Pengakuan Yang Tak Seharusnya
"Dia ayah kandung Mas Ge."
"Dia ayah kandung Mas Ge."
"Dia ayah kandung Mas Ge."
Kenapa kalimat itu terus terngiang di kepalanya.
"Ayah aku juga sebenarnya," tambahnya membasuh wajahnya dengan air wastafel.
Berulang kali Giga membasahi seluruh wajah—bahkan kepala dan rambutnya—berharap agar pikirannya bisa segar. Tapi kenyataannya apa yang dilakukanya tidak memberikan efek apa-apa.
"Huh!" satu hembusan napas kasar keluar dari mulut Giga.
Merasa apa yang dilakukannya sia-sia dan berpotensi membuatnya sakit Giga memilih berhenti. Ia keluar kamar mandi dan menuju kamarnya. Begitu sampai Giga langsung membaringkan tubuh di atas ranjang berukuran queen size. Matanya menerawang langit-langit kamar.
"Apa bener aku bukan anak kandung dia?" monolognya.
Kalau Gatta bukan ayah Giga lalu siapa pria yang menyumbangkan sperma dalam proses pembuatan Giga?
Di saat asik memikirkan siapa ayah kandungnya Giga teringat akan sesuatu. Ia segera menegapkan tubuh. Menyalakan ponsel dan membuka folder rahasia berisi sepuluh foto Gatta.
Selama menyimpannya tidak ada yang tahu. Tidak seorangpun tahu kalau Giga pernah diam-diam mengirim foto Gatta dari ponsel Cilla. Remaja itu sungguh berbakat menyembunyikan sesuatu.
Folder rahasia terbuka. Mata Giga mulai menelusuri satu persatu foto pria bertatoo. Ia harus jeli meneliti. Giga mencari sesuatu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hasilnya nihil. Tidak ada bagian wajahnya yang mirip Gatta.
Giga menggeleng, mengucek mata, dan bahkan menampar pipinya pelan.
"Fokus, Gi! Cari lagi! Pasti ada salah satu dari tubuh kamu yang mirip dia," ucapnya kembali menatap ponsel.
Giga memperbesar foto Gatta. Menelusuri setiap detail wajah pria itu demi mendapatkan kesamaan. Namun meski dicari sampai keesokan hari pun hasilnya akan tetap sama; tidak ada!
"Gue beneran bukan anak ayah Gatta ya?"
Tidak masalah kalau Giga bukan anak Gatta. Tapi tolong beritahu dia siapa ayah kandungnya yang sebenarnya. Agar Giga tak perlu lagi mencari. Agar rasa penasarannya selama ini terjawab. Giga lelah. Ia lelah mencari, tak diakui, dan tak dianggap oleh pria yang selama ini diyakininya sebagai ayah.
"Gi legonya udah dateng!!!" teriakan Gefta berhasil meramaikan kamar damai Giga.
Gefta mendaratkan pantatnya tepat diatas kasur Giga. Kemudian ia menujukan kotak yang masih terbungkus rapi berisikan lego limited edition ke hadapan adiknya.
"Setelah sekian lama nunggu akhirnya ini lego datang juga! Huah!" ucap Gefta masih terus menyunggingkan senyum.
Giga mematikan layar ponsel dan bergabung di sebelah kakaknya. Ia tidak merespon apapun. Hanya duduk mendengarkan celotehan dan memperhatikan kegembiraan kakaknya dalam diam.
Pertama kalinya Giga terlihat tidak tertarik dengan mainan yang digemarinya selama ini. Paket berisi lego limited edition yang dinantikan kedatangannya sejak dua minggu belakangan tak ada arti. Giga kehilangan semangat dan minat terhadap kegemarannya.
"Gi," panggil Gefta menoleh ke adiknya yang diam saja.
Sepersekian detik si adik tidak menyauti panggilannya. Giga berubah. Lebih pendiam sejak masuk pesawat. Perubahan sikapnya semakin terasa ketika mereka sampai rumah.
"Giga!" panggil Gefta tepat di telinga si pemilik nama.
"Iya!" remaja itu terlonjak kaget. "Apasih, Mas?! Kamu bikin aku jantungan deh!" tambahnya.
"Kamu kenapa, Gi?" tanya Gefta tanpa basa-basi.
Si adik membalas tatapan Gefta dengan raut bingung.
"Emangnya Giga kenapa?" ucapnya balik nanya.
Gefta memutar kedua bola mata. Satu toyoran mendarat di kepala Giga.
"Kalau Mas Ge lagi ngomong dengerin!"
Mulut Giga tak mengaduh, tapi tangannya mengelus kepala bekas jitakan Gefta. Itulah ciri khas Giga. Ia tak pernah banyak mengeluh, protes, atau banyak omong. Seorang Theodore Gigansa Raja—tunggu, tunggu.
Giga mengerutkan keningnya. Nama lengkapnya adalah Theodore Gigansa Rajaya. Rajaya nama belakangnya seperti sama dengan Rajasa?
Rajaya dan Rajasa. Apa itu hanya kebetulan?
Giga beranjak dari tempat duduknya. Tak memedulikan Gefta yang memintanya kembali ke tempat semula. Ia tak keberatan jika kakaknya membuka paket lego tanpa dirinya. Karena ada yang lebih penting dari itu semua dan Giga harus mendapatkan jawaban!
...
Remaja itu benar-benar membawa tubuhnya ke hadapan Cilla. Belum sempat berhadapan Giga terpaksa berhenti melangkah. Dari tempatnya berdiri ia melihat Bunda sedang menangis dipelukan Pande.
"Gatta memang brengsek sudah bikin kamu nangis kayak gini. "
Oh penyebab air mata Cilla menetes adalah Gatta rupanya.
"Nggak papa, Cill. Kalau si brengsek itu nggak mau akuin Giga sebagai anaknya, ya sudah. Aku akan mengakuinya."
Giga semakin menajamkan indra pendengarnya.
Cilla menggeleng. "Aku nggak mau orang lain nanggung kesalahan Gatta—"
"Aku ini orang lain?"
Cilla keluar dari pelukan Pande. "Bukan gitu, Mas," katanya.
"Nanti aku bilang ke Giga kalau dia anak kandungku," putus Pande sepihak.
Ditempatnya berdiri Giga sedang mengepalkan kedua tangannya. Sepasang mata cokelatnya berkaca-kaca. Hampir luruh kalau saja ia tidak menahannya sekuat tenaga. Tapi, tidak! Giga memang tidak akan menangis hanya karena pria bernama Gatta.
Setelah menetralisir kadar sesak serta memastikan air matanya tidak akan tumpah Giga memutuskan muncul ke hadapan Cilla-Pande. Sontak membuat sepasang manusia itu terkejut. Tak hanya itu Cilla juga menghapus air matanya hingga tak tersisa.
"Hai," sapa Giga canggung. "Maaf kalau Giga ganggu Ayah-Bunda. Hehe," tambahnya nyengir kuda.
"K-kenapa, Gi?" tanya Cilla berusaha bersikap seperti biasa. Ia berusaha menutupi kesedihannya setiap kali menatap si bungsu.
"Ada perlu apa lebih tepatnya," ralat wanita itu cepat.
"Enggak papa. Giga kesini cuma mau ucapin terimakasih ke Ayah," jawab Giga tentu saja berdusta.
Padahal tadinya Giga berniat ingin cari tahu kebenarannya, tapi berhubung ada Pande di samping wanita itu jadilah terpaksa ia mengurungkan niatnya.
"Thanks for?" tanya Pande.
"Lego."
Pande manggut-manggut. "Ayah cuma nambahin uang kamu sama Mas Ge aja."
"Iya, Giga tahu. Terimakasih untuk tambahan itu," ucapnya.
Pande mengangguk lagi. Kemudian pria itu meminta Giga duduk di tengah. Diantara dirinya dan Cilla. Keadaan mendadak awkward ketika Giga menuruti perintah si pria dewasa. Namun sebisa mungkin dua manusia dewasa itu mengenyahkan rasa gugup—entah sejak kapan hadir.
Pande harus menyampaikan sesuatu.
"Gi, ayah mau ngomong sama kamu," awalnya.
Cilla dan Giga sama-sama diam. Entah kenapa tubuh si wanita mendadak beku. Ia lebih deg-degan daripada Giga yang terlihat biasa saja. Ya iyalah biasa saja orang anak bungsunya itu tidak tahu topik pembahasan apa yang akan menjadi perbincangan setelah ini.
"Ehem..."
Dehaman Pande membuat tubuh Cilla mendadak berkeringat.
Pande menarik napas dalam. Tangannya terulur menyentuh lengan Giga.
"Ayah mau ngasih tahu kamu," katanya.
"Apa, Yah?" tanya Giga.
Pande mengumpulkan semua keberaniannya untuk menyampaikan sebuah fakta. Ah fakta, katanya? Haha, pembohong!
Untuk yang pertama kalinya Pande akan berbohong pada Giga. Dan jika suatu hari nanti kebohongan ini terbongkar Pande harap Giga tidak membencinya.
"Gi,"
Demi Tuhan kenapa Pande jadi gugup?
"Mmm, Gi," panggilnya untuk yang kedua kali.
"Iya, Yah?" jawab Giga gemas.
"Kamu harus tahu sesuatu," katanya.
"Sesuatu apa itu?" tanya Giga.
Pande menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya terulur untuk meraih tangan si remaja. Maniknya menatap lekat kelereng Giga.
"Kamu bukan anak kandung Gatta melainkan anak kandung ayah—Pranande Lalu Rajasa," ucapnya hanya dalam satu tarikan napas.
Satu detik...
Dua detik...
Krik-krik-krik.
Keadaan hening. Benar-benar hening sampai hembusan napas Pande terdengar.
"Kamu anak ayah, Gi. Maaf sudah menutupi fakta yang seharusnya kamu ketahui," ucap pria itu lagi.
"A-anak kandung Ayah?" respon Giga.
Pande mengangguk mantap. "Maaf ayah terlalu pengecut untuk ngasih tahu kamu—"
"Giga anak kandung Ayah?" ulang remaja itu sekali lagi.
"Iya. Kamu anak kandung Ayah," katanya langsung menarik tubuh Giga untuk dibawanya ke dalam dekapan Pande.
Selalu hangat.
Itu yang Giga rasakan setiap kali Pande memeluknya. Pelukan itu tak sehangat pelukan Gatta. Memang Giga belum pernah merasakan pelukan Gatta, tapi saat melihat Gefta berada dipelukan Gatta tadi pagi membuatnya mengira-ngira. Pasti pelukan pria itu lebih hangat dari Mentari pagi.
"Kamu anak Ayah," ucap Pande kesekian kali.
Giga mengangguk, mengiyakan ucapan Pande. Dalam hati ia bertanya kenapa. Kenapa Pande mengatakan kebohongan? Kenapa pria itu mengatakan apa yang tak seharusnya? Kenapa bukan Gatta yang mengakuinya?
"Mulai sekarang kamu jangan beranggapan kalau Gatta itu Ayah kandung kamu. Karena Ayah kandung kamu yang sebenarnya adalah pria yang ada di hadapan kamu ini."
Tanpa disadari sudah ada sosok lain di ruangan ini. Seseorang yang diam-diam mendengar pengakuan yang tak seharusnya.
"Beruntung banget lo, Gi," ucapnya dipenuhi sorot iri.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top