24 - Hello, My Past Self


Sosok yang berdiri di ambang pintu itu ramping dan jangkung, tetapi warna dan ikal rambutnya bagai pinang dibelah dua dengan Alfred. Dengan tunik berpotongan rapi dan kacamata oval bertengger di atas hidung, penampilannya makin mengukuhkan identitas lelaki paruh baya itu sebagai seorang cendikiawan.

"Umm ... Maaf, saya dengar ada lelaki bernama Alfredo di sini?" dia bertanya. Gerak-geriknya sedikit canggung dengan postur yang sedikit membungkuk, mungkin akibat terlalu sering bekerja di belakang meja. "Saya Auguste Gusteau ... ayah kandungnya, kami janji bertemu di sini."

"Orang yang Anda cari masih keluar," jawab Ducky yang masih memegang gagang pintu. "Tapi memintaku untuk mempersilakan Anda duduk menunggu di dalam, selagi dia membeli camilan," dia segera menambahkan, karena lawan bicaranya sudah membalikkan badan. Nyaris meninggalkan ambang pintu.

"Oh ... Umm." Lelaki itu melirik ragu pada kursi-kursi yang tersedia di sekitar meja, kemudian pada Ducky yang masih berdiri dengan gestur mempersilakan masuk. Mungkin matanya sempat berhenti sejenak di holder berisi revolver yang terlihat jelas karena Ducky tidak mengenakan jaketnya.

"Saya Ducky, disewa Alfred untuk mengantarkan dia kemari dan mengawal sampai dengan penjemputnya dari koloni asal tiba." Ducky menjelaskan tanpa perlu ditanya.

"Oh, begitu." Auguste terdengar lega. "Baiklah, permisi ...." gumam lelaki itu, melangkah masuk dengan hati-hati lalu duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan pintu.

Ducky melihat tamu Alfred itu melirik gelisah ketika dirinya akan menutup pintu. Akhirnya dia memutuskan untuk membiarkan pintu terbuka lebar.

"Minum?" tawar Ducky.

"Saya tidak haus," jawab lelaki itu cepat. Nyaris tak menunggu Ducky selesai mengucapkan huruf M.

Kliennya belum kembali, sementara tamu yang ditunggu sudah datang. Ducky mempertimbangkan apakah dia perlu ikut duduk dan menemani ayahnya Alfred bicara atau tetap berdiri di posisi siaga, ketika Auguste mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya.

"Buku cetak?" gumamnya tanpa sadar.

Mata Auguste membulat mendengar gumaman Ducky.

"Kau tahu?" serunya riang. "Aku membawanya sebagai hadiah untuk Alfredo. Buku tentang hewan gurun ini salah satu koleksi yang bisa kubawa dari Liberté. Sebetulnya ada buku lain tentang teknologi abad lalu, sayangnya Penjaga Ketertiban menyitanya di imigrasi. Kuharap, buku itu dikembalikan ke rumah orangtuaku."

Perlu usaha keras bagi Ducky untuk tidak menunjukkan reaksi apapun pada penjelasan Auguste.

"Kudengar Alfredo sekarang berminat pada barang-barang dan artefak abad lalu, sungguh sangat disayangkan."

"Buku tentang hewan gurun lebih bermanfaat secara praktis."

Komentar Ducky itu membuat Auguste terlihat berkurang rasa kecewanya. Berkat itu juga, sikapnya menjadi lebih rileks terhadap Ducky. Dia bahkan memulai obrolan. Memang tidak secerewet putranya, tetapi jauh lebih baik daripada saling diam seperti saat baru pertama tiba.

"Aku tak cukup pandai untuk bergabung ke Departemen Riset seperti kedua orangtuaku, tetapi pekerjaan sebagai staf sipil memungkinkan untuk perjalanan ke koloni lain. Berkat itu juga aku bertemu dengan mantan istriku—waktu itu masih calon. Ibu kandungnya Alfredo ...Uhh, Tuan Ducky, Anda baik-baik saja?"

Ducky mengangguk tetapi melihat bagaimana Auguste terlihat khawatir sekaligus takut, pasti karena rasa iri dengki yang sedang membakar perasaannya. Membuat dirinya tak bisa mempertahankan ekspresi wajah netral.

Bekerja sebagai staf sipil dan berhasil mendapatkan istri, katanya. Ducky jadi bertanya-tanya kemungkinan dia juga bisa meminang Suster Tilia bila dia tetap di jalur sipil dan tidak mendaftar Akademi.

Tak perlu susah-payah mengumpulkan koin dari berburu dan bekerja serabutan untuk merasa layak bersanding dengan pujaan hati. Tak perlu berhadapan dengan monster-monster gurun. Tak harus berlatih untuk terbiasa menghabisi lawan, baik sekadar hewan, atau sesama manusia.

"Tuan Ducky?" tegur Auguste, panik. Entah bagaimana ekspresi Ducky saat itu karena lelaki ramping dan jangkung yang menjadi tamu kliennya sampai melompat mundur dari kursi. Memeluk erat-erat tas dan buku yang tadi diletakkan di atas meja.

"Maaf. Sepertinya saya sedikit kepanasan." Ducky bergumam setelah menarik napas panjang, menenangkan diri. "Saya permisi," dia menambahkan. Kemudian berlalu untuk mengambil segelas air minum untuk dirinya sendiri.

Namun Auguste yang sudah terlanjur ketakutan, tidak terlihat ingin kembali ke kursi. Malah Ducky bisa melihat lelaki itu sedikit demi sedikit bergerak menuju pintu.

"Heeei, aku sudah kembali! Ducky, kenapa pintunya dibiarkan terbuka?"

Suara riang Alfred yang baru datang sedikit mencairkan suasana.

"Alfred, orang ini adalah Auguste Gusteau. Beliau tadi memperkenalkan diri sebagai ayah kandungmu," jelas Ducky. Tangannya dengan sigap mengambil alih kantong berisi kue yang hampir dijatuhkan oleh kliennya ketika mendengar penjelasan itu.

Selanjutnya dia meninggalkan ayah dan anak itu berusaha saling berkomunikasi, walau canggung. Sementara Ducky memindahkan isi kantong ke piring yang sudah mereka pinjam dari kafetaria sebelumnya. Mengisi dua gelas bersih dengan air, kemudian menghidangkan itu semua di meja.

"Trims, Ducky," bisik Alfred tetapi terlihat dari sorot matanya, dia sebetulnya masih bingung dan berharap Ducky membantu. Sesuatu yang menurut Ducky tidak mungkin. Baru beberapa menit yang lalu dia nyaris membuat Auguste kabur dari situ.

"Aku tunggu di luar. Panggil saja kalau sudah selesai," ujar Ducky pada akhirnya. Memupuskan harapan lelaki itu.

Auguste sudah kembali duduk setelah beberapa kali gagal untuk mencoba memeluk anak kandungnya. Melirik takut-takut pada Ducky yang sedang melangkah menuju pintu.

Sebelum pintu ditutup, Ducky sempat melihat Auguste kembali mengeluarkan buku cetak tentang hewan gurun. Sepertinya Alfred bakal tetap senang diberi itu walau bukan berisi mengenai bidang yang digemarinya.

Bersandar di dinding kamar, Ducky mengembuskan napas panjang dan berat. Fisik Auguste memang mirip anaknya, tetapi soal yang lain lelaki ramping dan jangkung itu lebih memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Rasa dengki sempat mengaburkan penilaian Ducky, tetapi setelah tenang dia paham mengapa orangtua Alfred sampai berpisah.

Auguste di koloni tempat mereka menginap hanya sesekali dalam sebulan untuk urusan pekerjaan. Selebihnya dia akan kembali ke Liberté. Sudah berkali-kali keluar tetapi tetap kembali, bisa dikatakan Auguste termasuk contoh warga yang taat.

Seorang warga Liberté yang taat seperti Auguste tidak akan mau diajak pindah ke koloni lain. Sementara ibu Alfred sepertinya memilih tetap kembali ke koloni asal juga. Mereka pun memilih untuk bercerai walau pada saat itu ibunya sudah mengandung. Bisa jadi alasan Alfred tak pernah diberitahu tentang ayahnya karena ibu Alfred khawatir dia ingin ikut ke Liberté.

Ducky terkesiap. Menyadari sesuatu tak beres yang mungkin terjadi. Dia bergegas kembali membuka pintu kamar tempat mereka menginap. Menemukan Auguste sudah berdiri di dekat pintu.

"Alfred?" panggilnya khawatir, karena melihat sorot mata Auguste yang berbeda jauh dengan sebelum dia meninggalkan kamar.

"Ah, Tuan Ducky," ujar Auguste. "Saya permisi pulang dulu. Walau mengecewakan, sepertinya anak itu memang lebih baik tetap bersama ibunya saja."

Bukan nada kecewa yang didengar oleh Ducky dari Auguste. Dingin dan seperti mengucapkan sesuatu yang tabu atau menjijikkan. Sesuatu yang umum dirasakan dari warga Liberté terhadap orang-orang dari luar koloni itu, orang-orang yang berbeda prinsip dengan mereka. Dirinya pun dulu pernah seperti itu.

"Ducky," panggil Alfred. Terdengar jauh lebih lemah daripada biasanya dan terlihat lebih pucat dari biasanya juga.

"Kau baik-baik saja?" tanya Ducky karena kliennya itu terus menatap ngeri pada buku yang ditinggalkan oleh Auguste.

"Ayah ... Memintaku ikut ke Liberté. Menjadi warga di sana bersama dirinya. A-aku ... Aku masih ingin mencoba bekerja di tempat yang sama dengan Paman dan Ibu. Lalu tiba-tiba dia membanting buku yang dipegangnya ke meja. Lalu ... Lalu dia pergi setelah ...."

"Setelah mengucapkan kata-kata tak enak didengar tentang orang-orang yang bukan warga Liberté?" Ducky melengkapi kalimat Alfred, dengan sedikit penghalusan. "Mereka memang begitu. Fanatik. Lebih parah dari para Snob Berdaun. Kau tak usah ambil pusing dengan omongannya."

"Snob Berdaun?" ulang Alfred bingung.

"Orang-orang sok kaya yang memamerkan uang daunnya di kafetaria tempo hari."

Penjelasan Ducky itu membuat Alfred mendengkus lalu terpingkal-pingkal, nyaris sampai terguling dari kursi. Sambil menunggu Alfred reda dari tawanya, Ducky meraih buku yang ditinggalkan Auguste.

Dia membuka dengan cepat setiap halaman buku. Namun tetap hati-hati untuk tidak merusak kertasnya. Setiap sudut buku, mulai dari sampul ketika tertutup maupun terbuka, diketuk dan diraba untuk memeriksa kalau-kalau ada kejanggalan yang bisa ditemukan. Dia juga menggosok lalu mengendus-endus beberapa bagian.

"Ducky, kau sedang apa?" Alfredo yang baru saja berhasil berhenti dari tertawa bertanya ngeri ketika melihat Ducky mengangkat gelas berisi air yang sama sekali tidak disentuh oleh Auguste ke atas buku.

"Ducky, jangan!" serunya.

Namun terlambat, isi gelas tertuang dan membasahi permukaan buku. Alfred bermaksud menyelamatkan benda yang dianggapnya jauh lebih berharga dari sepundi koin perak itu tetapi kalah cepat dengan tangan Ducky yang merebut buku dari meja lalu mencabut sampulnya.

Sampul yang tercampakkan di lantai, mendesis dengan asap berwarna ungu mencurigakan.

"Buka jendela!" seru Ducky.

Ketakutan dengan apa yang dilihat, Alfredo melompat dari kursi dan bergegas membuka lebar-lebar jendela kamar penginapan. Sementara Ducky meraih garpu dari pantry untuk mengambil apa yang tersisa dari sampul buku di lantai, melemparkannya ke dalam tempat sampah yang tersedia di pojok kamar lalu berjalan ke pintu.

"Aku akan buang ini. Kunci kamar dan jangan biarkan siapapun selain aku masuk, termasuk ayahmu!"

Setelah Alfred mengangguk beberapa kali, Ducky bergegas pergi. Suara klik samar dari pintu kamar ketika dia menyusuri lorong sedikit mengurangi rasa cemasnya. Ketika dia kembali, pintu masih terkunci. Ducky perlu memanggil nama Alfred beberapa kali baru kliennya datang membukakan pintu.

"A-apakah ... Apakah Ayahku ...?"

"Tidak," jawab Ducky sebelum Alfred sempat mengucapkan kata yang paling membuatnya cemas. "Dia hanya ingin sedikit memberi hukuman kecil dengan meninggalkan luka ruam mungkin di tangan atau di wajah kalau kau sial, sebagai tanda bahwa kau tak layak menjadi warga Liberté."

"Ta-tapi ... Aku hanya ingin bersama Ibu dan Paman untuk sementara waktu. Mungkin ... Mungkin aku akan berubah pikiran setelah setahun?"

Ducky ingin menjawab, tetapi tak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Alfred bahwa ayah kandungnya mengutamakan identitas sebagai warga Liberté daripada status sebagai seorang suami atau ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Alfred bahwa dia memahami keputusan dan pola pikir Auguste dan pada suatu titik dalam hidupnya, pernah menyetujui pandangan tersebut.

Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan tentang dirinya yang dulu, ketika masih bersumpah setia kepada Liberté.


Catatan Penulis

Halo, semuanya! >w<)/

Jumpa lagi di catatan yang makin hari makin mirip curhatan penulis ini. Kita sudah sampai di hari ke-24 DWC. Pada admin sepertinya tidak pernah kehabisan cara untuk memecut peserta, ya?

Tema hari ini adalah: 

Buat cerita di mana tokoh utama hari ke-9 bertemu dengan tokoh utama hari ke-21.

Hmm bukan tema yang sulit, kan? Memang, kalau saja karakter utama di karya DWC saya ini bukan satu orang saja. Yang terbayang, cerita untuk chapter ini jadi sejenis perjalanan batin bertemu dengan diri sendiri begini 😭😭😭

Karakter kedua, di hari ke-9 adalah hantu kakek-kakek yang sudah moksa sedangkan karakter kedua di hari ke-21 adalah Alfred yang memang bareng sama Ducky sejak hari ke-21. Ceritanya ga adaaa. 

Akhirnya saya memutuskan untuk membuat Ducky bertemu dengan ayah Alfred yang sempat disebut di akhir cerita ke-21, yang menjadi alasan bagi Alfred untuk menyewa jasa Ducky. Tetapi pemikiran soal bertemu dengan diri sendiri masih terngiang ... Jadi saya dapat ide--pas banget waktu sedang curhat di chat grup soal tema, seperti yang biasa kami lakukan setiap kali gumun terhadap tema hari itu.

Bagaimana kalau ayahnya Alfred adalah sosok yang mungkin jadi masa depan Ducky bila dia dulu tetap memilih untuk ikut jalur yang sama dengan orangtuanya. Mungkin Ducky tidak akan desersi. Mungkin dia akan tetap setia pada sumpahnya ke Liberté. Mungkin dia tidak perlu bersusah-payah bertahan hidup di Direland dan memandang rendah ke semua yang tidak sejalan dengan pemahaman Liberté.

Lalu setengah terburu-buru karena saya sore ini ada acara keluarga, saya ngebut nulis ini.

Jadinya lebih panjang dari perkiraan tetapi saya harap cerita ini masih bisa dinikmati.


Surabaya, Juni 24 2023

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top