22 - Money Doesn't Grow on Trees
"Sungguh keterlaluan!" seru Alfred. Lelaki berambut ikal kemerahan itu mengempaskan tas selempangnya ke atas tempat tidur untuk melampiaskan rasa geram. "Apa mereka tidak tahu kalau daun itu benda organik berharga yang tidak hanya rapuh tetapi juga langka?"
Ducky memungut tas yang nyaris jatuh dan meletakkannya di nakas sisi tempat tidur Alfred. "Sebaiknya kau tebah dulu kasurmu. Debu dan pasir gurun tak nyaman untuk dibuat tidur," komentarnya sembari menata barang-barangnya sendiri.
"Kenapa kau tidak kesal, Ducky? Orang-orang sok elit itu sudah menggunakan daun yang demikian berharga sebagai uang!!!"
Mendengar pertanyaan bernada berang dan berapi-api itu, reaksi Ducky hanya memiringkan kepala dengan kedua tangan bersedekap.
"Kau tak peduli?!" seru Alfred hampir tak mempercayai penglihatannya.
"Memangnya ... mereka menggunakan daun atau tidak, bakal ada pengaruhnya untukku?"
Pintu kamar penginapan yang mereka sewa terbanting menutup. Ducky mengernyit sembari menggosok lubang telinga yang berdenging karena suara yang ditimbulkan oleh kemarahan Alfred itu.
"Dasar anak muda," gerutunya.
Daripada repot-repot mengejar Alfred yang sedang terbawa idealisme dan semangat darah muda yang masih meletup-letup, dia memilih menikmati fasilitas kamar mandi dalam yang disewa oleh Alfred. Memang tidak sederas shower di asramanya dulu, tetapi cukup untuk mengguyurkan air ke sekujur badan.
Setelah sekian lama, dia juga bisa bercukur di depan cermin yang berukuran cukup layak untuk memperlihatkan seluruh wajahnya.
"Ah, rambutku makin merah saja," komentarnya sambil mengambil sejumput poni yang mulai terlalu panjang hingga menutupi matanya. "Mungkin aku perlu cari jepit atau apalah untuk mengikat ini."
Bukan hanya warna rambutnya yang memudar karena cuaca terik gurun. Keluarganya memang memiliki garis keturunan berkulit agak gelap dibanding rekan-rekan akademi dulu, tetapi belum pernah dia mencapai tone segelap sekarang. Perbedaan kontras itu terlihat jelas ketika dia mengganti pakaian dalam.
"Uweeeh!" gumamnya ketika menyadari itu. Tak heran bila Agen mengira dia bukan orang lapangan.
Segar, bersih, dan berpakaian sedikit lebih santai—walau tetap menyandang pisau dan revolver di sarung masing-masing. Ducky turun ke ruang makan penginapan. Hanya untuk menemukan Alfred sedang membuat keributan di meja kafetaria. Lawannya adalah salah satu orang kaya yang membawa uang daun.
Ducky segera memutar tumit, bermaksud kembali ke kamar sebelum terlibat.
"Ducky! Katakan sesuatu!!!" panggil Alfred tiba-tiba, sebelum yang bersangkutan sempat meninggalkan area itu sepenuhnya.
Ah, pikir Ducky. Merasakan keinginan untuk kabur dari situ makin besar. Kondisinya sangat tidak bagus. Tubuh kecil dan kurus Alfred—cendikiawan yang kurang gizi karena enam bulan terperangkap di Rest Area, dikelilingi para pengikut si Snob yang bertubuh lebih besar.
"Kau bersama orang kampungan ini, huh?" salah seorang dari pengikut si Snob menghalangi jalan kaburnya.
"Kau juga sependapat bahwa uang daun kami tak ada harganya?"
Ducky mengernyit lalu melirik pada Alfred yang kelihatan gelagapan.
Sungguh sial. Di tengah perdebatan sengit, Alfred yang terlalu bersemangat salah memilih kata yang mudah disalahpahami, lalu membuat si Snob dan para pengikutnya tersinggung.
"Aku ... Aku hanya merasa, daun yang sudah susah payah ditumbuhkan di dunia yang kering dengan segenap kemampuan dan sumberdaya oleh para ilmuwan, jadi turun nilainya karena dijadikan sekadar pengganti uang."
Alfred bersikeras, dengan suara yang meliuk dan bergetar.
Klien Ducky itu tidak salah. Namun tidak bisa dibilang benar juga. Karena daun atau benda apapun tidak akan benar-benar berubah nilainya di hadapan keganasan gurun Direland. Daun hanya akan jadi daun, logam hanya akan jadi logam, batu hanya akan jadi batu. Karena itu juga di banyak tempat terpencil, barter barang lebih disukai daripada koin.
Sayangnya pendapat Ducky yang sengaja tidak dia kemukakan itu tak akan dipahami oleh orang-orang kaya dan warga sipil yang tak pernah harus bertahan hidup seorang diri di luar koloni.
Catatan Penulis
Halo, semuanya! >w<)/
Selamat datang di curhat saya (lagi) akibat kegalauan yang ditimbulkan oleh tema yang dipilih oleh admin pecut. Tema hari ke-22 ini adalah:
Buat cerita apabila daun bisa menggantikan uang untuk bertransaksi di dunia ini.
Pasti menyenangkan sekali, ya? Apalagi kita ini tinggal di negara tropis nan subur yang dedaunan bisa kita pungut atau petik dengan mudah di halaman. Yang jadi masalah, setting cerita saya adalah dunia Post-Apocalypse yang kebanyakan areanya berupa gurun dan tanaman yang banyak ditemui adalah kaktus.
Daun jadi uang? Langka betul! Biaya pembuatannya pasti mahal dan butuh penanganan khusus supaya bisa tumbuh. Jelas bukan hal yang bisa ditemui dengan mudah oleh rakjel, apalagi desertir macam Ducky. Bisa nemu kaktus aja udah bahagia itu si Bebek.
Berdasarkan itu akhirnya saya buat, uang dari daun di sini sebagai sesuatu yang mewah dan langka. Hanya orang-orang kaya dari koloni besar saja yang bisa menggunakan benda itu sebagai uang. Kalau di dunia kita saat ini, mungkin semacam membayar dengan uang pecahan khusus yang dibuat sebagai peringatan hari bersejarah.
Bayangkan, membayar dengan pecahan khusus seperti di atas, berarti pemiliknya memiliki banyak kepingan serupa di rumah. Mungkin juga sengaja dilakukan untuk pamer. Hal semacam itu yang tidak disukai oleh Alfred yang idelis dan berasal dari keluarga cendikiawan.
Ducky bukannya tidak memahami pemikiran Alfred, dia hanya tidak mau keluar tenaga percuma untuk hal-hal yang tidak akan memberinya bayaran atau makanan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top