Lembar 1. Panca-Raya
Kerajaan Pancakalya bukan kerajaan biasa. Rakyatnya damai dan sentosa. Kerajaan itu kaya dan sejahtera. Semuanya ada. Pangeran kerajaan sangat berwibawa, menjelma jadi masa depan bagi Pancakalya yang lebih baik ke depannya. Kerajaan itu kuat, namun ada satu kerajaan yang masih belum bisa bersahabat. Bukan karena Pancakalya kalah, namun karena kerajaan itu sekuat mereka. Namanya Maharaya. Kerajaan misterius yang hanya memiliki jarak beberapa kilometer. Di antara semua wilayah kekuasaan Pancakalya yang tunduk, hanya Maharaya yang tak bisa mereka jatuhkan.
Jelas, karena kerajaan mereka sejak dulu sudah berdiri di sana, menjelma jadi sejarah dan saksi bisu, yang memegang seluruh titik kunci kelemahan kerajaan-kerajaan lainnya. Hanya saja mereka tidak ingin menguasai apa pun. Mereka hanya hidup untuk kerajaan dan rakyat mereka sendiri. Mereka tidak berniat untuk bersahabat dan bergabung dengan siapa pun, termasuk tunduk pada siapa pun.
Maharaya juga memiliki pangeran dengan usia yang sama. Kalian mungkin sudah bisa menebak ke mana alurnya, namun percayalah... cerita ini akan jauh berbeda. Sangat jauh berbeda ketika kalian hanya duduk diam dan menatap mereka saling berkomunikasi dalam diam.
Pangeran dari Pancakalya bernama Adji Gatrakalya. Dari Maharaya bernama Pangeran Arya Wiyatmaya. Kisah ini tidak akan terlalu panjang, namun semoga kalian menyukainya.
***
Derap langkah terdengar. Adji Gatrakalya berlari kencang, menembus dedaunan. Kuda yang dikendarainya sudah ditambatkan di tempat favoritnya. Suara gemericik air terdengar semakin dekat, namun kakinya masih belum berhenti. Usianya memang masih belia, namun kemampuannya akan beladiri tidak bisa diragukan lagi.
"Arya! Arya!" pekiknya kencang. Tak ada suara.
"Arya! Arya!"
Masih belum ada jawaban. Adji Gatrakalya terlambat. Seharusnya dia datang lebih awal, namun karena sibuk mencari alasan pada ibundanya, Adji benar-benar ditinggalkan oleh seseorang. Sahabatnya.
"Arya!"
Lalu sepasang kaki keluar dari balik semak. Lengannya terluka. Di pelukannya terdapat kelinci putih yang sangat menggemaskan. Keduanya terlihat lucu, namun manis dalam waktu bersamaan. Kalau Adji tidak salah ingat, dulu dia sempat mengira Arya adalah seorang anak perempuan yang menyamar seperti pengkhianat yang ditangkap oleh ayahandanya dulu.
"Dari mana?"
"Lihat ini, Adji!" Arya mendekat, mengulurkan hewan mungil itu. Adji memekik.
"Jauhkan! Jauhkan!"
"Takut?"
"Tidak. Hanya geli."
Arya menurut. Lantas, dia duduk manis menunggu. Adji menatapnya geli. Arya mendongak, tersenyum, menatapnya dalam diam. Adji menggaruk tengkuknya, lantas melangkah pelan. Dia duduk di sebelah Arya tanpa kata, meski hatinya masih ciut melihat wajah hewan mungil putih di tangan sahabatnya.
"Kau menemukannya di mana?"
"Hampir jatuh ke sungai."
"Lalu kau membawanya?"
Arya mengangguk. Adji tidak akan menghakiminya. Adji Gatrakalya tahu dengan pasti betapa kuatnya sahabat kecilnya ini. Arya Wiyatmaya adalah sosok luar biasa di kerajaan. Pangeran kecil itu sudah dibekali oleh seni beladiri, bahkan pengetahuan dengan sangat mumpuni. Dia menjadi orang paling cerdas di antara seluruh anak di kerajaan Maharaya. Meski begitu hatinya lembut sekali.
"Bagaimana?"
"Hm?"
"Kerajaanmu." Arya menatap tempat tertinggi di atas bukit, tepat di sebelah tenggara. Di sana ada sebuah bangunan megah yang tiap pagi selalu membunyikan terompet kencang. Nun jauh di sana... di sebelah timur laut... ada rumahnya. Sama megahnya, namun tak pernah bersuara. Agung dan sunyi dengan kearifannya.
Keduanya tahu... keduanya mengerti, bagaimana kedua kerajaan, bagaimana kondisi negerinya saat ini. Keduanya tahu dengan sangat pasti bahwa situasi politik dan kekuasaan sedang tidak bisa dianggap damai. Pancakalya ingin menjadikan Maharaya sebagai teritorialnya. Sayang... Maharaya tidak tertarik. Mereka tegap dan kokoh berdiri, tanpa sekutu ataupun tanpa pengaruh. Meski kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya sudah tunduk terhadap Pancakalya.
"Baik. Ayahanda masih memimpin dan menjalankan rencananya. Lalu milikmu?"
"Tidak ada yang berubah. Ayahandaku masih tetap berada di singgasana. Setiap hari selalu ada kegiatan, selalu ada pelajaran..."
"Sama. Dan Ayahanda masih ingin menguasai Maharaya."
"Apa yang kalian inginkan dari kerajaan bisu yang hanya berharap kedamaian?"
"Rasa persatuan."
"Kau tidak perlu jadi penguasa untuk merasakan itu, Adji."
"Lalu? Bagaimana bisa merasakan itu bila ada dua perbedaan yang masih sulit disatukan?"
Arya menepuk dada Adji sekilas. Persahabatan kedua pangeran kecil itu berbeda. Arya dengan kecerdasannya, dengan pola berpikirnya yang lebih dewasa terkadang memimpin obrolan. Dia menceritakan dengan gamblang bagaimana sistem keadilan dan kedamaian yang dia harapkan. Adji sebagai seorang pangeran yang lebih menguasai ilmu beladiri, berpedang, berkuda, dan keahlian medan perang lainnya lebih unggul dalam hal fisik.
Jelas, keduanya memiliki ukuran tubuh yang berbeda.
"Kau cukup merasakan dengan hatimu. Bersatu itu tentang hati. Tentang ketetapan yang tak bisa kau jelaskan dengan kata."
Adji terdiam. Lantas, Arya menepuk bahunya sekilas. Jemarinya menunjuk tempat di mana "rumahnya" berada.
"Di sana ada mimpi yang tidak bisa kau ceritakan, Adji."
"Mimpi siapa?"
"Mimpi kami."
"Kenapa kalian tidak ingin bergabung dengan kami?"
Arya menunjuk dadanya. "Di sini berbeda."
"Maksudnya?"
"Bagaimana bisa kau sebut kita bersatu bila hati kami masih ingin tegap berdiri dengan segala jenis harga diri kami sebagai kerajaan beradab, Adji?"
"Kami bisa membantu kalian."
"Kelak, ketika kita dewasa, kita akan sama-sama mengerti. Aku tidak ingin duduk di singgasana. Ada kakakkku, yang lebih berhak dengan tahta. Kau yang akan meneruskan kerajaanmu karena kau penerusnya."
"Bagaimana bila kakakmu merusak mimpi kalian itu?"
Arya tersenyum. "Aku akan memastikan kau duduk di singgasanamu, jadi aku bisa merayumu untuk membiarkan kami sendiri."
Adji terkekeh. Mereka memandang kejauhan. Persahabatan ini dimulai ketika Adji tersesat selepas berburu. Lalu dia sampai di tempat ini, ketika Arya sedang sibuk menangis. Arya mengatakan dia tidak bisa menghafal Kitab Laku. Kitab itu adalah dasar bagaimana berperilaku sebagai umat manusia. Semua keturunan raja wajib hafal dengan kitab itu.
Lalu Adji memulai pertanyaan. "Aku tersesat. Boleh aku duduk?"
Dan Arya hanya bungkam lalu menggeser pantatnya tanpa kata. Mereka terdiam, hingga akhirnya Adji menyadari siapa anak kecil yang sebaya dengannya ini. Ada tanda tertentu yang harus diukir pada punggung tangan keturunan raja. Tanda itu dibuat sejak kecil, yang akan membentuk simbol tertentu.
"Aku dari Pancakalya." Adji menjelaskan.
"Lalu?" Sesenggukan Arya masih terdengar.
"Kita bermusuhan."
"Tidak. Kerajaan kita yang berseteru. Aku bahkan tidak mengenalmu, jadi aku tidak ingin mencari masalah dengan orang yang bahkan tidak kukenal."
Adji terperanjat dengan jawabannya, namun dia tidak memiliki alasan yang sama untuk membenci. Perseteruan ini bukan urusannya. Lalu dia memulai obrolan, membicarakan banyak hal tentang Kitab Laku, atau tentang Kitab Beladiri yang sama-sama mereka pelajari.
Dan sampailah pertanyaan Adji Gatrakalya pada sesuatu yang sejak tadi mengganggunya.
"Kenapa kau menangis?"
Arya mengusap air matanya. "Aku lupa pelajaran kelima tentang Laku."
"Aku bahkan tidak tahu. Aku masih kitab tiga. Aku lebih pandai beladiri dan seni pedang."
"Aku bisa, namun tidak begitu menyukainya."
Arya Wiyatmaya bungkam. Adji Gatrakalya melihatnya sebagai sesuatu yang sangat menakjubkan.
"Di kerajaanmu..."
"Ya?"
"Apa anak perempuan boleh belajar beladiri?"
"Eh?"
"Apa mereka juga diperbolehkan keluar tanpa pengawasan emban?"
"Maksudmu?"
"Apa mereka tahu kau berada di sini tanpa siapa pun yang menemani?"
Arya Wiyatmaya kesal. Jadi selama ini pangeran dan Pancakalya menganggapnya seorang putri? Ah, mungkin karena dia menangis! Namun itu bukan alasan! Arya mendengus, lantas membuka pakaiannya.
"Aku lelaki, dan aku bisa mengajakmu bertarung kalau memang kau ingin melanjutkan perseteruan kerajaan kita hingga keturunan ini!"
Adji Gatrakalya tidak meladeni. Marah dan panas pun tidak. Dia hanya melongo, lalu tergelak kencang. Dia tidak bisa membencinya. Dia tidak bisa meladeninya untuk bertarung. Dia senang dengan anak ini! Dia ingin menjadi temannya. Ingin melihatnya lagi. Meskipun dia tahu akan jadi masalah bila mereka bertemu dikarenakan situasi dan kondisi politik yang sedang terjadi.
"Kau melamun dan tertawa sendiri lagi, Adji."
"Aku bernostalgia." Adji terkekeh geli.
Arya tersenyum lembut. "Aku ingin menghapus perseteruan ini."
"Lalu?"
"Dan menjadikan kedamaian bagi semuanya."
Adji menatap wajah sahabatnya. Arya balas menatapnya. Lalu keduanya terkekeh, tertawa setelah itu. Bagi mereka, tak ada hal luar biasa selain bertemu dan membicarakan tentang dunia. Adji menepuk punggung sahabatnya, lalu berbisik lirih.
"Kelak, akan kupertemukan mereka dalam meja makan yang sama!"
TBC
Ini setiap chapter akan pendek2. Update sesukanya. Dipaksa cepet malah akan jadi lelet. Aku moody parah sekarang. Mungkin karena udah lelah saja... Hahahaha...
Semoga kalian suka.
#gaachan
#orang_cerdas_tidak_berdusta
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top