Terungkap

Wanita itu masih mengenakan celana di atas lutut serta rambut tercepol asal. Tidak ada yang berubah penampilannya masih sama. Hanya satu yang membedakan yaitu: hoodie abu-abu milik Gatta membalut tubuh ramping Cilla. Hoodie kebesaran itu seakan menjadi penghangat untuk tubuh dingin Cilla.

Tak ada pengaruh. Tubuhnya tetap dingin. Mengigil. Tak ada yang bisa menghangatkan tubuhnya sekalipun pelukan hangat Gatta atau bahkan Gefta. Seberapa erat mereka memeluk Cilla itu tidak akan berhasil membuatnya merasa hangat terlebih tenang.

Beberapa menit lalu Cilla, Gatta, dan Gefta dikejutkan kabar yang membuat hati si pendengar pertama a.k.a Cilla teriris hingga hancur tak berbentuk. Kabar itu berisi kondisi Giga yang mengalami pendarahan akibat tusukan seseorang.

Di sinilah Cilla, Gatta, dan Gefta berada; di kursi panjang menghadap ke sebuah ruang operasi.

"Banyakin doa," ucap Gatta tak henti-hentinya.

Tak perlu diperintah Cilla dan Gefta nggak putus berdoa sedari tadi.

"Keluarga Theodore Gigansa?" tanya seorang dokter yang baru saja muncul dari balik pintu operasi dengan ditemani satu perawat.

"Saya Ibunya," ucap Cilla tertatih-tatih menghadap si dokter.

Dokter Choki mengangguk. "Pasien mengalami tusukan cukup dalam."

Membayangkan kondisi si bungsu
membuat Cilla lemas. Kalau saja Gatta tidak sigap membantunya pasti wanita itu sudah luruh ke lantai.

"Sehingga mengalami pendarahan serius. Karena pendarahan itu pasien kehilangan banyak darah. Kami membutuhkan donor darah A rhesus negatif secepatnya," jelas dokter berusia empat puluhan itu.

"Lakukan yang terbaik untuk adik saya," kata Gefta memohon.

"Pasti, tapi ada sedikit kendala. Persediaan darah A rhesus negatif di rumah sakit ini tersisa satu. Pihak rumah sakit sudah menghubungi PMI pusat dan di sana tidak ada. Harapan kami satu-satunya adalah pihak keluarga." Dokter Choki menatap satu persatu manusia yang ada di depannya. "Apa ada di sini yang mempunyai golongan darah A negatif?" lanjutnya bertanya.

Belum sempat mendengar jawaban dari tiga orang itu Dokter Choki mendapat informasi kondisi Giga semakin melemah.

"Jika ada tolong temui petugas secepatnya," kata dokter itu. "Untuk sekarang hanya itu informasi yang bisa saya berikan. Jangan lupa berdoa dan mari saya pamit undur diri," ucapnya menghilang di balik pintu.

Cilla kembali meneteskan air mata. Lebih deras dari sebelumnya.

"Siapa yang tega nyelakain anak gue? Siapa yang tega tusuk Giga," ucapnya lirih.

"Polisi sudah mengambil alih semua. Lo percaya aja. Gue yakin mereka ngelakuin yang terbaik," jawab Gatta mengelus bahu Cilla.

"Gue nggak akan biarin pelaku kriminal itu hidup tenang. Kalau Giga kenapa-napa gue nggak akan segan bunuh dia pake tangan gue sendiri!" ucap Cilla masih menangis.

"Dengan keluarga Theodore?" Satu perawat menghampiri Cilla, Gatta, dan Gefta.

"Iya, Sus?" tanggap Gatta.

"Pasien membutuhkan darah sekarang juga. Apa sudah ada calon pendonornya?"

Gatta menatap Cilla dan Gefta bergantian.

"Golongan darah Gefta dan Bunda AB, Pak." ucap Gefta.

"Kasih kita waktu untuk mencari pendonornya," kata Gatta.

Si perawat sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk singkat.

"Secepatnya ya, Pak," ucapnya kemudian berlalu.

Sepeninggal perawat Gatta berdecak panjang. Ia bingung harus berbuat apa. Cilla juga kembali menangis.

"Diem! Nangis nggak akan nyelesain masalah!" kata Gatta agak emosi.

"Golongan darah kalian nggak sama?" tanya pria itu. Ck! Seharusnya Gatta tidak menayakan itu karena tadi Gefta sudah memberitahu.

"Gue sama Gefta AB. Lo tuli kalau Giga butuh golongan darah A negatif?" jawab Cilla ditengah tangisnya.

Gatta diam—berpikir. Kalau darah Cilla dan Gefta sama itu artinya darah Giga sama dengan darah Pande. Tapi, ada yang mengganjal di pikiran Gatta. Giga membutuhkan golongan darah A negatif? Bukankah darahnya sama seperti remaja itu?

"Hubungin bapaknya Giga sekarang juga!" tutur Gatta mengenyahkan pikiran aneh yang bersarang di kepalanya.

"Lagian ke mana sih tuh Pande. Udah tahu anaknya kena musibah malah ngilang!" lanjut Gatta menggerutu.

"Ge, cepat hubungin Pande," titah Gatta melihat anaknya dan Cilla diam saja.

Sepersekian detik mereka masih diam.

"Kalian mau Giga kenapa-napa? Kenapa diem aja?" lanjutnya sedikit membentak.

"Ini nggak ada hubungannya sama Mas Pande!" ucap Cilla menatap nyalang Gatta.

Dahi si pria mengerut. Tidak ada hubungannya? Bagaimana bisa?

"Nggak ada hubungannya kata lo?" tanya Gatta. "Pande ayah kandung Giga—"

"GOLONGAN DARAH MAS PANDE O!"

Apa maksud Cilla?

"Itu artinya lo nggak tidur sama Pande aja? Lo juga tidur sama cowok lain—"

*plak*

Cilla kehabisan kesabaran. Gatta keterlaluan!

"Lo emang bener-bener bajingan, Ta!
Brengsek!" katanya memukul dada Gatta.

Pada dasarnya Gatta memang ditakdirkan keras kepala. Untuk itu ia meraih tangan Cilla sembari menatapnya lekat.

"Siapa ayah Giga? Siapa pria yang berani nidurin lo?"

Cilla menggeleng sekaligus menyunggingkan senyum kecut. "Lo cowok paling pengecut yang pernah gue kenal!" katanya mendorong tubuh Gatta.

"Pengecut?" ulang Gatta.

Cilla mengangguk tanpa ragu "Lo lupa kejadian enam belas tahun lalu? Lupa setiap gue besuk lo ngelakuin apa?" cecarnya terhenti.

Wanita itu mengambil napas panjang lalu menghembuskan perlahan.

"Lo lupa sama apa yang pernah lo perbuat sebelum gue pindah ke Lombok? LO LUPA APA PURA-PURA LUPA, HA?!" lanjutnya menggebu.

Gatta diam. Memorinya mengingat masa lalu.

*flashback on*

Wanita itu melangkahkan kaki ke area tahanan. Hari ini untuk kesekian kalinya Cilla mengunjungi Gatta. Tapi bisa dipastikan kalau ini adalah hari terakhir mereka bertemu. Pasalnya setelah ini Cilla akan meninggalkan tanah kelahirannya.

"Kangen banget sama lo," bisik Gatta di telinga kanan Cilla.

Cilla merinding geli. Lebay sekali si Gatta-Gatta ini.

"Apaan sih lo, Ta!" jawabnya.

Cowok berkaos merah itu duduk di sebelah Cilla. Gatta tak henti-hentinya menatap wanita yang ada di sebelahnya.

"Lo makin cantik," katanya.

"Apaan sih norak deh!"

Gatta benar-benar merindukan wanitanya. Tanpa sungkan ia mengecup pipi Cilla. Gairah pria itu sudah di ambang batas, Gatta mengeratkan tubuhnya ke tubuh Cilla.

"Jangan mulai ya," peringat si wanita sembari memejamkan mata.

Akhir-akhir ini nafsu Gatta sering tidak terkontrol. Setiap Cilla datang mengunjunginya, ia selalu meminta lebih.

"Satu kali," bisiknya menjilati leher Cilla.

Demi Tuhan ini menggelikan.

Cilla bisa menahan rasa geli itu, tapi tidak dengan rasa malu. Sama seperti beberapa waktu belakangan ini saat ia menggunjungi Gatta. Tanpa malu Gatta menyerbunya lebih dulu. Entah menghujaninya dengan puluhan ciuman, grepe-grepe ringan, hingga mengajaknya naena. Gatta sudah gila rupanya.

Walaupun mengatai pria itu gila, tapi Cilla tidak pernah menolak saat pria itu meminta dilayani.

Lalu kali ini untuk kesekian kali Gatta kembali meminta. Meminta Cilla untuk melayaninya. Tanpa pikir panjang dan menunggu lebih lama, si pria langsung membawa Cilla ke sebuah ruangan yang disediakan pihak lapas

Dan disana lah mereka melakukan proses pembuatan anak kedua. Anak yang kelahirannya tidak diinginkan. Anak yang sepanjang hidupnya mencari sebuah pengakuan.

*flashback off*

Cilla maju selangkah. Persis berhadapan dengan Gatta. "Gue pernah bela-belain bolak-balik ke Jakarta untuk ngabarin lo. Tapi, apa? Dari gue hamil muda sampai Giga lahir lo nggak mau akuin dia!" katanya kembali meneteskan air mata.

Gatta masih diam. Tertampar keadaan.

"Dan sekarang." Cilla memejamkan mata. Sesak di dadanya sudah tak dapat ditoleransi. "Lo tuduh gue main sama cowok lain? Lo masih menyanggah kalau Giga bukan anak lo?" lanjutnya.

"BODOH!" teriaknya tepat di depan wajah si pria."Bahkan lo menutupi kenyataan kalau golongan darah lo sama kayak Giga!" lanjut Cilla menggoyangkan tubuh Gatta.

"Giga nggak mungkin anak gue. Dia nggak mungkin darah daging gue," katanya menggeleng kuat.

Gatta tahu siapa Cilla. Ia paham bagaimana sifat wanitanya. Menjalin hubungan dengan banyak pria apalagi sampai berhubungan badan bukanlah kegemaran Cilla. Gatta harusnya tahu dan hafal mati soal itu. Lalu bagaimana bisa ia menuduh Cilla berbuat yang tidak-tidak?

"Lo benar-benar pengecut kalau masih menyangkal kenyataan itu!" ucap Cilla berteriak.

Gatta merosot seketika. Bagaimana bisa ia terus menyangkal ketika kenyataan sudah terpampang nyata?

"Keluarga Theodore?" Suara perawat kembali mengintrupsi.

Tanpa diminta dan dengan suka rela Gatta berdiri. Pria itu sempat menghapus setitik air mata sebelum akhirnya berdiri tepat di hadapan perawat.

"Saya pendonornya, Sus," ucap Gatta. "Saya siap mendonorkan darah sebanyak apapun untuk menyelamatkan Giga—anak kandung saya," lanjutnya penuh keyakinan.

Tbc.

Follow akun karyakarsa w dulu gih. Part depan kita pindah. Siap2.

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top