Bercerminlah, Pada Alam Raya

"Bercerminlah, bukan berpaling.
Pada alam raya, harmoni gunung, bisik angin, rinai hujan, gemercik sungai, lambaian ombak laut, bulir pasir pantai, kicauan camar, riuh satwa hutan belantara.
Ah, tinggal cerita saja."

Titik Batas Tabularasa, Cak Rus, 2018.


*

**

Menunggu kereta di tengah keramaian peron adalah sesuatu yang harus kulakukan setiap sore. Semakin hari entah mengapa aku merasa peron itu semakin sesak. Apakah manusia terus memaksa menjejalkan diri di pusat ibu kota, demi menuntaskan ego dan tuntutan masyarakat tentang tingkatan ekonomi? Kendati mereka tahu bahwa jika kota ini bisa muntah, niscaya ia akan memuntahkan seluruh isinya akibat sesak.

Mengapa manusia berpikir mendekati pusat pemerintahan adalah hal yang terbaik? Apakah kehidupan yang maju ini tidak dimiliki oleh kota-kota di seluruh penjuru negeri? Apakah peradaban hanya ada di sini, sehingga semua orang berlomba-lomba menjejalkan dirinya meski tahu sudah tidak memiliki tempat?

Aku telah menghabiskan hampir seperempat abad hidupku di sini, aku telah mengulangi rutinitas ini bertahun-tahun dan tetap saja, setiap hari hal itu kupertanyakan, tanpa pernah kutemukan jawabannya. Negeri ini, apa hanya memenuhi kebutuhan masyarakat ibu kota saja? Seperti Panem yang hanya milik Capitol di serial The Hunger Games yang sering kubaca, sementara distrik lain tertinggal?

Namun, jika dilihat secara lebih dekat, kenyataannya kota ini juga tidak lebih baik daripada kota-kota lain di negeri ini. Beredar kabar bahwa ibu kota tercinta ini akan tenggelam di tahun 2050. Separah itu kah? Kenyataannya kondisi geografis negeri yang hijau ini sudah tidak lagi hijau. Kita bahkan mencetak rekor yang tercatat di Guiness Book of The Record sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia. Bangga? Aku, sih, tidak.

Sembari bergelut dengan isi kepala, suara peluit kereta api menghamburkan spekulasi harianku. Mengikuti kerumunan, aku masuk ke dalam kereta, setidaknya butuh waktu dua jam untuk sampai di rumah. Seperti biasa, sudah tidak tersisa tempat duduk. Kutatap pantulan diriku di kaca jendela kereta, sebelum kereta mulai berjalan. Wajah pucat dan kuyu itu memandangku balik, bukankah menjadi dewasa itu menyedihkan?

Hari sudah mulai gelap ketika kereta melaju, tetapi pemandangan di luar sana masih bisa kulihat samar-samar. Kupasang headset di telinga, mengabaikan kerumunan yang saling menjejalkan diri. Lagu favoritku menggema di kepala, tetapi isi kepalaku tetap mengelana.

Haruskah kuakhiri cintaku pada bumi pertiwi? Negeriku sudah tidak secantik dahulu. Sungai di kampung halamanku yang dahulu dapat menjadi sumber mata air, kini tak lagi layak untuk sekadar menjadi tempat membersihkan tubuh. Aku mendambakan udara segar di mana pun kakiku menjejak. Seandainya negeriku bisa kembali hijau seperti dulu, mungkin kehidupan tidak akan menjadi seburam saat ini.

"Mungkin karena kita jarahi belantara itu,

Menjadi tambang-tambang perkebunan ...."

Aku telah mendengarkan lagu ini ratusan kali seumur hidupku, dan aku tetap tersentak pada lirik-lirik yang mengikuti melodi piano itu. Mungkin terlalu banyak mendengarkan keluhan Cak Rus mengenai kerusakan alam telah menjadikanku manusia yang selalu mendambakan bumi kembali hijau. Aku berharap manusia berhenti menjadi serakah, tetapi, manusia mana yang tidak serakah di muka bumi ini?

"Mungkin karena kita gadaikan sawah ladang itu,

Menjelma gemerlap kota-kota ..."

Peluit kereta berbunyi lagi, barangkali memberi sinyal pada petugas palang kereta untuk mempersiapkan diri. Nun jauh di balik kaca kereta, kulihat pantulan gemerlap lampu kota. Kota besar ini tampak megah, tetapi amat sangat rapuh dan berkarat. Jika saja pantai-pantai di sekitarnya terjaga, jika saja hijau-hijau di sekelilingnya bertahta, jika saja ....

"Atau karena kita peras lantah bumi raya kita,

Demi besi baja penghapus dahaga ...."

Lirik-lirik itu bertumpang tindih dengan harapan di kepalaku. Rasanya ingin menangis, menyadari bahwa selain diriku sendiri, aku tidak bisa mengendalikan siapa pun. Menjadi budak korporat yang bahkan tidak memiliki misi penting untuk memperbaiki kerusakan alam, membuatku merasa bahwa aku hanyalah makhluk menyedihkan yang terus merutuk dan mendamba keindahan, tanpa berdaya melakukan apa-apa.

"Mungkin semua karena kita yang terlalu pongah,

Berpesta berebut kepuasan dunia ...."

Kekayaan alam habis, tergantikan dengan uang dan properti-properti mahal, setiap orang sibuk memperkaya diri, sehingga tak menyadari bahwa mereka tengah menukar karunia Tuhan dengan sesuatu yang fana. Uang habis dapat kembali dicari, tetapi, bagaimana jika oksigen yang habis?

Aku tidak menyadari sejak kapan aku menjadi benci memandang ke luar jendela. Meja kerjaku berada persis di samping jendela, setiap hari aku berbahagia meski atasanku terkadang memaki hasil kerjaku yang kacau. Langit di balik kaca jendela itu selalu menghibur gundahku, dan cukup dengan itu saja, aku akan berbahagia. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, aku tidak lagi menatap ke luar jendela itu. Tidak lagi tampak biru di sana, melainkan abu-abu.

Jika selama dua tahun kita semua harus mengenakan masker karena pandemi virus menyerang, saat ini masker tetap digunakan sebab kualitas udara telah memburuk. Negeriku, haruskah aku berhenti mencintaimu?

Di tengah kemelut pikiranku, seseorang menepuk pundakku.

"Mbak, mau duduk?"

Tanpa sadar, kereta sudah melewati dua stasiun, dan sebentar lagi akan tiba di stasiun ketiga. Persis di dekat tempatku berdiri, ada kursi yang kosong. Seseorang yang tadinya menduduki tempat itu telah berdiri dan menawariku tempat duduknya, aku mengangguk segan. "Nggak apa-apa, Pak. Saya berdiri aja."

"Saya sebentar lagi turun, duduk aja," tawarnya sekali lagi.

Aku mengangguk sebentar, dan memilih untuk menerima tawarannya. Turun dari stasiun, aku masih harus naik bus. "Terima kasih, Pak."

Si Bapak mengangguk, lalu kusandarkan kepalaku di bangku kereta. Mungkin Tuhan bosan mendengarku mengeluh, maka diberikanlah aku tempat duduk, agar kepalaku berhenti mengelana.

Mungkin aku harus melakukan sesuatu, lebih dari sekadar prihatin dan mengeluh terhadap kerusakan negeri ini. Mungkin aku harus ikut menanam pohon, atau memilah sampah yang berserakan di sekitarku?

Merasa kepalaku sebentar lagi meledak, aku berhenti berpikir, kukendurkan sedikit tali maskerku, menghela napas. Kulepaskan headset dari telinga, menyimpannya kembali ke dalam tas.

"Sesak, ya, Mbak?" ujar laki-laki yang duduk di sebelahku,

"Lumayan, kangen waktu nggak perlu pake masker," sahutku.

Begitulah pertemuan pertamaku dengan Pras, seorang pecinta alam yang isi kepalanya juga selalu merindukan tanah hijau. Dia duduk di sana, membiarkan takdir mengantarkanku padanya. "Kita hanya bisa menghibur diri dengan melakukan hal-hal kecil," ujarnya kala itu.

Bercerminlah, bukan berpaling.

Rupanya Tuhan bukan bosan mendengar keluhanku. Diberikannya tempat duduk di sisa hari yang melelahkan itu padaku, mengantarkanku pada penyelesaian dari aksi protes dan mengkritik kerusakan alam.

Sejenak rasanya aku tak sanggup melihat kerusakan itu, aku ingin berpaling dan melarikan diri. Aku lupa bahwa manusia terlahir dari rahim lingkungannya. Tidak seharusnya aku berpaling dan membiarkan duniaku menjadi hancur. Sudah selayaknya aku bercermin untuk berintrospeksi diri, mencoba memperbaiki sebisaku, bukan lantas membiarkannya.

Pada alam raya, harmoni gunung, bisik angin, rinai hujan, gemercik sungai, lambaian ombak laut, bulir pasir pantai, kicauan camar, riuh satwa hutan belantara.

Tuhan memperkenalkanku pada alam raya melalui Pras. Sejak saat itu langit yang kusaksikan tidak hanya kelabu dari balik jendela kaca ruang kerjaku, melainkan langit dari gunung, dari lautan, dan alam raya yang sesungguhnya. Pras membawaku untuk selalu terlibat dengan alam, membuatku senantiasa berkaca agar tidak lupa diri. Sebab berpaling bukanlah solusi.

Perubahan tidak selalu harus langsung terlihat, bisa kau lakukan dari hal-hal kecil. Menanam pohon di sekitarmu, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan lingkungan terkecil di sekitarmu, sebisanya. Menjaga alam raya tidak menyita habis seluruh kehidupanmu, aku tidak ingin hijau itu hanya tinggal cerita, aku ingin melihatnya lagi dengan mata kepalaku. Kau juga, 'kan?

Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top