- Liberté -

Hari itu Liberté sedang merayakan sesuatu. Pembukaan fasilitas baru untuk mendukung penelitian. Bagi warga sipil, tayangan langsung upacara pembukaan tersiar di layar kaca rumah dan kantor masing-masing. Bagi orang-orang yang mendapat undangan, diharapkan hadir di acara.

Pada salah satu ruang bangunan fasilitas yang paling luas, terpajang rapi: meja-meja makanan kecil dan minuman, serta panggung dan podium. Hologram logo koloni mereka berputar dramatis di atas nama fasilitas, terpampang besar di belakang podium. Layar-layar lebar memastikan para undangan bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di panggung.

Seperti biasa, sebelum acara hiburan, beberapa pejabat yang berkepentingan bergantian memberikan sambutan. Alexander Cohen, Kanselir Liberté, termasuk di antaranya.

Kalimat sambutannya khas. Tak bertele-tele, menyertakan peringatan keras—bernada ancaman bahkan, tetapi bisa tetap terdengar simpatik. Tak lupa senyuman ramah yang sesekali disunggingkan.

Mungkin berkat karismanya, Kanselir itu tak pernah kekurangan dukungan dari masyarakat awam, walau kebijakan yang diusungnya seringkali dianggap terlalu menekan.

Setiap kemunculan pejabat hampir selalu diikuti dengan penjagaan ketat. Hari itu juga sekian ratus meter dari podium, terdapat penjaga di setiap sudutnya. Namun khusus untuk Kanselir Cohen, ada satu sosok yang sering menyertai.

Bukan. Bukan pemuda tampan, cerdas, nan cemerlang—putera angkatnya, Liam Cohen itu. Bila ada orang yang cukup iseng untuk memeriksa setiap video-hologram Beliau, di dekat Kanselir ada seorang sosok lagi.

Terkadang tampil dengan mengenakan pakaian Petugas Keamanan biasa. Tak jarang sekadar mengenakan setelan seperti seorang sekretaris. Sering juga keberadaannya tak langsung terlihat, tetapi orang akan bertemu dengannya di jarak tertentu dengan penampilan seperti staf acara biasa.

Namun bila ada yang bertemu dengan sosok itu dalam seragam formal Militer Liberté, terselip tanda kepangkatan setara Mayor di kerahnya. Bukan untuk memberinya wewenang memimpin pasukan, hanya sekadar mempermudah pergerakannya saja. Cukup asal menghindari kemungkinan lelaki itu dihentikan oleh yang pangkatnya lebih tinggi ketika sewaktu-waktu perlu mendekati Kanselir Cohen atau puteranya dalam sebuah acara.

"Tuan Muda Liam," sapa sosok tinggi-kurus yang hari itu mengenakan setelan yang layak dikenakan asisten pribadi para tamu VIP. Rambut hitamnya tersisir rapi tetapi membiarkan poninya agak jatuh untuk menyesuaikan dengan pakaian yang dikenakan.

Lelaki yang lebih jangkung dari yang menyapa, menoleh. Se kepala lebih tinggi dari kerumunan para penggemarnya saja sudah membuatnya sangat mencolok. Apalagi ditambah wajah tampan dan postur yang sepertinya bisa membuat setelan macam apapun terlihat anggun dan berkelas bila dia yang mengenakan.

Melihat siapa yang datang, lelaki itu mempermisikan diri. Yang mengerumuninya tampak kecewa tetapi segera memaklumi begitu terpapar senyum yang tak kalah bila dijajarkan dengan model sampul manapun itu. Mereka langsung memberi jalan supaya kaki jenjang berbalut celana pantalon berpotongan pas dan sepatu pantofel yang serasi itu bisa melintas tanpa terhalang.

"Dalam waktu ... 25 menit dari sekarang, kami akan kembali lebih dulu. Master menitipkan pertanyaan, apakah Anda akan ikut juga atau sudah ada rencana lain?" ucap sosok yang memanggilnya, segera setelah mereka tiba di sudut yang tidak terlalu banyak orang lalu-lalang.

Liam tak langsung menjawab. Sambil bersandar pada dinding, dia mengusap dagu seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Kai," ucap lelaki itu setelah bungkam selama beberapa saat. Sengaja tak langsung menyelesaikan kalimat.

"Siap, Tuan Muda Liam," jawab lawan bicaranya. Menatap lurus, menunggu perintah.

"Bagaimana dengan latihan senyummu, ada perkembangan?"

Mata biru gelap sosok yang dipanggil Kai itu mengerjap sekali sebelum kemudian memiringkan sedikit kepalanya dan menyunggingkan seulas senyum tipis.

"Bagus," gumam Liam, mengedarkan pandangan pada sekeliling untuk sekalian melihat bagaimana reaksi yang lain. "Sudah jauh lebih mending."

"Terimakasih, Young Master."

"Apakah efeknya sudah cukup kau rasakan?" tanya Liam, menoleh sejenak ke arah lain karena ada orang yang mengangguk sopan kepadanya sebagai ganti sapaan. Posisinya saat itu tak lebih dari penambal image ayahnya yang masih melajang di usia senja, karena itu dia wajib membalas setiap sapaan dengan keramahan dan sopan-santun yang cukup.

"Saya belum merasakan manfaatnya," ucap Kai. Melepas senyumnya, kembali ke ekspresi dasar semula. "Kebanyakan dari sasaran hanya terlihat kebingungan atau terlihat semakin ketakutan."

Liam tertawa kecil. Sebagai anak angkat, lelaki di usia pertengahan 20-an itu tak memiliki kemiripan dengan Kanselir Cohen. Hanya saja terkadang orang bisa menangkap saat tertentu di mana gerak-gerik Liam bagai cerminan dari ayah angkatnya. Seperti caranya tertawa yang diamati betul oleh Kai.

"Maksudku, saat kau harus interaksi dengan orang-orang lain," terang Liam. "Penjaga gerbang, kasir, staf kebersihan yang tak sengaja bertemu pandang, bahkan saat bicara dengan supir yang kau sewa. Satu senyuman saja cukup untuk membuat mereka bersikap berbeda padamu."

Mata biru gelap Kai bertemu dengan sepasang biru terang nyaris kelabu keperakan Liam. Ekspresinya tak banyak berubah tetapi Liam tahu, itu adalah saat di mana lelaki yang sudah lama bekerja pada ayah angkatnya itu sedang menyimpan kata-kata yang baru saja diucapkan dalam ingatan.

Dan sekalinya Kai ingat, tak akan pernah lupa lagi.

Sebagai sosok jenius yang kepandaiannya banyak dipuji oleh para peneliti papan atas Liberté, Liam sekalipun merasa sedikit iri pada daya ingat Kai. Sebagai gantinya ada sesuatu dari caranya memroses informasi yang tak biasa. Membuat Kai terkesan agak lambat saat berinteraksi dengan orang lain.

Kebijakan ayah angkatnya yang tak terlalu mementingkan citra alat-alatnya tak membantu.

"Agak disayangkan, padahal bahannya sudah bagus," gumam Liam dengan satu helaan napas.

"Maaf," ucap Kai. "Saya tak dengar yang barusan, bisa tolong diulang lagi, Young Master?"

Liam mengembangkan senyum khasnya. "Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya ingin kau coba lebih banyak tersenyum lagi saat kau menemukan hal yang menarik. Mungkin bisa membuat wajahmu tak terlalu kaku."

"Hal menarik ... ada. Saya temukan, satu."

"Oh, ya ... Apa itu?" Liam lebih muda 6 tahun dari Kai tetapi tak bisa tidak dia sering harus bersikap seperti orang dewasa yang menanggapi ocehan anak-anak.

"Saya bertemu seseorang."

Jawaban yang sama sekali tak diduga oleh Liam. "Teruskan ...."

"Anak yang dulu lolos ujian percobaan yang dirancang Master. Sesuai perkiraan, anak yang lolos ujian tipe itu masuk ke Akademi Militer."

"Oh?" Minat Liam semakin naik. Nyaris tak memedulikan sapaan seseorang cukup penting yang baru saja bertemu pandang dengannya. Untung masih sempat melambaikan tangan dan memberi gestur bahwa dirinya masih sibuk dengan 'asisten' suruhan Kanselir.

"Sampai mana karirnya?" tanya Liam lagi.

"Pangkat terakhirnya ...," Kai terdiam dengan pandangan kosong selama beberapa detik, kebiasaannya saat sedang mencari ingatan yang agak dalam atau perlu sedikit diolah sebelum diucapkan. "... Kapten."

Liam terhenyak. "Di mana kau bertemu dengannya?" tanya lelaki itu nyaris kehilangan wajah depannya karena terlalu bersemangat.

"Di ruang kendali sistem utama."

Jawaban Kai itu membuat Liam teringat pada misi terakhir yang diberikan pada lelaki di hadapannya sebelum ini. Ayah angkatnya memerintahkan Kai untuk mengopi dan menghancurkan data yang tersisa dari Fasilitas Bunga Cahaya.

Mereka membutuhkan data-data dari fasilitas itu untuk penelitian Liberté tetapi tak bisa membiarkan pihak lain memiliki data yang sama. Entah apa yang akan mereka lakukan apabila rahasia moyang mereka yang bermigrasi ke planet itu ratusan tahun yang lalu tersebar begitu saja. Bukan hal yang tak mungkin seandainya pecah perang antar Koloni untuk berebut data.

"Apa ... saya perlu membereskan dia juga?" tanya Kai karena Liam terlalu asyik dengan pikirannya sendiri.

"Tidak, jangan dulu," jawab Liam setelah memakan beberapa detik lagi untuk berpikir. "Akan kupikirkan bagaimana menggunakan desertir kita nanti, baru kita bahas dengan Ayah juga."

"Baik, Young Master." Lalu setelah melirik sesaat pada jam klasik di lengannya Kai melanjutkan, "Waktu yang Anda miliki, tinggal ... 15 menit lagi. Apakah Anda akan ikut atau tetap tinggal?"

Liam tertawa kecil lagi. "Ah, ya. Sampaikan pada Ayah, aku akan di sini dulu. Masih ada beberapa orang yang perlu kutemui."

"Siap, laksanakan."

Perlu berkali-kali menjelaskan bagi Liam untuk memastikan Kai tak lagi memberinya hormat seperti layaknya prajurit pada saat masih berpenampilan sipil. Karena itu dia tampak cukup puas ketika Kai hanya membungkuk sopan—agak terlalu sopan, sebelum pergi.

"Kai," panggil Kanselir ketika mereka baru saja tiba di ruangan kerja Alexander Cohen.

"Siap, Master," gumam lelaki yang sudah mengabdi padanya sejak masih sangat belia itu. Segera melangkah mendekati meja Kanselir, sesaat setelah menutup pintu ruangan kerja

"Bagaimana acara tadi?"

"Siap, lapor."

Kemudian dari mulutnya mengalir lancar penjelasan singkat apa saja yang terjadi di sekeliling Kanselir saat menyampaikan sambutan, reaksi para pengunjung yang hadir, serta ekspresi para pejabat dan staf lain. Semua itu memang bisa dilihat ulang melalui rekaman dan tayangan ulang, tetapi Kanselir ingin mendengar hasil pengamatan langsung orang yang dia didik sendiri.

Kanselir Cohen bersandar di lengan kursinya, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil mendengarkan laporan yang singkat dan padat itu. Apabila orang lain yang mendengar, mungkin akan kebingungan karena Kai hanya menyebutkan bagaimana mimik orang yang dimaksud pada bagian ucapan Kanselir yang mana.

"Menarik ... Tak kusangka ... Rupanya begitu ... Akhirnya ... Bagus ... Seperti yang kita harapkan," demikian komentar Kanselir di sela-sela laporan Kai.

Lelaki yang sudah melewati usia paruh baya itu tampak puas dengan senyum lebar tersungging.

"Apa ada yang perlu dicatat, Master?" tanya Kai, di akhir laporannya.

Dia sama sekali tak bicara tentang sekadar mencatat nama saja. Bahkan tangannya sama sekali tidak memegang alat tulis.

"Biarkan dulu," jawab Kanselir, melambaikan tangannya dengan ringan. "Aku masih ingin melihat keputusan yang mereka ambil setelah ini."

"Siap."

"Ah, tapi pantau pergerakan tiga nama terakhir. Segera laporkan bila mereka mencoba mengambil tindakan di luar kebiasaan atau apapun yang tak sejalan dengan visi Liberté."

"Siap, laksanakan." Kai mengentakkan tumit dan menarik telapak tangan dengan 5 jari lurus, rapat menuju pelipis. Sikap hormat sempurna yang layak menjadi contoh di buku panduan kadet akademi dan dia melakukannya dengan sangat alami.

Kanselir tak butuh sikap sempurna, hanya keteraturan dan kepatuhan mutlak saja yang diperlukan untuk membesarkan Liberté. Akan tetapi keteraturan dan kepatuhan seringkali tercermin dari sikap sempurna itu.

Ibaratnya bonsai, koloni dibentuk dan diatur sehingga mencapai visi yang diidealkan oleh Kanselir Cohen. Pucuk-pucuk yang sesuai dirawat dan dibesarkan hingga dedaunannya rimbun ke arah yang diinginkan dan bunga-bunga berkembang di tempat yang ditentukan. Sebaliknya juga berlaku. Cabang yang tak sesuai, dipotong. Dedaunan yang mengganggu dibuang.

Apapun itu. Siapapun itu. Demi kemajuan Liberté Kanselir tak akan segan.

Kalau ada yang perlu disesalkan mungkin usianya yang tak akan cukup untuk melihat hasil jerih-payahnya, betapapun dia berusaha menjaga kesehatan. Tidak dengan kondisi alam yang masih tak cukup ramah untuk hidup manusia. Bahkan dengan teknologi Liberté.

Liam anak angkatnya adalah jaminan yang berhasil dididik dan dibesarkan untuk meneruskan cita-citanya akan masa depan Liberté, tetapi Kanselir membutuhkan satu hal lagi. Kaki tangan dengan keahlian dan kepatuhan sempurna untuk memastikan keselamatan Liam saat usianya sudah tak memungkinkan lagi. Seorang alat yang sangat bisa diandalkan untuk membereskan hama-hama pengganggu ketentraman Liberté.

Di hadapan Kanselir, Kai masih terdiam dengan sikap hormatnya yang tak bercela. Sosok yang tak sengaja ditemukannya di antara anak-anak yang dibesarkan oleh laboratorium itu memberikan apa yang dibutuhkan oleh Kanselir.

Lelaki paruh baya itu mengangguk puas. Memberikan sinyal bagi Kai untuk menurunkan tangan.

"Kau boleh pergi," ucap Kanselir Cohen. Memberi perintah pada sosok yang begitu keluar dari ruangan akan memulai tugas barunya, mengawasi tiga nama yang dicurigai.

Chapter Bonus

Catatan Penulis

Dengan ini saya menyatakan karya DWC saya tahun ini resmi selesai. Mungkin dengan ini DWC berikutnya saya ga akan make Bebek lagi sebagai bahan cerita. Apa bakal menggunakan Kai atau ganti cerita yang beda sama sekali?

Entahlah ... tergantung mood saat itu.

Kanselir dan Liam di sini adalah karakter-karakter orisinil milik PhiliaFate yang dibuat sebagai antagonis utama di Proyek RP NPC edisi 2022, Terrawalker. Keberadaan Kanselir lumayan meneror para peserta bahkan saat yang bersangkutan masih belum muncul di hadapan karakter-karakter. Sedangkan Liam, fotonya saja sudah bikin heboh. Banyak yang ngefans, bahkan bagi member yang tak ikut. Karena face claim yang diambil memang sengaja dipilih yang tampan.

Ironis. Kanselir memang pemicu tragedi di Terrawalker, tetapi tujuannya 'hanya' Liberté yang lebih baik walau caranya sangat ekstrim. Sedangkan Liam, walau menginginkan Liberté yang lebih baik juga, caranya lebih kotor.

Gimana dengan Kai? Walau asli punya saya, dia sih sosok tambahan yang bahkan tak pernah disebut di Terrawalker sebelumnya (hahaha). Kai itu hasil obrolan dengan teman-teman peserta dan DM, bagaimana kalau Akio Kai (dari Universe Myrtlegrove Estate, proyek RP NPC edisi 2023) dilempar ke dunia Terrawalker.

Mumpung di spin off ini ada beberapa kesempatan, saya coba munculkan si Kai. Lumayan memberi lawan kuat (banget) yang tak bisa dikalahkan oleh si Bebek (seenggaknya belum).

Baik Bebek maupun Kai itu produk Liberté yang berhasil dididik hingga mampu menyerang dengan reflek, auto respon. Bedanya akar dari respon si Bebek dari survival insting, setelah dirinya selamat serangan akan dihentikan. Sedangkan akar dari respon Kai itu kepatuhan, apabila perintahnya menyelesaikan lawan, dia tak akan berhenti hingga lawan benar-benar selesai.

Yang seperti Bebek dan Kai ada banyak di Liberté. Mereka berdua cuma contoh dari beberapa kondisi yang berbeda aja.

Kalau begitu apakah di DWC berikutnya saya bakal menambahkan contoh lain lagi? 

Saya juga tidak tahu. Gimana nanti aja.

Sekian. Semoga bonus chapter ini bisa dinikmati pembaca.

Surabaya, 07 Maret 2024,

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top