Lembar 4. Sebuah Debar
Langit menangis akhir-akhir ini. Arya ingin melarikan diri seperti ketika masih kecil dulu, namun sekarang semuanya berbeda. Akan sangat berbahaya bila dia bergerak tanpa perhitungan seperti sebelumnya. Sejak awal, sejak masih kecil... dia sudah sadar dan peka bahwa kakaknya memerintahkan seseorang untuk mengikutinya. Arya mungkin pura-pura tidak paham dan tidak peka, berbeda dengan sahabatnya yang tidak peduli dengan sekitar.
"Aku merindukannya..." Arya tersenyum lembut. Adji Gatrakalya, putra mahkota dari Pancakalya itu sangat cerah seperti mentari. Sifatnya meledak-ledak. Semua hal menjadi sesuatu yang menarik perhatiannya. Adji berbeda dengan dirinya. Adji adalah pribadi yang apa adanya.
Meski terkadang dia terlihat sangat keras kepala. Namun, Arya paham. Sahabatnya tersebut adalah calon pewaris tahta kerajaan Pancakalya yang sangat agung. Arya penasaran bagaimana Pancakalya ketika berada di tangan sahabatnya itu. Arya Wiyatmaya percaya, Adji Gatrakalya akan menjadi raja besar yang bisa melampaui kekuasaan ayahnya saat ini.
Hanya saja... Arya benar-benar cemas.
Dia percaya pada Adji sahabatnya, hanya saja... semua itu terasa sangat semu. Baginya, Adji bisa berubah suatu hari nanti. Dia bukan lagi Adji yang ceria dan ingin tahu banyak hal seperti dulu. Sekarang sosok itu telah tumbuh menjadi remaja, seorang putra mahkota yang sangat tampan, perkasa, dan auranya benar-benar luar biasa.
Arya mengerjap sesaat. Tidak, ini waktunya! Arya melompat dari pembaringan, lantas mencoba menghitung sesuatu. Kalau memang tidak salah... kalau memang tidak salah, hari ini adalah harinya! Arya menjerit gusar, lantas segera bersiap-siap dengan baju biasa. Arya menjerit sekali lagi.
Hari ini adalah hari yang sama dengan ketika mereka pertama kali bertemu.
Setiap tahun, mereka selalu mengadakan kesepakatan untuk tetap bertemu di hari yang sama, apa pun yang terjadi. Dan benar, ketika Arya berhasil menyelinap keluar dari istana, sahabatnya sudah duduk berteduh di bawah pohon. Arya berlari, mengabaikan tubuhnya yang basah kuyup untuk menemui sahabatnya.
"Kau terlambat..." Adji tersenyum pias.
"Maafkan aku."
"Tidak apa. Aku sudah biasa menunggu."
"Kau marah?"
"Tidak. Aku hanya cemas karena kau tak kunjung datang."
"Aku melupakan harinya. Maaf..."
"Aku mengerti, aku tidak marah."
"Kenapa kau makin mirip denganku?"
"Terkadang memang kau berhasil membuatku terpedaya..."
Arya terkekeh. Pakaiannya basah kuyup, namun Adji tidak ragu untuk menyisakan tempat di sampingnya. Adji tersenyum ketika melihat pakaian sahabatnya. Lalu dia terbahak kencang.
"Kenapa tertawa?" Arya mengerjap keheranan.
"Ini kali pertama aku melihat pakaian yang sangat membingungkan."
"Eh?"
"Kau memakai baju biasa, namun tidakkah aksesorismu masih terlalu berlebihan?"
Arya baru sadar bahwa dia masih menggunakan aksesoris kerajaannya. Dia mengembuskan napas, melepaskannya satu-persatu, lalu memasukkannya dalam saku. Adji menarik napas sekilas, lalu berdehem.
"Kau merasa panik, Arya?"
"Iya, tak sekali pun aku melupakan hari ini, namun entah kenapa hari ini aku benar-benar lupa."
"Aku datang karena merindukan sahabatku, dan aku memang tidak tahu ini hari apa. Hingga aku mengingat semuanya."
"Benarkah?"
"Tentu."
"Itu bukan caramu membuatku agar tidak merasa bersalah?"
Adji terkekeh pelan, menggeleng sekilas setelah itu. Dia tidak tahu semuanya akan menjadi seperti ini. Arya menggeleng pias. Dia benar-benar merasa bersalah. Dia takut segalanya akan jadi makin runyam. Entah kenapa hari ini semua hal seolah luput dari pemikirannya.
Mungkin karena dia sudah mulai cemas dengan posisi dan kondisi yang terjadi di kerajaan.
Sebentar lagi... mungkin sahabatnya sebentar lagi akan menjadi raja, duduk di singgasana, dengan permaisuri dan keturunannya. Dia tak akan lagi bisa berkunjung ke tempat tersembunyi ini.
"Sebentar lagi semuanya berbeda, Adji."
Adji yang mencoba melupakan semua posisinya akhirnya terusik kembali. Dia beranggapan bahwa sahabatnya tidak akan mempermasalahkan ini. Hanya saja...
"Kenapa kau beranggapan seperti itu?"
"Pengawalan raja akan semakin ketat. Kau tahu?"
"Tahu."
"Dan kau akan berada di sana, Adji. Tidak lagi berkeliaran seperti ini."
"Aku tidak berkeliaran."
"Lantas?"
"Aku menemui sahabatku."
"Kelak, posisimu yang akan membahayakan nyawamu."
"Lalu?"
"Aku hanya ingin..."
"Meninggalkanku, melupakan persahabatan kita?"
"Tidak. Aku hanya ingin kita tidak bertemu lagi, Adji."'
"Itu sama saja artinya dengan kau membuangku."
"Aku masih akan terus berada di sini. Kau mungkin tak akan bisa datang..."
"Aku bisa melarikan diri dari punggawa kerajaan."
"Dan ketika mereka mencarimu lalu menemukanmu di sini, apa yang akan kaukatakan pada mereka? Apa yang akan kauceritakan pada ayahandamu?"
"Aku menemui sahabatku, orang yang mengajariku banyak hal sejak aku masih kecil."
"Tetapi, sahabatmu ini kelak tak boleh berdekatan dengan penguasa seperti itu. Kita akan menciptakan konflik baru yang besar."
Adji menggerutu.
"Aku tidak akan pernah berubah meskipun mahkota itu tersemat di atas kepalaku suatu hari nanti."
"Apa segalanya akan berubah?"
"Tidak."
"Pasti."
"Kenapa kau begitu yakin dengan dugaanmu?"
"Adji, aku sudah bersahabat denganmu sejak kita masih kecil. Kau bukan orang yang akan abai dengan kewajibanmu."
"Termasuk pada sahabatku."
"Aku bukan kewajiban yang harus kautaati."
Adji bungkam. Dia merasa kesal dengan pemikiran sahabatnya. Arya tidak lagi seperti yang dulu. Ah, dia masih Arya yang dulu. Dia masih Arya yang manis dan tidak nakal. Dia masih Arya yang penuh perhitungan, yang sangat bijak dengan berbagai pemikiran dari bukunya. Adji tidak ingin menghakimi, karena nyatanya... dialah yang berubah.
"Apa kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi?"
"Bisa, ketika kau memberi salam pada rakyatmu, atau ketika kau datang dengan baik-baik ke tempat kami. Aku tidak ingin kita bermusuhan, Adji."
"Aku tahu. Aku sudah berjanji banyak hal padamu."
"Aku ingin menghentikan segala perseteruan ini."
"Tentu."
"Tolong, jangan usik kerajaan kami, Adji. Hiduplah dengan kekuasaanmu, namun tolong jangan ganggu kehidupan kecil kerajaan kami."
"Apa kau menganggap kami sebagai seorang pengusik?"
"Kalian ingin menguasai kerajaan kami."
"Kami ingin menyatukan kedua kerajaan sehingga kita bisa hidup damai dan menjadi kerajaan adidaya yang besar."
"Dan menghancurkan sebuah kehidupan di sana?"
Ini kali pertama mereka bertengkar sekeras ini. Arya masih cemas dengan banyak hal, sedangkan Adji juga merasa terhina karena Arya menganggapnya akan berkhianat.
"Kenapa kau tidak percaya padaku?"
"Karena kau ingin menyatukan dua kerajaan yang berbeda, dan itu artinya kita harus bersatu! Kita harus melebur salah satunya, tidak lagi menjadi dua hal yang berbeda dengan keunikannya!"
"Kenapa kau tidak percaya padaku?"
"Kau ingin menghancurkan kehidupan kami!"
"Dari mana pemikiran picik itu berasal?"
"Kau ingin menyatukannya, Adji."
"Tapi aku tidak akan menghancurkan kalian!"
"Bagaimana caranya? Kami punya kehidupan sendiri. Kami tidak ingin berkuasa. Kami hanya ingin hidup damai, mengelola apa yang menjadi hak kami. Dan kalian ingin menghancurkannya dengan alasan ingin bersatu?"
"Aku ingin membuat tempatmu lebih besar lagi!"
Arya terluka. Benar-benar remuk dari dalam. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya akan memiliki pemikiran seperti ini. Padahal... dia tahu bagaimana Adji Wiyatmaya di masa lalu. Lalu, dengan wajah terluka... Arya berbisik, nyaris tak terdengar.
"Awalnya kupikir kita akan berada di sini dan membahas nostalgia dan kenangan kita di masa lalu, tertawa, bergembira seperti dulu. Namun ternyata aku salah. Kau sudah banyak berubah, kau bukan lagi Adji Gatrakalya yang kukenal dulu. Maaf, aku tidak mengenalmu lagi, Sahabatku... Aku benar-benar tidak tahu dari mana pemikiran itu berasal, karena dulu kau hanya akan membuat kita berdamai, bukan untuk melebur kami dan menyatukannya denganmu..."
Adji terkejut, namun bibirnya kelu untuk bicara. Hingga akhirnya, sahabatnya yang sangat disayangi itu melakukan sesuatu yang membuat hati Adji sakit mendadak.
Arya menitikkan air matanya.
Ini kali pertama lelaki yang sangat pintar dan cerdas itu melakukan hal serupa. Bibirnya bergetar. Adji hancur. Melihat sahabatnya seperti ini, rencananya mendadak sirna.
TBC
Aku sibuk sekali, Man-Ceman...
Sibuk cari alasan, sih... Hahahaha... Mood itu susah diatur, ya... Kalo ide selalu ada...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top