21 - Father

"Ini ...?"

"ATV-mu."

"Aku tahu itu ... Trims!" Ducky menanggapi jawaban—yang tidak dibutuhkan, dari Nova dengan sedikit dongkol. "Tapi, kenapa ada komponen itu?" dia meneruskan sembari menunjuk pada sepasang pedal kayuh yang mencuat di dekat pangkal stang.

"Teknisi menambah fitur itu supaya kendaraanmu tetap bisa digunakan tanpa mesin. Hebat, bukan?" Lelaki berambut ikal kemerahan menjelaskan sembari menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menaikkan barang-barang Ducky ke atas ATV.

Beberapa kali tas-tas itu malah menggelinding kembali, karena dia tidak cukup tinggi untuk meletakkan dengan posisi yang stabil.

Nova, mengambil alih satu tas yang terlihat paling berat, lalu mengatur posisinya sedemikian rupa, sehingga lelaki yang lebih pendek darinya bisa meletakkan tas kedua.

"Dan ... aku harus membayar berapa?" tanya Ducky, penuh rasa curiga. Koin-koinnya yang sempat disita memang sudah kembali, tetapi siapa tahu mereka punya ide lain.

"Tak ada. Aku yang bayar, tapi kau harus bawa aku ke koloni berikutnya!" si Ikal Kemerahan itu menjawab dengan riang.

Ducky belum menjawab, tetapi ekspresi enggan terlihat sangat jelas di wajahnya hingga Nova, perempuan jangkung yang selama dia dikurung bertugas sebagai pengawasnya, turun tangan. Hanya butuh beberapa kalimat dan tepukan di bahu, Ducky pun menyetujui untuk mendapat seorang teman seperjalanan.

Ibu Kantin, Benita, Em, lalu Nova. Mengapa perempuan-perempuan dewasa selalu terlihat menakutkan di matanya, Ducky tak mengerti.

"Tapi kita mengayuh bergantian. Aku tak mau jadi pengganti mesin sekaligus bodyguard," Ducky mencoba menambah persyaratan.

Nova hampir menambah ancamannya, tetapi dihalangi oleh antusiasme kawannya yang sudah menaiki ATV dan mencoba mengayuh pedal. Lambat memang, tetapi setidaknya tunggangan mereka itu bisa berjalan beberapa meter tanpa masalah.

"Deal!" seru si Ikal Kemerahan di tengah napas terengah-engah karena harus mengayuh balik, sambil menawarkan salaman untuk mengukuhkan transaksi mereka.

Masih agak enggan, Ducky membalas salamnya juga. Dia sudah tak mau berada di tempat itu lebih lama lagi. Apalagi di bawah pelototan Nova.

"Aku Alfred, panggil saja Al." Si Ikal Kemerahan menambahkan dengan riang. Kontras dengan gumaman nyaris terdengar seperti gerutuan Ducky ketika menyebut namanya sendiri.

Mereka menambah beberapa perbekalan dan bawaan dari si Ikal Kemerahan. Nova ikut membantu menumpangkan satu tong berisi air. Cukup berat hingga membuat sambungan rangka ATV yang sudah aus berderit.

"Hei, Brrrooo!" pemilik toko sekaligus mekanik yang menambah fitur pedal pengayuh muncul dengan sebotol pelumas dan satu set obeng. "Nggak nyangka aku beneran bakal nambah bosehan sepeda ontel ke ATV-mu. Piye ... Apik, toh?"

Lagi-lagi kata yang tidak dimengerti oleh Ducky.

"Bagus?" ulang si mekanik.

Ducky mengangguk sebagai jawaban. Sepertinya itu sudah cukup untuk menimbulkan cengiran lebar di wajah mekanik itu. Memamerkan gigi-giginya yang menguning, sedikit hitam, dan ompong di beberapa tempat.

Melihat itu, Ducky merogoh tas dan menyerahkan segenggam batang kayu beraroma mint segar pada si Mekanik.

"Lho, buat apa, Brrro?" tanya Mekanik itu bingung. "Aku wis dibayar sama Mas iku."

"Anu ... Waktu itu aku sedang bingung dan panik," ujar Ducky, mengusap tengkuknya dengan rikuh. "Jadi kalau tiba-tiba dipaksa ...—maaf, sudah tidak sengaja membanting."

"Owalah!" Mekanik itu terkekeh. "Nggak apa-apaaa, Brrro. Aku jatuhnya di pasiiir, jadi nggak seberapa sakit. Cuma agak kaget. Malah kamu dipenjara tiga hari, gara-gara ada yang lapor." Kilahnya sembari menyodorkan kembali kayu wangi pada Ducky.

"Pedalnya terpasang bagus sekali. Aku ingin kau menerimanya." Ducky bersikukuh.

"Yo, wis ... Makasih, lho, Brrro!" si Mekanik akhirnya menyerah.

Mereka berdiri berpandang-pandangan dengan rikuh karena Ducky tak tahu cara berpisah di luar urusan pekerjaan, sementara si Mekanik terlalu sibuk mengagumi barang yang baru diterimanya. Nova tak terlalu peduli, lebih sibuk memastikan barang-barang Alfred terpasang rapi.

"Ayo kita berangkat!" Alfred memanggil dengan tak sabar dari atas ATV.

Ducky menggunakan kesempatan itu untuk bergegas meninggalkan kerumunan yang mulai ramai. Dari sudut matanya, dia melihat beberapa orang yang mengenakan perban memandang sinis sekaligus lega dengan kepergiannya.

Satu kayuhan pertama terasa sangat berat dengan semua barang dan beban dari dua orang lelaki dewasa—walau salah satu dari mereka lebih pendek dan kurus. Perlahan ATV mulai bergerak, tetapi betis dan paha Ducky masih merasa terlalu berat.

Tiba-tiba kayuhannya terasa ringan. Nova dan si Mekanik yang membantu mendorongkan ATV dari belakang. Dorongan yang hanya sekejap itu sangat membantu membuat kayuhan Ducky menjadi stabil.

Alfred masih sibuk melambaikan tangan hingga mereka sudah cukup jauh dari Rest Area.

"Sup dari dendeng bisa seenak ini?" Alfred berseru.

Ducky mengernyit heran pada reaksi lelaki berambut ikal kemerahan itu. Baginya lebih mustahil untuk membuat sup tidak enak dari daging asin yang sejak awal sudah enak dan penuh rasa.

"Potongan singkong ini jadi lebih lezat juga kalau direbus bersama sup," puji Alfred.

Melihat penampilan teman seperjalanannya, lebih masuk akal apabila Alfred yang mengaku sebagai juru tulis daripada dirinya. Setelah berminggu-minggu mengembara, Ducky mulai kehilangan kulit terang dan rambut cokelatnya. Tubuhnya mungkin tidak bisa sekekar perawat di klinik dokter Auer, tetapi otot-ototnya sudah terbentuk lagi.

Ducky menjadi penasaran, bagaimana orang seringkih itu bisa terdampar di tempat terpencil dan jauh dari koloni manapun. Sempat terjadi perdebatan dalam benaknya untuk bertanya atau terus menjalankan fungsi sebagai pengawal sekaligus kusir tanpa terlibat.

Namun ternyata dia tak perlu bertanya. Alfred dengan senang hati bercerita di sela-sela acara makan maupun di sepanjang perjalanan—apabila sedang tidak menemukan hal yang bisa dikomentari.

Menurut cerita Alfred, dia dari keluarga pelajar. Ducky tak menyangka mereka berdua punya kemiripan. Koloni asal Alfred tidak sebesar Liberté tetapi cukup berada dan lebih aman dari Rogue. Konon karena di bawah perlindungan koloni lain yang lebih besar.

Dia menggunakan masa jeda dari kelulusan pendidikan dan memulai kerjanya untuk bergabung dengan rombongan karavan. Namun ketika mencapai Rest Area, rombongan yang diikuti mengalami kerusakan pada salah satu kendaraan.

Bila dipaksakan memuat semua anggota rombongan di kendaraan yang tersisa dan meninggalkan barang-barang, tetap tidak cukup. Harus ada yang ditinggal. Di antara anggota rombongan, hanya dia yang belum terikat kontrak jadi rombongan memutuskan untuk meninggalkan dia di situ sampai dengan mereka bisa menjemputnya.

Setengah tahun berlalu, Alfred masih belum juga dijemput. Dia sudah berkali-kali menitipkan surat pada pengembara yang datang tetapi kabar yang diterima hanyalah bahwa rombongan itu terpencar sebelum mencapai tujuan utama sehingga nasib Alfred jadi tidak jelas.

"Aku benar-benar beruntung kau datang ke Rest Area, Ducky!" celetuk Alfred ketika mereka berkemah di gua karang dangkal. "Ibu dan sudah mengirim surat, katanya Paman akan menjemputku bila sebulan dari sekarang aku belum juga bisa keluar dari Rest Area."

"Kenapa tidak pulang saja?"

"Kau tidak mengerti!" tukas Alfred. Mendadak berang. "Aku sudah sejauh ini melakukan perjalanan, tidak mungkin pulang padahal tujuanku sudah dekat."

"Aku memang tidak mengerti. Kau belum cerita soal alasanmu melakukan perjalanan."

Mendengar pernyataan itu sempat membuat Alfred tertegun. Dia masih bungkam saat Ducky menghidangkan makan malam untuk mereka berdua. Bubur singkong dengan dendeng dan tumis kaktus.

Untuk beberapa lama, hanya terdengar suara lirih orang sedang bersantap dan kletak-kletik dari api unggun. Kecepatan makan mereka hampir sama. Alfred bahkan mengunyah lebih lambat dari Ducky.

Setelah terdiam cukup lama untuk menyelesaikan kunyahan, akhirnya Ducky mendengar dia berbicara. Suaranya lebih tenang dari yang Ducky kira ketika berkata, "Aku tak menyangka. Walau seharian tidak menanggapi sama sekali, Ducky ternyata mendengarkan semua ocehanku."

"Karena tak ada hal lain lagi yang bisa didengar." Ducky menanggapi dengan perhatian masih tertuju pada bara untuk merebus air.

"Di tahun terakhir pendidikan, aku diberitahu Paman bahwa ayahku tinggal di koloni tujuan kita," Alfred melanjutkan dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan oleh Ducky.

"Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah."

Catatan Penulis

Halo, semuanya! >w<)/

Kita sudah sampai di minggu ke tiga DWC. Untuk tema ke-21 ini saya merasa admin memberi kami yang paling susah sejauh ini. Yaitu:

Akhiri cerita kalian hari ini dengan kalimat "Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah."

Seketika saya buka-buka lagi hasil riset untuk cerita saya yang lain tentang pengaruh sikap orang tua pada psikologi anak. BANYAK. Terlalu banyak yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan satu kalimat itu saja. 

Si Bebek sendiri tidak terlalu akur dengan orang tuanya walau hubungan mereka tidak bisa dikatakan buruk--kedua orangtuanya tipe peneliti yang menggunakan logika dingin untuk menghadapi segala sesuatu. Dia memilih untuk masuk Akademi Militer, padahal orang tuanya sudah mengultimatum akan mencoret dari daftar KK. Maka dicoretlah dia dari KK. Dia pun menerima itu sebagai konsekuensi yang wajar.

Jadi kalimat itu tak cocok digunakan oleh si Bebek.

Saya pun ngebut berusaha menggunakan apa yang ada dalam ingatan untuk menulis tentang Alfred.

Dia tumbuh relatif baik terlepas dari tidak adanya ayah kandung, karena masih memiliki figur pengganti ayah, yaitu pamannya sendiri. Biarpun begitu, dia tetap penasaran dengan keberadaan ayahnya. Karena itu Alfred nekad melakukan perjalanan. Bahkan ngotot melanjutkan walau pamannya sudah pasti akan menjemput.

Hhh ... Capek sekali menulisnya. 


Surabaya, Juni 21 2023

Prakash.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top