa yang kau harapkan?”

Pertanyaan itu muncul lagi, lagi, dan lagi tiap kali aku melamun. Jika ditanya demikian, aku pun tidak tahu. Dunia yang aku harapkan sangat berbeda dari kebanyakan orang-orang, bahkan kalau kukatakan saat ini mereka pasti akan tertawa.

Dunia apa yang kuharapkan? 

Tentunya aku berharap ada dunia sihir seperti di Harry Potter atau dunia-dunia magis seperti yang kubayangkan saat kecil. Aku muak dengan kehidupan ini. Oh, bukan, hanya muak menjadi dewasa. Realita hidup yang berat membuatku nyaris tidur seperti orang mati. 

Kembali dihadapkan dengan pertanyaan dunia ideal menurutku, hanya satu yang terlintas di kepala. Aku tidak ingin kepanasan. Seingatku dulu lingkungan di sekitarku tidak terasa sepanas ini. Aku masih ingat betapa sejuknya ketika awan-awan berkumpul dan menyembunyikan matahari. Eits, bukan awan mendung, ya.

Namun, saat ini yang kurasakan adalah panas. Meski langit berawan pun ketika aku hanya berjalan ke minimarket sejauh 200 meter, tubuhku dibanjiri keringat. Memang saat ini begitu berbeda dengan belasan tahun lalu yang masih banyak pohonnya. Lingkunganku saat ini terlalu banyak bangunan tanpa ada satu pun ruang hijau, kecuali pot-pot tanaman koleksi ibuku.

Gara-gara ini pula aku jadi malas untuk sekadar pergi ke minimarket atau keluar untuk ikut ibuku jalan-jalan. Rumah menjadi tempat ternyamanku karena bebas dari keringat dan gerah. Lagi pula selama internet dan asupan makananku terpenuhi, aku sama sekali tidak ada niatan untuk meninggalkan rumah. Setidaknya sampai aku kehabisan dua hal penting bagiku.

[]

Sungai di dekat komplek perumahan terlihat seperti genangan kopi susu unlimited. Pinggiran sungai yang dulunya penuh oleh tanaman liar, sekarang dihiasi oleh sampah-sampah. Terkadang, ketika aku memutuskan untuk melihat sejenak keadaan sungai yang tampak mengerikan di mata, tak sengaja benda-benda kuning mengambang dan melewatiku. Sungguh, secepat itu sungai yang dulu bersih dan dipakai anak-anak bermain jadi seperti ini. Anehnya, masih ada pula orang yang memancing. Aku yakin sekali bahkan ikan pun tidak sudi untuk hidup di sana.

Setelah puas melihat sungai buruk rupa itu, aku kembali berjalan menyusuri sungai. Sesekali memperhatikan sekelilingku yang terlihat gersang. Pohon-pohon tampak jarang terlihat, tanah kering yang sekarang jadi lapangan. Sejak awal aku bertanya-tanya, mungkinkah karena ini rasanya dunia sangat panas?

Akan tetapi, cepat-cepat aku menggeleng. Kurasa bukan hanya ini saja, suhu di dunia meningkat karena efek rumah kaca, polusi udara, dan ....

Lantas, aku terdiam sejenak. Sungguh aneh sekali diriku tiba-tiba memikirkan topik berat macam ini. Lagi pula, tujuanku keluar rumah untuk membeli pulsa di minimarket. Jadi, aku kembali ke tujuan awalku menerjang panas sore hari ini sambil bersenandung kecil. 

Baru saja melewati persimpangan, kulihat ada mobil bak terbuka melintas di depanku. Di sana banyak sekali bibit-bibit tanaman sampai pohon mini, entah ke mana si supir mengangkutnya. Sampai-sampai aku berpikir akan lebih bagus kalau tanaman itu ditanam di sini, di tanah lapangan kering yang gersang. 

Lantas aku menggeleng cepat, memikirkan berapa banyak biaya yang kubutuhkan untuk membeli bibit tanaman. Lalu tantangan macam apa nantinya yang perlu kuhadapi untuk mendapatkan perizinan RT RW setempat. Satu-satunya isu yang paling kupermasalahkan saat ini hanyalah dampak dari pemanasan global. Peningkatan suhu yang membuat bumi ini jadi tidak nyaman dan rasanya aku ingin tinggal di kutub utara.

Lama aku berpikir tentang panas ini sampai aku mencoba mencari solusi kecil supaya lingkungan tempat tinggalku tidak terlalu panas, sampai tidak sadar kaki ini telah melangkah jauh melewati minimarket tujuanku.

“Oh, sepertinya aku harus beli pohon,” gumamku sembari kembali berjalan ke arah datang dan memasuki minimarket.

[]

Sebetulnya sudah lama aku memikirkan tentang campaign menghijaukan bumi. Namun, terkadang aku terlalu memikirkan banyak hal ketika aku bergabung dengan komunitas itu. Diriku yang terlalu nyaman di dalam rumah dan malas berinteraksi terlalu sering dengan orang banyak, seringkali membuatku merasa ikut komunitas atau campaign akan menguras energi.

Akan tetapi, aku ingin melihat yang hijau-hijau dan setidaknya mengurangi lokasi gersang di lingkungan tempat tinggalku. Alhasil, yang bisa kulakukan hanya memberi usulan sederhana berupa menanam pohon sebagai agenda tahunan atau bulanan RW pada ayah. Bersyukurnya aku, ayah yang hobi mengobrol dengan para tetangga dan aktif di lingkungan setempat bisa menjadi wadah aspirasiku. Meski begitu ayah seringkali memintaku untuk ikut rapat RW, tetapi kutolak karena aku tidak mau dikelilingi bapak-bapak.

Setidaknya butuh waktu lama agar usulanku benar-benar terwujud, sebab awalnya ada penolakan. Mereka yang menolak ini mempertanyakan urgensi melakukan penanaman pohon sebagai agenda tahunan. Memang, sih, tanah gersang yang seringkali dijadikan lapangan dan beberapa sudut lain yang tidak terpakai memang dianggap tidak memerlukan pepohonan. Namun, menurutku bukankah akan lebih cantik lagi jika di pinggir lapangan bisa ditanami pohon dan semak-semak? 

Selain itu, jika ada acara seperti perayaan hari kemerdekaan, orang-orang bisa menonton sambil berteduh. Mereka tidak akan kepanasan dan lapangan jadi enak dipandang.

Pada akhirnya, penanaman pohon tidak dijadikan agenda tahunan melainkan hanya dalam perayaan sekali dalam sekian tahun mungkin abad saja. Para pengurus mulai menghias lapangan dengan tanaman dan bibit pohon mangga. Saat kutanyakan pada ayah kenapa harus pohon mangga, katanya biar buahnya bisa dimakan bersama.

Setelah urusan menanam pohon selesai, aku memutuskan untuk kembali mengusulkan hal lain. Soal pembersihan sungai buruk rupa. Namun, yang membuatku terkejut adalah jawaban ayah tentang agenda kerja bakti tersebut. Katanya agenda itu sudah lama sekali diusulkan dan hanya betulan dilaksanakan dalam beberapa bulan saja, setelahnya makin sedikit warga yang mau ikut sampai akhirnya dihentikan.

Reaksiku mendengar penuturan ayah hanyalah tertawa miris, ditambah aku pun sadar diri juga karena jarang ikut kerja bakti. Biasanya kerja bakti itu dilaksanakan tiap hari minggu pagi, sementara diriku di hari minggu bangun jam 10. Kupikir yang satu ini perlu dievaluasi ulang, dan mungkin bisa dilakukan dari sosialisasi dulu pada warga.

“Kamu itu banyak idenya. Coba kamu yang usul sana,” kata ayah.

Aku hanya tersenyum, sebetulnya aku malas kalau disuruh bertemu bapak-bapak. Namun, pada akhirnya ayah tetap menyampaikan usulanku itu meskipun lagi-lagi tidak terealisasikan sesuai harapan. Masih banyak warga yang memilih pergi ke pasar minggu alih-alih kerja bakti. Alhasil hanya segelintir orang saja alias para pengurus dan orang yang peduli lingkungan melakukan kerja bakti. Termasuk aku yang mulai ikut ayah untuk berkeliling memungut sampah.

Di saat sedang memungut sampah-sampah, tiba-tiba terpikirkan olehku membuat papan peringatan di pinggir sungai. Lantas, cepat-cepat aku pergi menemui ayah lagi dan membisikkan ide itu. Ayah langsung saja mendorongku untuk berbicara dengan para pengurus, dan mereka setuju-setuju saja karena aku mengusulkan papan kayu bekas di rumah alih-alih menggunakan dana RT.

Setidaknya butuh waktu untuk membuat papan peringatan sederhana tersebut. Bermodalkan papan kayu bekas, potongan kayu panjang, dan cat warna tak terpakai milikku. Dibantu adikku, pekerjaan sederhana ini selesai dan aku mulai menyerahkannya pada ayah. Tak kusangka malah disuruh langsung pasang di pinggir sungai.

“Kak, serius? Masa kalimatnya begini?” tanya adikku sembari memperhatikan satu papan di antara lima yang kami buat.

“Enggak apa-apa. Lagian enggak diprotes juga, tuh.”

“Iya, sih. Tapi ....” Adikku terdiam seraya menggaruk kepalanya. Pada akhirnya ia setuju saja dan membantuku memasangnya.

[]

Pagi di mana aku harus pergi ke kota untuk menemui temanku, aku kembali melewati sungai buruk rupa yang sekarang tidak buruk rupa amat. Warna airnya masih seperti aliran kopi susu, lalu masih ada sampah-sampah tersangkut. Rasanya aku ingin punya sihir dan mengembalikan sampah-sampah ini ke muka si pembuang sampah sembarangan.

Ketika melewati papan peringatan buatanku tempo lalu, sontak saja aku mengambil ponsel dan memotret papan tersebut. Kemudian, aku mempostingnya di story Whatsapp seolah-olah baru saja menemukan papan peringatan aneh. Di papan itu tertulis:

Dilarang buang sampah di sungai kalau tidak mau pantatmu kelap-kelip.

Entah akan efektif atau tidak, tetapi dalam lubuk hati terdalam aku berharap yang kutulis di papan itu terjadi juga.

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top