Lembar 5. Aku Merasakannya

            Duh!

Adji remuk. Sahabatnya masih sesenggukan tanpa suara. Adji tahu sahabatnya adalah orang yang sangat lembut dan halus hati, hanya saja lelaki itu sering menutupi segala kerapuhannya. Namun sekarang, semuanya benar-benar di luar dugaan. Adji tidak tahu bagaimana Arya merengkuh sebagian logika dan nyalinya.

"Jangan menangis!" bisiknya lembut. Arya masih bungkam. Bibirnya bergetar.

"Aku terluka."

"Aku lebih terluka daripada kau."

"Tidak."

"Kau tahu sesuatu, Arya? Ketika semua orang menunjukku sebagai putra mahkota, ketika mereka menudingkan jari mereka, berharap banyak padaku tentang kejayaan Pancakalya di tanganku... apa yang bisa kulakukan?"

Arya menghentikan tangisnya, mengusap air mata itu keras-keras. Bagaimanapun, air mata itu bukanlah air mata ketika mereka masih kecil dulu. Baginya, menangis adalah hal yang sangat terlarang. Dia benci terlihat lemah, meskipun dia sadar dirinya lelah. Arya tidak ingin membebani orang lain, namun sekarang air mata itu luruh begitu saja, memuntahkan emosi yang selama sekian tahun dia pendam. Hanya karena... hanya karena sahabatnya sejak kecil menginginkan hal yang sama seperti yang orang lain inginkan.

"Dan kau ingin seperti mereka, Adji? Merengkuh kami yang kata kalian membuat kami jaya? Tidakkah kau tahu bahwa tak akan pernah ada dua matahari di dunia ini?"

"Tidakkah kita bisa bersatu?"

"Lalu siapa yang kauinginkan untuk duduk di tahta, sementara yang kalian lakukan hanyalah berperang, berperang, dan berperang? Tidak tahukah kalian bahwa ada banyak keluarga yang kehilangan dan menangis karena peperangan?"

"Lalu kau menyalahkan kami?"

"Menurutmu siapa yang begitu tamak dengan kekuasaan dan wilayah?"

"Kau menuduh kami tamak?"

"Tidak, bila kalian hanya puas dengan apa yang kalian perjuangkan. Bukan dengan mengangkat senjata, bukan dengan menguasai sesamanya. Negeri kami... bila kau tahu, Adji... tidak didapatkan dengan mengangkat senjata! Negeri kami didirikan oleh seseorang, yang dengan penuh kasih menampung semua orang yang terluka dan kesakitan. Kami tidak pernah menginginkan kekuasaan. Yang kami inginkan adalah naungan untuk berlindung. Apa yang seperti itu masih belum kalian pahami? Apa susahnya mengabaikan kami?"

"Tidak bisa kuabaikan! Maharaya tidak sekecil dan sesederhana itu, Arya! Kau tahu!"

"Tidak bisakah kau menganggap kami tak ada?"

Degup itu dimulai lagi. Arya sangat kecewa. Dia pikir sahabatnya tidak memiliki keinginan yang sama seperti para penguasa lain tentang Maharaya. Hanya Pancakalya yang menginginkan Maharaya, itu dikarenakan semua wilayah telah jatuh dan tunduk pada Pancakalya.

"Bagaimana bisa aku menganggapnya tak ada bila ada sahabatku di sana?"

"Dan kau ingin mengajak sahabatmu ini menghancurkan seluruh keluarganya? Menurutmu aku ini apa?"

"Sahabatku."

"Tidak. Kau bicara seperti penguasa, Adji."

"Aku ingin membuat kalian lebih jaya."

"Tidak perlu, kami sudah bahagia begini."

"Aku ingin kau lebih bahagia, tidak merasa tertekan atau takut."

Arya tidak pernah memahami apa yang ada dalam hati sahabatnya, namun sekarang bila boleh menerka, maka Arya akan mencoba menebaknya.

"Apa yang kauinginkan sebenarnya?"

Adji bungkam. Bila nanti dia diberikan tahta Pancakalya, maka dia yang akan menetapkan seluruh kebijakannya. Dia tidak ingin melebur Maharaya, namun dia ingin mengubah hal-hal yang seperti ini. Dia tidak ingin terusik ataupun terbebani.

"Aku akan melakukan semuanya untukmu." Adji berbisik.

"Caranya?"

"Kau tahu bagaimana aku meletakkan rasa hormatku pada Maharaya, dan aku menyayangi putra bungsu rajanya. Aku akan menghentikan permusuhan ini."

"Dengan mempersatukannya?"

Adji bungkam. Dia tidak memiliki jawaban. Memang harusnya dia harus merencanakan semuanya dari awal, jadi segalanya bisa terlaksana dengan baik. Dia bisa menjawab apa pun yang sahabatnya tanyakan sejak awal.

Sahabatnya bukan orang bodoh. Meski tak banyak bicara, namun pemikirannya sangat kritis. Arya masih menatapnya tanpa kata. Air mata masih berhamburan di pipinya, meski mata itu sudah tidak meneteskan air lagi.

"Kau ingin aku bagaimana?" Adji menyerah. Arya menatapnya tanpa kata. Bola mata bening dan bulat itu mengerjap beberapa kali.

Menurut isu yang berembus, putra bungsu Maharaya sangat mirip dengan ibundanya. Dengan permaisuri Maharaya. Dengan demikian, semua orang tahu bagaimana cantiknya pangeran bungsu mereka meskipun lelaki. Adji pernah salah menilai ketika masih kecil dulu.

"Biarkan kami, Adji..."

"Mengabaikan semua ini?"

"Tidak. Kita bisa duduk pada meja makan yang sama, dengan membahas hal-hal yang menyenangkan."

Hati Adji tidak kuasa melihat tatapan memohon sahabatnya. Dia ingin melakukan hal yang sama, namun bagaimana bila kerajaan mereka menolaknya?

"Aku tidak akan berdiam lama di sini. Aku harus pulang."

"Kita baru bertemu."

"Tapi hatiku tidak sanggup bicara banyak denganmu."

Adji ingin menahan kepergian sahabatnya, namun dia melihat Arya seolah ingin pergi dari sana secepat mungkin. Adji masih ingin keras kepala.

"Aku tidak ingin melepaskanmu. Bagaimana?"

"Aku tidak meminta persetujuanmu. Aku bisa pergi sesukaku."

"Tolong jangan pergi!"

"Aku harus."

"Tidak bisakah kau tetap di sini? Kita masih belum selesai."

"Tidak ada yang bisa kukatakan padamu dengan suasana hati yang seperti ini."

"Aku tidak mengizinkanmu pergi!" Adji tidak sabar lagi. Wajahnya terlihat keras, rahangnya mengatup rapat. Tanda bahwa dia memang sedang marah.

"Kau tidak bisa mengaturku! Semua orang bisa kaukendalikan, namun tidak denganku!"

Adji sadar telah melakukan kesalahan terbesar selama hidupnya.

"Maafkan aku."

"Aku akan pergi."

"Kumohon..."

"Tidak."

"Sampai kapan?"

"Aku tidak tahu. Mungkin sampai suasana hatiku membaik."

"Apa itu artinya kita tidak akan pernah bertemu lagi?"

Arya menggeleng. "Aku tidak tahu."

Hati Adji hancur. Arya pun demikian. Namun putra bungsu kerajaan Maharaya itu sangat keras kepala meskipun hatinya lembut. Arya tidak ingin melihat Adji untuk saat ini. Dia harus memantapkan hati, meluruskan segala kesalahpahaman yang mungkin sempat terjadi saat ini. Bisa saja dirinya yang terlalu sensitif dalam menyikapi ucapan Adji.

Arya melangkah, memunggungi Adji dalam diam. Dalam beberapa langkah, kepalanya menoleh. Bibirnya tersenyum, namun air mata itu mengalir lagi dengan deras. Adji benar-benar hancur dan tidak bisa lagi menahan semuanya.

"Kau tidak perlu menungguku, Adji. Terima kasih telah menjadi sahabat yang luar biasa selama ini..."

Hancur sudah!

Langkah kaki Adji sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia melangkah cepat, sedikit berlari. Ketika berada di depan Arya, jemarinya terulur. Adji memeluknya erat, mengenyahkan segala hal yang bernama logika dalam otaknya.

Sekarang dia memeluk sahabatnya.

Hangat, nyaman, dan dalam sekejap dia bisa melupakan segala hal dalam otaknya. Dia lupa siapa dirinya dan posisinya di Pancakalya.

"Jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi!"

Sayangnya Arya memang harus pergi. Dia takut semakin berada di sini hatinya semakin tidak kuat. Arya mencoba melepaskan diri, mendorong kuat-kuat tubuh sahabatnya yang lebih besar itu.

"Lepaskan aku!"

"Jangan pergi, jangan pergi, jangan pergi! Kumohon, jangan pergi!"

"Lepaskan aku!"

Arya menangis, dan... Adji pun begitu. Semua kekuatan yang selalu dia tanamkan dalam hatinya luruh begitu saja. Adji kalut, hancur dalam waktu bersamaan. Bagaimana mungkin dia bisa hidup bila sahabatnya pergi? Orang inilah yang menjadi alasan bagaimana dia hidup.

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi! Kau akan meninggalkanku!"

"Aku tidak akan meninggalkanmu."

"Kau bohong."

"Benar, aku sedang berbohong!" Arya membentak. Tangisnya menyembur lagi. Sekarang semua jerit tangisnya sudah luluh-lantak, mengoyak segala jenis perseteraan yang mereka sebut dan mereka tanamkan bahwa lelaki seharusnya tidak boleh menangis.

Sekarang... boleh.

"Aku akan meninggalkanmu! Aku akan hidup dengan cara Maharaya. Diam tak bersuara. Sunyi tak berkuasa. Aku ingin hidup damai di tempatku, tanpa ada tuntutan seperti di kerajaanmu!"

Adji terpaku. Inilah hal yang paling dia takutkan. Kehilangan sahabatnya. Dulu mereka pernah menangis bersama, ketika kelinci yang Arya temukan dulu ketika pertama bertemu mendadak mati. Hari itu hari berduka bagi keduanya.

Sejak hari itu baik Adji maupun Arya berjanji untuk menjaga apa yang mereka punya karena bagaimanapun kehilangan... sakitnya pasti terasa.

"Aku akan melupakanmu dan pergi..." Arya melepas pelukannya, menatap Adji sekilas untuk melihat mata sahabatnya itu. Namun, sekarang semuanya berbeda.

Putra mahkota Pancakalya telah kehilangan sudut kewarasannya sehingga putra mahkota tampan itu mendaratkan bibirnya pada bibir putra bungsu kerajaan Maharaya.

TBC

Baper, cieeee... Bapeeerrrr...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top