Lembar 7. Kesakitan Hati

            Arya Wiyatmaya adalah sosok lelaki kuat meski hatinya lembut. Namun, fisiknya masih lelaki. Dia sudah biasa berlatih berpedang meski tak begitu ahli. Baginya melindungi diri saja sudah lebih dari cukup. Beban mentalnya terasa lebih menyakitkan dibanding itu. Dia melihat banyak hal seolah berputar dalam ingatannya.

Juga tentang hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh Adji terhadapnya.

Jujur, setelah kejadian itu Arya menjadi lebih pemikir. Apa mungkin Adji marah terhadapnya karena dia begitu jelas mengatakan tidak suka? Apa Adji begitu berbeda dalam mengungkapkan pemikirannya, sehingga lelaki tampan itu tidak suka dan akhirnya melakukan perbuatan seperti itu?

Ah, Arya... ajaran dari mana untuk mencium seorang lelaki?

Lontar-nya terbuka lebar, menampakkan banyak hal yang membuatnya berpikir ganda. Arya tidak tahu bahwa kecanggungannya dengan Adji akan membuatnya jadi berjarak. Kemarin mereka bertemu.

Setelah Adji memeluknya dengan tangis, Arya menatapnya tanpa kata. Lalu bibirnya berucap dengan sangat dramatis, yang akhirnya meninggalkan Adji dalam kegamangan tingkat tinggi.

"Aku tak ingin bertemu denganmu hingga semua kebingungan ini lepas dari kepalaku."

Adji menatapnya dengan mata paling menyedihkan seumur hidupnya, namun itu tak membuat Arya berubah. Benar, Arya yang lembut hati itu memang susah untuk ditaklukkan.

Dan sekarang... Pangeran Maharaya itu terpekur setiap saat. Dia tidak bernafsu untuk makan dan melakukan kegiatan lainnya. Dia hanya membuka lontar, menghela napas, menatap pemandangan jauh di sana.

Setiap doa pagi untuk memuja dewata, Arya datang. Sayangnya yang dia puja serasa kosong. Dia hanya ingin kembali ke ruangan pribadinya dan melamun sepanjang waktu di sana.

Lalu, di hari ketiga sepupunya datang. Menurut permaisuri Maharaya, Arya butuh teman. Karena itulah wanita cantik itu mengundang keponakan dari pihaknya.

Arya menatapnya tanpa kata. Tidak tersenyum seperti biasa.

"Aku merindukanmu. Kau tahu?" tanyanya lembut. Arya menghela napas.

"Ada apa?"

Alis sepupunya, Kriswa naik sekian centi. Dia tidak menyangka kalau sepupunya akan jadi seperti ini. Kriswa tahu ada hal buruk yang terjadi.

"Ada masalah apa?"

Arya bungkam.

"Tidak ada."

"Kau tidak akan bisa menipuku, Sepupu."

"Aku tidak ingin diganggu."

"Aku semakin yakin kau memiliki masalah. Arya Wiyatmaya yang kukenal tak pernah sekali pun bicara seperti ini pada orang lain."

Arya mengacak rambutnya gusar.

"Juga tidak pernah mengacak rambutnya." Kriswa menambahi.

Arya tidak tahu dari mana harus menjelaskan semuanya. Dia ingin mengetahui banyak hal, karena sebenarnya pertemanannya selama ini sangat tidak menyenangkan. Kecuali dengan Adji, itu berbeda. Dia berteman dengan anak pejabat tinggi negeri, dengan pangeran dari negeri lain. Arya belajar banyak hal dari mereka. Hanya saja... mereka terlalu menatap dunia ini dari sudut dan kursi seorang penguasa.

Berbeda dengan anak itu, yang meski dia adalah calon penguasa Pancakalya, namun jiwanya masih jiwa petualang.

"Kau tidak akan bisa menipuku. Kau ada masalah. Dengan Adji?"

Mata Arya berkedip beberapa saat.

"Dari mana kautahu?"

"Aku tahu karena aku bergerak sesuai yang kumau, Sepupu. Meskipun kau pangeran, namun kau harus dijaga dan diawasi." Kriswa sangat bangga ketika mengatakannya. Arya patah hati. Kesal dalam waktu bersamaan.

"Aku iri."

"Aku tahu."

"Aku ingin sepertimu."

"Tidak. Kau tidak bisa. Adji Gatrakalya pun sama denganmu. Jadi, masalahmu apa?"

"Aku harus menceritakannya dari awal?"

Kriswa mengangguk. Maka, semua hal yang bahkan tak pernah Arya ceritakan pada ibundanya pun mengalir. Dia percaya pada anak ini. Kriswa sangat bebas. Dia tidak memiliki masalah dengan apa pun. Dia sangat menjaga rahasia.

Begitu Arya selesai dengan ceritanya, Arya menunggu. Tak ditemukan rasa terkejut ataupun rasa aneh yang muncul dari sorot mata anak itu.

"Kau tidak menghujat atau menghakimiku?"

Kriswa menggeleng. "Tidak."

"Kenapa?"

"Aku mengenal banyak orang seperti itu."

"Seperti itu?"

"Saling mencintai sesama lelaki."

"Kami tidak seperti itu!" Arya memekik kencang. Kriswa mengedikkan bahunya.

"Aku tidak tahu. Dan aku tidak peduli dengan itu. Aku tidak masalah dengan hubungan kalian."

"Kami hanya bersahabat."

"Terserah. Aku berkelana tidak hanya pada hutan seperti kalian. Meski dia menciummu, Sepupu... mungkin saja dia kesal karena kau meragukan kesetiaannya."

"Apa mesti dengan mencium?"

"Mungkin karena dia tidak akan pernah bisa memukulmu."

Arya menghela napas berat. Kriswa semakin membuatnya berpikir keras sekarang. Kriswa benar-benar membuat pemikirannya mulai aneh. Arya memijat pelipisnya, lalu menatap sepupunya sekali lagi.

"Aku harus apa?"

"Menunggu."

***

Dugaan Kriswa benar. Semuanya berjalan sesuai prediksinya. Arya masih begitu. Masih tidak berminat dengan banyak hal. Jarang makan. Lalu... sebulan kemudian kondisi tubuhnya tidak bisa dikendalikan lagi. Tabib istana dikerahkan untuk mencoba mendiagnosis sakit sang Pangeran.

Namun, mereka berada pada satu kesepakatan yang sama. Pangeran bungsu kesayangan mereka sakit lantaran tidak makan. Benar, karena banyak makanan yang setelah masuk dimuntahkan kembali olehnya.

Tubuh itu semakin ringkih. Ada banyak pengobatan yang dilakukan agar Pangeran kesayangan Maharaya kembali sehat dan bermain dengan riang bersama prajurit dan emban istana.

Sang Permaisuri menangis sepanjang hari melihat kondisi anak bungsunya. Hal itu juga menjadi masalah Prabu Pangku Wiyatmaya. Sang Prabu menatap kondisi mengenaskan anaknya, lantas menggenggam jemari itu lembut.

"Tak pernah sekali pun Ananda meminta sesuatu pada Ayahanda. Bahkan meski terkadang Ayahanda sadar telah berbuat tidak adil terhadap Ananda."

Arya membuka matanya perlahan.

"Tidak ada yang Ananda inginkan, Ayahanda."

"Ayahanda tahu ada yang membuatmu resah."

"Apa Ayahanda ingin mengabulkan semuanya?"

"Tentu."

"Ananda ingin Maharaya dan Pancakalya berdamai, Ayahanda Prabu. Ananda lelah dengan kondisi ini."

Arya merasa terluka. Prabu Pangku pun begitu. Hanya saja... Maharaya harus melindungi diri. Tidak harus bergabung. Mereka harus berdamai.

"Lalu? Ananda ingin kita bergabung dengan mereka?"

Arya bangun tertatih, dan Prabu Pangku peka untuk menjadi sandaran putra bungsunya.

"Buat kesepakatan, Ayahanda. Bahwa sampai kapan pun mereka tak akan pernah menghancurkan kerajaan ini. Biarkan kita hidup damai dengan dunia kita. Dan sebaliknya, kita harus berjanji pada mereka untuk tidak merebut apa pun dari mereka."

Prabu Pangku terdiam mendengar permintaan putra bungsunya. Tidak ada obat yang paling manjur selain mendengar permintaan ini.

Permintaan ini sangat besar, dan Prabu Pangku harus mendengar saran dari para penasihatnya. Namun demi hal yang seperti ini, Prabu Pangku harus melakukannya.

Dan kabar itu menyebar begitu cepat hingga sampai ke telinga Adji. Tak sekali pun dia melupakan pertemuan mereka. Dia selalu datang, namun Arya tidak. Adji tidak menyerah. Dia selalu datang. Hingga kabar ini sampai di telinganya, bahwa pangeran bungsu Maharaya sedang sakit parah selama lebih dari sebulan.

Hati Adji hancur.

Dia menangis kencang. Gelisah yang tertahan meluap begitu saja. Dia ingin menemui sahabatnya sekarang juga. Karena itulah ketika utusan dari Maharaya datang untuk mendiskusikan hal ini, Adji mendesak ayahnya untuk menyetujui.

Permintaan disetujui. Mendengar berita bahwa Pancakalya menyambut baik undangan itu, Arya bergerak cepat. Rasa sakit dan lemas yang dia rasakan berganti dengan rasa bahagia dan tak sabar.

Mereka akan berdamai.

"Ananda ikut, Ayahanda!" Arya begitu bersemangat dengan kabar itu.

"Tidak. Ananda dilarang ikut bila masih lemas seperti ini."

Arya tersenyum dan mengangguk cepat. Dia yakin akan bisa melaksanakan banyak hal sekarang. Maka kondisi pangeran Maharaya itu berangsur membaik. Dia mulai bisa makan dan mulai menjaga kesehatannya.

Adji?

Di sana dia mencoba menguatkan hati. Untuk tidak melakukan hal yang tidak semestinya. Dia tidak tahu bagaimana kondisi sahabatnya sekarang. Dia tidak bisa bergerak dengan menyuruh seorang mata-mata untuk mengetahui kondisi sahabatnya karena takut bila mereka akan salah paham bila memergoki semuanya.

Prabu Gajih tidak pernah melihat putranya seserius ini. Dia mulai menyusun hal-hal yang harus dilakukan demi negerinya. Adji begitu bersemangat, apalagi ketika mendengar kabar siapa saja yang hadir dalam diskusi nanti.

Ada nama sahabatnya di sana.

Arya... Arya... Arya.... Adji memekik dalam hati, meluapkan rasa rindunya yang sebentar lagi akan nyata.

TBC

Aku romantis, yak? Hehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top