Mulai Gelap

Cilla mengenakan kaos kombor milik Pande dengan celana di atas lutut. Tak lupa ia cepol rambutnya asal-asalan. Penampilan super sederhana—lebih mengarah ke awut-awutan—itu berhasil membuat Gatta tak berhenti memperhatikannya.

Ck. Persetan! Apa pedulinya?

Sudah satu jam Gatta di rumah Cilla. Sebenarnya pria itu tak mau menginjakan kaki ke rumah ini. Apalah daya Gefta terus saja merengek memintanya datang. Tidak masalah jika hanya ada Gatta dan anaknya di rumah ini. Kenyataanya Cilla juga ada di rumah.

Huh...

"Berhenti liatin calon istri orang!" ucap Cilla tak tahan lagi.

"Masih calon. Belum resmi," kata Gatta tak mau kalah.

"Kalian dua bisa diam nggak sih? Berantem mulu heran!" timpal Gefta yang sudah muak mendengar

Mendapat teguran dari Gefta membuat dua orang dewasa itu bungkam. Mereka kembali bergelut dengan aktivitas masing-masing. Cilla dengan sinetron di tv, Gatta kembali mengamati wajah si wanita, sementara Gefta masih menatap layar gawainya.

Remaja itu tak henti-hentinya mengirimi pesan pada Giga. Satu jam berlalu kenapa adiknya belum pulang? Apa mengambil hasil tes membutuhkan waktu selama itu?

"Tadi adik kamu ijin ke mana, Ge? Lama banget." Cilla mulai resah karena bungsunya belum pulang.

"Ge nggak tahu, Bunda. Giga cuma bilang mau keluar sebentar," dusta si sulung. "Ge udah kirim pesan bahkan telefon, tapi nggak dibaca ataupun diangkat sama dia," lanjutnya yang kali ini jujur.

Perasaan Cilla mendadak tak enak. Ia tak bisa berdiam diri lebih lama lagi. Cilla meminta tolong Gefta untuk mengambilkan ponselnya di kamar.

"Masih sore. Ngapain lo cariin Giga? Dia bukan bocah ingusan yang nggak tahu jalan pulang," ucap Gatta.

"Kalaupun nyasar dia bisa lihat google maps. Jaman udah maju, ponsel udah canggih. Dia masih muda hari ini malam minggu lagi. Yakin tetap dicariin?" tambahnya heran.

Gatta. Pria itu tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang Ibu. Mungkin juga nalurinya sebagai seorang ayah sudah hilang. Bagaimana bisa pria itu tidak merasakan sesuatu?

Sesuatu yang menghubungkan batinnya dengan Giga. Apa Gatta benar-benar tidak merasakan kalau Giga adalah darah dagingnya? Apa ikatan batinya dengan Giga tidak ada?

Si wanita hanya bisa menggeleng sembari tersenyum kecut. Hanya sekedar itu karena Cilla malas berdebat. Lagipula tak berguna bersuara karena Gatta tak akan mempercayainya.

Tak lama kemudian Gefta datang dengan gawai bundanya. Tanpa basa-basi ia menyerahkannya pada Cilla. Setelah mengucapkan terimakasih wanita itu langsung menghubungi Giga.

Di saat Cilla menghubungi Giga tiba-tiba bel rumah berbunyi. Si wanita masih fokus menghubungi bungsunya dan Gefta harus turun tangan membukakan pintu. Ia berharap bahwa orang yang ada di balik pintu adalah adiknya.

Harapan Gefta pupus ketika mendapati siapa pemencet bel itu.

"Ayah?"

Pria yang dipanggil ayah tersenyum.

"Hai, Ge," sapa Pande.

Gefta tersenyum sebagai jawaban. Ada sorot kecewa di mata remaja itu, tapi sudahlah. Giga masih mengurus sesuatu mungkin.

"Ge?" panggil Pande melambaikan tangan persis di depan wajah Gefta.

"Masuk, Yah," katanya mempersilahkan Pande ke dalam rumah.

Gefta dan Pande masuk ke dalam rumah berdampingan. Si pria menanyakan keberadaan Cilla. Tau bahwa wanita itu tak sendirian Pande langsung melebarkan langkahnya menuju tempat tunangannya berada.

Cilla bersama Gatta. Keduanya duduk berdampingan sembari menatap salah satu acara talkshow luar.

Sial. Berani-beraninya Gatta duduk berdekatan dengan calon istri Pande. Wanita itu juga kenapa keganjenan sekali! Tidak ingatkah Cilla dengan Pande? Tidak bisakah ia menjaga hati Pande?

Ck! Belum apa-apa sudah tergoda dengan pria masa lalunya.

"Ekhem." dehaman panjang Pande mengintrupsi telinga Cilla.

Mengetahui keberadaan sang calon suami, Cilla langsung menjauhkan tubuhnya dari samping Gatta. Wanita itu beranjak untuk menyambut kehadiran Pande.

"Mas," panggilnya manja.

Gatta mendengar panggilan itu. Ia jadi senyum-senyum sendiri. Ini perdana Cilla memanggilnya mas. Apa itu tanda kalau Cilla mau kembali dengannya? Apa itu tanda kalau Cilla sudah menerimanya?

"Mas," panggil Cilla untuk yang kedua kalinya.

Gatta cengar-cengir tidak jelas. Lupakan. Ia akan melupakan misinya move on.

"Hello, Mas?!"

Jantung Gatta berdebar puluhan ribu kali. Baiklah. Ia akan segera menoleh. Mari hitung bersama-sama. Satu, dua, tiga—

"Mas Pande?"

Wanita itu menghacurkan harapan Gatta. Ternyata Cilla memanggil pria lain—yang kini sedang menatap nyalang Gatta. Tanpa memperdulikan Pande langsung menarik tangan si wanita. Ia menarik tangan Cilla untuk menjauh dari perusak rumah tangga orang itu.

Melangkah lebar dan mengenggam tangan Cilla erat Pande membawa wanita itu menjauh. Sesampainya di tempat tujuan si pria melepaskan genggaman.

Cilla melihat pergelangan tangannya mulai memerah. Baru pertama kali Pande menyakitinya. Apa Cilla sudah kelewatan sampai-sampai membuat Pande marah?

Pria itu berdiam diri. Sorot matanya menunjukan Pande sedang marah.

"Aku bisa jelasin semua. Itu nggak seperti yang Mas lihat," kata Cilla buka suara.

Pande hanya tersenyum kecut. Apa? Mau menjelaskan apa? Semua sudah jelas baginya.

"Kalau kamu ingin tahu marahnya orang sabar. Sekarang akan Mas tunjukan," ucap Pande berjalan menuju kulkas.

"Mas," panggil Cilla.

"Aku udah pernah bilang ke kamu kalau aku nggak suka sama si mantan napi itu?!"

Si wanita mengangguk. Cilla tak berani mendekat atau menjauh. Ia tetap berdiri di tempat yang tadi. Seakan dihipnotis untuk tidak berkutik sedikit pun.

"Bahkan aku sudah bilang berulang kali. Kenapa kamu nggak pernah dengerin aku?" tanya Pande. "Belum nikah aja kamu nggak bisa dikasih tahu. Gimana kalau udah nikah?" lanjutnya mendekat ke arah Cilla.

"Tapi, Mas—" lirih Cilla.

"Jangan menyanggah aku belum selesai bicara," ucap Pande memperingati.

Cilla diam lalu Pande melanjutkan berbicara. Saat ini Cilla persis seperti bocah yang dimarahi orangtuanya. Seperti bocah yang kepergok melakukan kesalahan ia hanya diam. Sementara Pande masih terus berbicara hingga ponsel Cilla berdering.

Cilla tak berani menerima panggilan telefon karena takut. Pande mendesah panjang lalu mengatakan. "Angkat telefonnya."

Wanita beranak dua itu mengangkat panggilan telefon dari Giga. Ini dia anak yang dikhawatirkannya.

"Giga kamu dimana? Awas aja kalau kamu pulang. Bunda jewer telinga kamu!" ucap Cilla menggebu.

"Mohon maaf sebelumnya,"

Cilla menjauhkan ponselnya. Nama di layarnya Giga, tapi kenapa bukan suara putranya?

"Apa benar ini keluarga dari saudara Theodore Gigansa?"

"Iya. Saya Ibunya. Boleh saya tahu sedang berbicara dengan siapa?"

Seseorang di seberang sana masih terus berbicara. Penjelasan dari seseorang itu berhasil membuat tubuh Cilla luruh seketika. Air matanya mengalir dengan derasnya.

"GIGA!!!"

"Bunda jangan matikan lampunya. Giga takut gelap."

Cilla mengerutkan kening. Sejak kapan putra bungsunya takut kegelapan? Bukankah selama ini kalau Giga tidur selalu memadamkan lampu kamar? Kenapa dua malam ini Giga memintanya untuk tidak mematikan lampu?

"Jangan matikan lampunya, Bunda. Jangan pernah matikan lampu itu sampai matahari datang untuk menggantikan."

Kalimat itu apa sebuah pertanda?

Tbc.

Pindah ke platfrom sebelah ya besti 😉

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top