💫8💫
Redanti kaget saat baru saja sampai di depan rumahnya, ia melihat sosok Abdi di depan pagarnya. Redanti turun dari mobilnya, mendekati Abdi yang mencoba menghalanginya masuk ke dalam rumahnya dengan cara tak bergerak tetap di tempat ia berdiri.
"Dari mana Mas tahu kalo ini rumahku? Ngapain juga malam-malam ke sini?"
Abdi diam tak bersuara, ia tatap wanita sangat ingin ia cium karena menahan marah sejak tadi membuat energinya terkuras habis, Neta yang ia marah-marahi malah tak tahu diri semakin melecehkannya dengan sebutan duda alay.
Redanti semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Abdi meski ia tahu tak akan sampai, laki-laki tinggi tegap di hadapannya membuat ia mendongak untuk menatap tepat ke manik mata Abdi, ia marah karena Abdi tak menghiraukan pertanyaannya.
"Mau apa ke sini malam-malam?" tanya Redanti lagi.
"Aku yang harusnya bertanya, apa pantas wanita baru sampai rumah jam segini?" sahut Abdi tak mau kalah.
"Nggak ada urusannya sama Mas, kita sudah cerai."
"Jadi urusanku sejak kita bertemu lagi, aku yakin Allah mengembalikan rusukku yang hampir saja hilang jadi dengarkan Ca apapun yang jadi urusanmu kini jadi urusanku."
Redanti semakin marah, ia mengingat lagi masa-masa sulit saat Abdi mengabaikannya.
Redanti semakin mendekatkan badannya pada Abdi. Ia tatap laki-laki yang masih sangat ia cintai tapi juga sangat ia benci.
"Kenapa sekarang Mas gigih ingin mendapatkan aku lagi? Mengapa tidak dulu Mas pertahankan aku? Mas tahu nggak aku menahan sakit karena orang yang aku cintai tak cukup berusaha mempertahankan aku hingga ... eeemmmmpphhh ..."
Abdi meraup bibir Redanti, ia dekap tubuh kecil di hadapannya, Redanti berusaha melepaskan diri dari dekapan Abdi tapi apalah arti kekuatan wanita. Saat Redanti tak lagi melawan, Abdi semakin menekan tengkuk wanita yang ia cintai dan memperdalam ciumannya.
Dari seberang jalan, Lanang menatap keduanya dengan tatapan nanar, ia segera menyusul Redanti saat makanan yang sejak awal ingin ibunya suguhkan tapi tak satupun disentuh Redanti hingga akhirnya makanan itu dijadikan satu dalam boks dan ternyata tertinggal, Lanang berniat mengantarkan makanan itu tapi malah yang ia dapatkan pemandangan yang menyesakkan dadanya.
Lanang mengembuskan napas dengan kuat, memejamkan matanya dan melanjutkan mengemudi meski ia tak tahu harus ke mana.
Saat Abdi kehabisan napas ia lepaskan ciumannya di bibir Redanti dan ...
PLAAAKK !!!
"Mas benar-benar ingin mempermainkan aku, Mas tahu jika aku masih mencintai Mas, pergi! PERGIII!" dan Redanti menangis menutup wajahnya dengan kedua tangannya namun Abdi kembali merengkuh Redanti ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku jika saat itu tidak cukup dewasa menyikapi segala kejadian yang ada di sekitarku, ijinkan aku memperbaiki semuanya, aku ingin menebus kesalahanku yang telah lalu."
"Pulanglah Mas, pulanglah, aku capek sejak Mas ada di sekitarku lagi, aku tak ingin kita ada hubungan apapun, pulanglah aku ingin istirahat."
Abdi melepas pelukannya, membiarkan Redanti membuka pagar lalu melajukan mobilnya masuk ke dalam rumahnya. Redanti tak memedulikan Abdi lagi, ia kunci pagar rumahnya dan segera berlalu dari hadapan Abdi.
Abdi mengelus pipinya yang masih terasa panas, tapi kemudian ia tersenyum sambil mengusap bibirnya, rasa manis bibir Redanti masih ia rasakan.
.
.
.
"Ibuuu." Tiba-tiba Silvi masuk ke ruangannya dan duduk di depannya, Silvi memajukan kursi
"Maaf saya nyelonong aja Ibu."
"Iya ada apa?" Redanti menatap sekretarisnya yang duduk di depannya.
"Gini ibu, kan kasus kita Alhamdulillah selesai tanpa harus ke pengadilan orangnya yang nyuri karya Ibu juga minta maaf, ingin selesai baik-baik, apa kita tidak mau ngucapin terima kasih sambil ngasi apa gitu ke Pak Abdi dan rekannya?" tanya Silvi. Redanti mengerutkan keningnya.
"Buat apa? Kan kita sudah bayar di awal saat kita deal pake jasa mereka?"
"Nggak Ibuuu, Pak Abdi nggak mau, awalnya kan beliau bilang bayar aja setelah kasus selesai, begitu selesai dengan jalan damai gini eh beliau malah gak mau, artinya kan karena Pak Abdi yang pinter melobi akhirnya kasus jadi nggak sampe bolak-balik ke pengadilan, dan gak enaknya jadi gratis gini."
Redanti menjadi resah, ia merasa tak enak akhirnya merasa berhutang budi pada Abdi.
"Kamu kok baru bilang sih Sil."
"Lah mana tahu saya kalo ujungnya kayak gini Ibu, kan saya pikir nanti bayar belakangan."
"Iya dah kasi ucapan terima kasih apa gitu ya?"
"Emmm ... maaf, kan Ibu mantan istri Pak Abdi pasti tau dong beliau sukanya apa, nanti biar Silvi yang cari."
"Nggak tau aku Sil, terserah kamu dah mau dikasi apa, akuuu ... Ah entahlah." Tiba-tiba Redanti teringat kembali bagaimana Abdi yang tiba-tiba menciumnya, seketika wajah Redanti memerah, mengingat betapa kurangajarnya Abdi yang memeluknya dengan erat.
Redanti menutup wajahnya yang memanas, ia tak ingin peristiwa semalam terus membayanginya.
"Ibu kenapa kok mendadak sekali wajahnya bersemu merah, aih aiiih awas Ibu jatuh cinta lagi ya sama mantan yang cakepnya nggak ketulungan itu, saya aja mau loh kalo misalnya Pak Abdi rada-rada ngelirik saya, masalahnya kan dia cuman maunya sama Ibu."
"Huuuusss ah kamu masih anak-anak tahu apa." Silvi tertawa melihat bosnya yang baik hati jadi semakin memerah wajahnya.
"Ih Ibuuu, saya sudah 25 tahun kok masih anak-anak, seusia saya mah bisa bikin anak ibu, sayang belum ada lawannya." Silvi tertawa melihat bosnya yang mengusirnya dengan menggerakkan tangannya ke arah pintu. Silvi bangkit dan sekali lagi memastikan.
"Bener ya ibu terserah saya ya, ok deh saya siapkan."
.
.
.
Neta pelan-pelan membuka pintu ruangan sepupunya, ia berjalan tanpa bersuara dan melongo menatap Abdi yang duduk di kursinya, menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata, tersenyum penuh arti. Sedang jari-jari tangan kanannya mengusap bibirnya berulang.
"HEH DUDA MESUM! Senyum-senyum sendiri kayak orang gila!"
Abdi terlonjak kaget dan melempari Neta dengan remote AC yang mendarat manis di tangan Neta.
"Keluar kamu! Ganggu aja, gak tau aku lagi seneng, mesum ... mesum, mesum kepalamu, ini beneran tahuuu bukan khayaaal heeeh nuduh sembarangan."
Abdi menatap kesal pada Neta yang malah mendekat dan menarik-narik tangannya.
"Halaah tenanan to, ko gek khayaaal, ngimpi ngambung mbak Re tibakne ngambung silit kebooo, iyo tooo (Alaaah beneraaan? Ntar cuman khayal, mimpi nyium Mbak Re ternyata nyium bokong kerbau, iya kaaa?)." Neta tertawa melihat wajah merah Abdi.
"Heh topeng monyet, cucak rowo, tanya kamu ya ke Caca, apa yang aku lakukan padanya saat dia nyerocos aja bicaranya dikira aku gak punya perasaan dia ngata-ngatain aku, mana aku capek nunggu di depan pagar dia, pikiran aku kacau gara-gara dia ada di rumah laki-laki sok ganteng itu, aku cium aja dia, awal sih ngelawan lama-lama diem juga, tapi pas aku lepas eh aku digampar."
"Wahahahah ... itu sih ciuman pedes-pedes bikin nagih." Neta masih saja terbahak.
"Trus gimana Mas?"
"Permisiiii." Suara Pak Sapri terdengar sambil membuka pelan pintu ruangan Abdi. Wajah Pak Sapri tak terlihat karena tertutup buket bunga besar.
"Waaah bunga dari siapa ini?" Pertanyaan Neta tak digubris oleh Abdi, ia segera meraih kartu yang ada di buket besar itu.
"Yihaaaaa dari Sayangku Neeeet, ini ucapan makasih karena kasusnya dah beres dan ngajak kita makan Net, ya Allah ini berkat ciuman pedas manisku, ya Allah terima kasih atas berkahMu."
💫💫💫
🤣🤣🤣🤣 Kasihan Abdi ya dia kira siapa yang ngirim ...
17 Oktober 2020 (16.25)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top