Datang Untuk Pergi
Dua remaja itu masih menatap bentangan langit yang telah menghitam sejak satu jam lalu. Tak ada niat pulang cepat. Rencananya mereka akan mencari penginapan di sekitar sini.
Gefta dan Giga selalu seperti itu saat banyak pikiran. Mereka lebih memilih mencari udara segar di pantai hingga larut malam atau bisa saja mengurung diri di dalam kamar sembari memutar musik bervolume tinggi. Sayangnya mereka tidak bisa melakukan option kedua. Karena di rumah sedang ada sang bagina Ratu alias Cilla.
"Nina Oktorine bendahara di kelas aku," ucap Giga menoleh ke tempat di mana Gefta menyelonjorkan tubuhnya.
Giga baru tahu kalau Masnya hampir menampar seorang gadis di parkiran sekolah tadi siang. Parahnya gadis itu adalah teman sekelasnya. Mana tempat duduknya persis di depan Giga lagi. Tak bisa ia bayangkan besok saat bertemu di sekolah.
Gefta menegapkan tubuh. Oh jadi nama cewek tadi Nina?
"Salamin ke dia dicari Gefta."
Giga menatap lekat wajah Gefta dari samping.
"Apa masalah kalian sampai Nina berani senggol kamu?" tanya Giga penasaran. "Emangnya benar kamu penyebab patah hatinya Della?" lanjutnya bertanya.
Walaupun Gefta dan Giga beda satu tahun. Tapi, mereka sama-sama duduk di kelas sebelas. Well, harus semua orang akui bahwa bungsunya Cilla anak yang cerdas.
Giga bisa menjawab semua pertanyaan test aksel dengan jawaban sembilan puluh sembilan persen benar. Karena kepintarannya itu Giga yang seharusnya duduk di kelas sepuluh langsung naik ke kelas sebelas.
"Aku aja baru tahu namanya dari kamu. Aku juga baru tahu ada murid bernama Nina dan siapa tadi satunya? Della?"
Gefta tipe remaja yang tidak suka bergaul dengan murid beda kelas terlebih murid beda jurusan. Si sulung tidak seterkenal Giga yang aktif dalam berbagai macam organisasi dan mengikuti hampir semua eskul. Kendati demikian hampir seluruh siswi SMA Drata mengenal siapa itu Gefta—minus gadis bernama Nina-Nina itu.
"Terus kok bisa dia ngelabrak kamu?" tanya Giga penasaran.
Nah, itu yang menjadi pertanyaan Gefta. Kenapa bisa gadis bernama lengkap Nina Oktorine itu melabraknya. Padahal sebelumnya Gefta tidak pernah kenal atau pun tahu siapa gadis itu.
"Eh, lihat deh, Mas Ge. Kamu jadi tranding topic di group chat kelas aku," ucap Giga menyodorkan ponselnya ke depan Gefta.
Gefta langsung meraih ponsel adiknya. Benar apa kata Giga, ia menjadi topik pembicaraan grup kelas. Ck, sial. Ia suka dibicarakan.
Dan tunggu dulu, Theodorus Nathaniel?
"TEMEN KAMU SALAH SASARAN!" teriak Gefta kesal.
"Ha?" respon Giga.
Tanpa memberi penjelasan Gefta memerintahkan Giga untuk mengambil fotonya. Ketika sosok si sulung berhasil diabadikan ia langsung meminta adiknya mengirim foto ke grup.
Gigansa R: itu orang yang tadi lo labrak?
Angeline.C: woi geftanio ganteng parah woi.
Theresia W: *langsung save dan jadiin walpaper*
Luis.Lou: itu anak ips bukan sih?
Dellana: NINAK! ITU COWOK YANG LO KEMPESIN BAN MOBILNYA???
Alde.brn: itu siapa lo, Gi?
Dellana: WAH PARAH SI NINA. LO SALAH ORANG!!!!!
Dellana: EMANG BENAR NAMA DIA THEODORUS, TAPI BUKAN NATHAN KEPANJANGANNYA. MELAINKAN THEODORUS GEFTANIO.
Dellana: OH MY JESUS CHIST!!! LO SALAH SASARAN!
Satu panggilan masuk ke ponsel Giga.
"Eh Nina telepon!" pekik Giga heboh.
"Angkat dan bilang suruh ganti rugi," jawab Gefta enteng.
Giga mengangguk patuh. Ia menerima panggilan dari orang di seberang. Merasa sedikit terganggu Gefta memilih menjauh. Ia terlalu enggan mendengar percakapan adiknya dengan gadis yang sudah membuatnya terkena hukuman.
Gefta berjalan menuju tepi pantai. Tangannya yang bersembunyi di saku hoodie merasakan sebuah getaran. Tanpa menunggu ia langsung meraih benda yang bergetar itu.
"Ayah?" katanya membaca satu nama yang tertera di layar gawainya.
"Iya, Yah?" ucap Gefta begitu menerima panggilan suara.
"Ajak adik kamu pulang. Kalian akan terbang ke Jakarta dalam kurun waktu kurang dari dua jam."
...
Tepat pukul sepuluh malam Cilla dan kedua putranya mendarat selamat di Jakarta. Untuk pertama kali setelah sekian lama wanita itu kembali menginjakan kaki lagi di tanah kelahirannya.
Saat ini wanita yang masih mengenakan hoodie kuning sedang berdiri di balkon kamar. Menatap bentangan langit malam yang sepi tanpa kehadiran bulan-bintang.
"Enam belas tahun, enam belas tahun aku berhasil hidup tanpa kamu, Ta," awalnya bermonolog.
"Aku bahagia selama itu. Aku bahagia menjalani hari bersama anak-anak dan juga Mas Pande. Tapi hari ini,"
Cilla berhenti bersuara. Dadanya mulai terasa sesak. Ia meremas baju yang dikenakan. Beharap kesakitan yang dirasakan hilang.
"Kabar kebebasan kamu berhasil menghancurkan kebahagianku." lanjutnya meneteskan air mata.
Cilla menghapus air bening yang membasahi pipi secepatnya. Kemudian ia tersenyum samar.
"Kebahagiaan yang aku rasakan selama ini musnah dan berganti dengan kebahagaiaan yang lebih besar lagi," ucapnya lirih.
Cilla menggeleng. Ia berusaha menyangkal kenyataan. Apa yang dikatakannya barusan tidak benar. Bagaimana mungkin Cilla bahagia saat mendengar kabar bahwa Gatta sudah keluar dari penjara?
"Aku benci kenyataan ini, Ta. Padahal selama ini aku sudah menjauh dari kamu. Aku rela meninggalkan tanah kelahirkanku demi melupakanmu. Dan aku kira aku berhasil, tapi kenyataanya?"
Wanita itu kembali meneteskan air mata saat kenangan indah bernama Gatta mulai terputar di memorinya satu persatu.
"Rasa itu masih ada, Ta. Kemungkinan akan semakin besar setelah ini," lanjutnya lirih.
Cilla menggeleng kuat. Ia tidak boleh jatuh ke lubang yang sama.
"Tapi, aku nggak mau kembali sama kamu, Ta. Aku nggak mau ngerasain sakit untuk yang kesekian kali," lanjutnya mengepalkan tangan
Cilla menyeka air mata. Benar-benar menghapusnya sampai tak tersisa.
"Aku nggak bisa terus-terusan berada di posisi ini. Aku harus temuin kamu untuk mengakhiri semua tentang kita," katanya beranjak meninggalkan balkon kamar.
...
Cilla menghentikan mobilnya persis di depan sebuah bangunan minimalis bercat putih. Senyumnya terukir sesaat. Tidak ada yang g berubah dari bangunan itu. Oh mungkin hanya warnanya saja. Jika dulu sang pemilik mengecatnya dengan warna biru sekarang putih.
Pelan, tapi pasti wanita beranak dua itu turun dari mobil. Cilla berhenti sejenak di samping pintu mobilnya. Memantapkan niat ia melanjutkan langkah. Butuh waktu sepuluh detik untuk Cilla berdiri tepat di depan pintu utama.
Tangan kanannya bersiap memencet bel rumah. Dalam hitungan detik saja seharusnya sang pemilik rumah keluar untuk membukakan pintu. Tapi itu semua tidak terjadi karena si tamu mengurungkan niat.
Cilla menjauhkan tangannya dari bel rumah Gatta. Ia diam untuk berpikir. Kemudian Cilla membalikan badan lalu membawa langkahnya menuju bangku yang ada di terus rumah. Ia daratkan pantat di atas bangku dan kembali berpikir.
Memencet bel dan menyelesaikan semua atau pulang saja ya?
Dua pilihan itu membuatnya bingung.
Cilla terlalu asik berpikir sampai tak sadar jika ada mobil lain terparkir di sebelah kendaraanya. Ia masih tak juga sadar kalau seseorang sudah berdiri tak jauh darinya.
"Cilla?"
Suara itu...
Cilla mendongakkan kepala. Seketika itu penglihatannya mendapati seseorang yang pernah singgah dihati berdiri tepat di hadapannya.
"Ini pasti cuma mimpi," katanya dalam hati.
"Cilla?" panggil si pria berjaket berbahan denim.
Si pemilik nama beranjak.
"Gue pasti cuma mimpi," ucapnya menggeleng kuat.
Cilla berusaha menghidari pria itu. Ia berniat meninggalkannya. Tapi dengan cepat seorang Gattara Dean Prasetya mencegahnya. Ia menahan kepergian Racilla.
"Enggak. Lo nggak mimpi. Ini beneran gue—Gatta," ucap Gatta.
Suara itu nyata. Sosoknya juga ada. Ini bukan hanya mimpi Cilla.
"Gue udah keluar penjara, Cil. Gue udah bebas," katanya terasa haru.
Tepat berakhirnya ucapan Gatta. Saat itu pula ia berhasil membawa Cilla ke dalam dekap hangatnya. Ia memeluk erat wanita yang masih terus bertahta di hatinya dengan erat. Gatta tak akan melepaskannya. Tak akan pernah.
Sementara Cilla diam di tempat. Ia tak membalas ataupun menolaknya. Ini terlalu tiba-tiba. Cilla masih berusaha mencerna apa yang terjadi.
Bukankah kedatangannya ke rumah ini untuk mengakhiri hubungan mereka?
Begitu sudah ingat dengan tujuannya Cilla menjauhkan tubuh Gatta.
Pelukan pun terlepas.
"Lo nggak kangen gue?" tanya Gatta
Cilla menggeleng. Jika tadinya ia tak sanggup menatap mata si pria kini dengan semua pertahanan yang dimiliki, dengan sisa-sisa keberanian yang dimiliki, wajahnya terangkat. Maniknya bertatapan dengan kelereng gelap itu.
"Gue datang untuk pergi. Itu bernama mimpi kalau lo mengira kedatangan gue ke sini untuk balik ke pelukan lo lagi."
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top