06 - Confession
"Aku mencintainya."
Pernyataan jujur dan lugu itu mendapat sambutan gelak tawa dari lawan bicaranya. Pundak dokter berambut kelabu itu berguncang hebat. Ketika akhirnya reda, Ducky bisa melihat sedikit jejak air mata di antara kerut sudut mata Dokter Jonas Auer. Lelaki paruh baya itu tertawa sampai menangis.
Dokter Sial, padahal dia sendiri yang bertanya.
Malam kedua di gurun Direland. Karena terlalu mewaspadai kendaraan penguntit, progres perjalanan Ducky jadi agak terhambat. Rencana untuk memeriksa reruntuhan tempat kincir angin pun tak sempat terlaksana, pihak penguntit sudah keburu selesai berbenah dan mulai mendekat. Dia harus pergi.
Ducky mencoba rute agak memutar. Selain berharap para penguntitnya percaya tujuan perjalanan Ducky bukanlah bekas fasilitas penting yang ditunjuk Ronald, juga untuk menjauhi area yang terlalu terbuka.
Dia hanya seorang diri. Walau sangat hati-hati untuk tidak masuk jarak pandang, kendaraan penguntitnya terdengar lebih besar. Entah berapa orang muat di dalamnya.
Memiliki banyak jalan untuk bisa melarikan diri memang penting, tetapi dia juga harus mempersiapkan jika tak sempat menghindari penyergapan. Pada saat demikian, Ducky lebih suka bila ada penghalang yang cukup kokoh antara dirinya dengan para penyergap. Seperti saat mengobrol dengan Suster Tilia.
Berusaha untuk tak menatap langsung. Sibuk dengan tugas apapun yang diberikan sebagai ganti biaya hidup. Menghindari berada dalam satu ruangan yang sama dengan perempuan cantik yang sepertinya selalu menemukan cara untuk menggoda Ducky hingga mati kutu—walau ada kemungkinan Tilia tidak bermaksud demikian.
Tindak-tanduknya itu sepertinya jadi bahan hiburan bagi Dokter Auer. Berkali-kali Ducky melihat kedipan penuh arti dari balik kacamata dokter itu, setiap kali dia harus menghadapi situasi yang membuatnya harus berhadapan dengan Suster Tilia. Orang lain mungkin menganggap dokter itu berbaik hati, tetapi Ducky tahu Jonas Auer hanya ingin menonton hiburan—yaitu dirinya yang melakukan banyak kebodohan di hadapan Suster Tilia.
Peta yang diberikan oleh Ronald menunjukkan area yang digunakan Ducky sebagai tujuan palsu dulunya merupakan tempat banyak bangunan berkumpul. Struktur yang belum habis dimakan cuaca gurun menunjukkan beberapa bangunan terlalu besar dan kokoh untuk sekadar jadi pemukiman. Mungkin bekas pabrik atau pergudangan.
Sayang tidak banyak sisa fasilitas. Jangankan keran yang masih berfungsi, sumber air hanya tinggal genangan dangkal yang merembes dari dasar tanah. Mungkin bila digali dan dipasang dinding masih bisa menjadi sumur, tetapi tak ada waktu dan tenaga untuk itu.
Bercampur pasir dan tanah gurun, tetapi air tetap air. Ducky mengumpulkan sebisanya untuk disaring dan direbus. Lumayan menghemat persediaan. Air yang dikumpulkan tak terlalu banyak, asal cukup untuk membasahi tepung umbi yang jadi makan malam hari itu dan segelas kaldu.
Ducky mengunyah makan malamnya sembari mengawasi sekeliling. Melihat bekas-bekas penjarahan, mungkin baja dan logam dari mesin yang ada sudah menjadi diloak atau dilebur jadi sesuatu yang lain. Setidaknya dinding yang tebal cukup untuk melindungi dari angin gurun, Ducky hanya perlu menggunakan tenda sebagai atap.
Dia tak bisa melihat posisi penguntitnya, tetapi aroma asap dan api dari perapian lain yang terbawa angin memberitahu bahwa posisi mereka lebih dekat dari sebelumnya. Sepertinya mereka masih belum akan melakukan konfrontasi. Ducky pun menggunakan kesempatan itu untuk menulis sedikit di jurnal.
Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan. Menulis keseharian dan keluhannya membuat Ducky merasa lebih bisa menghadapi stress karena pekerjaan. Dengan lancar ditorehkan semua kata yang sudah diamankan dengan kode sandi modifikasinya sendiri. Hal yang dikembangkan untuk menghadapi orang-orang macam Dokter Auer.
"Aku memuji kebo- ... ehm, maksudku kejujuranmu," ucap Dokter Auer setelah puas menertawakan dirinya saat itu. "Tetapi apa gunanya kau katakan itu padaku, bukannya pada perempuan yang -ehm ... senyumnya secerah langit berbintang Direland, katamu?"
Ducky saat itu terperangah pada kalimat yang sepertinya sangat dia kenali. Kemudian sudut matanya menangkap sampul buku jurnalnya, tertumpuk buku-buku Dokter Auer yang lain. Seketika rona serupa cangkang kepiting gurun rebus mewarnai seluruh wajahnya, hingga ke ujung telinga.
"KENAPA KAU BISA BACA ITU???" serunya panik, seraya buru-buru menyambar jurnalnya. Dia yakin betul sudah menulis setiap kata dan kalimat dalam jurnal dengan sistem kode yang dipelajarinya di akademi. "Bagaimana dokter gadungan sepertimu bisa memecahkan kode yang kugunakan?!"
"Ah, anak muda yang tak tahu sopan-santun. Hanya kode simpel macam gitu, Tilia juga bisa membacanya," komentar Dokter Auer santai. Bahunya terangkat ringan.
"S-s-Su-Su-Suster Tilia juga membaca???" tanya Ducky panik, sambil memeluk erat-erat buku jurnal seolah benda itu bisa lompat sendiri dari tangannya. Warna wajahnya kali ini lebih ke ungu.
"Aku tak tertarik—itu yang diucapkan oleh Tilia ketika kulambai-lambaikan jurnalmu di harapannya."
Lutut Ducky lemas. Membuatnya harus menopang diri di tepi meja kerja Dokter Auer. Dia tak tahu, apakah karena lega Suster Tilia tak membaca kalimat-kalimat penuh pernyataan cintanya dalam jurnal, ataukah karena kecewa. Mungkin keduanya sekaligus.
Dokter Auer yang kembali terkekeh sama sekali tidak membuat kondisi jadi lebih baik. Dia ingin menggali lubang dan mengubur diri berikut jurnalnya di sana.
Atau mungkin terjun ke sarang monster gurun lebih baik? Setidaknya mereka cukup berbaik hati untuk membuatku dan setiap lembar halaman jurnal ini tercabik-cabik. Jadi isi hatiku selamanya aman, tercerna dengan baik, lalu lahir kembali sebagai pupuk tanah Direland.
Namun kalimat selanjutnya yang diucapkan Dokter Auer menarik Ducky kembali dari pemikiran kacau akibat kekalutannya.
"Kau masih muda jadi bisa mengentengkan masalah. Terlalu asyik dengan urusan lain, dengan alasan pekerjaan dan idealisme. Tak menyadari ketika sudah sangat terlambat lalu kau kehilangan kesempatan menyampaikan perasaanmu, untuk selamanya."
Ducky tak bisa melihat dengan sorot mata bagaimana Dokter Auer mengucapkan itu. Nada bicaranya jelas dan tenang. Akan tetapi melihatnya agak tertunduk—tak bisa tidak, membuat Ducky memikirkan pengalaman pedih macam apa yang dialami oleh lelaki paruh baya itu.
"Euh ...," gumamnya canggung. "Aku turut berdu- ...."
"Seharusnya aku lebih cepat melamar!" potong Dokter Auer sebelum Ducky sempat menyelesaikan kata-katanya. "Jadi gadisku tak perlu menikah dengan Gendut Bodoh yang hanya punya Warisan sebagai kelebihan—selain lemaknya ... Harusnya foto pernikahannya keren dan indah, bukan seperti angka sepuluh!!!" seru dokter itu lagi, menambahkan dengan kepalan menghantam meja kerja dan membuat setumpuk buku roboh.
"Huh?"
"... Huh?"
Suara tawa kembali meledak. Diikuti kekeh dan tarikan napas seperti orang asma. Kepalan tangan kembali dipukulkan ke meja, karena alasan yang berbeda.
Aku ingat saat itu meninggalkan ruangan dengan sangat dongkol. Si Tua sial itu membuatku mengira kekasihnya keburu meninggal atau semacamnya. Kembalikan rasa simpatiku!!!
Goresan pensilnya terhenti. Aroma api dan asap dari api unggun lain masih tercium, tetapi telinganya menangkap derak samar dari kerikil yang sudah disebarnya di sekeliling reruntuhan tempatnya berkemah.
Dengan tenang—berusaha untuk tak terlihat menyadari keberadaan siapapun yang mendekat, dia memasukkan kembali jurnal dan pensil ke dalam tas. Panci logam mungil diisi dengan sisa air lalu diletakkan di atas tungku dari pecahan puing. Pura-pura meregangkan badan, matanya memastikan posisi dirinya dan benda-benda yang ada di situ.
Hampir semua barang-barangnya yang lain masih ada di atas ATV yang jadi tempat menambatkan sebagian tali tendanya. Dia bisa kapan saja berlari ke atas kendaraan itu dan kabur secepat mungkin. Siapapun yang mendekat itu harus datang lewat sisi yang banyak rintangan karena terhalang ATV.
Ducky mengatur napas dan menajamkan pendengaran. Satu tangan meraih revolver, sekaligus melepas pengamannya. Sementara tangan yang lain memastikan posisi pisau.
Derak kerikil berubah menjadi desir pasir yang terinjak. Hanya satu orang yang mendekat. Mungkin rekannya menjaga jarak atau masih di lokasi kemah sendiri. Kemudian suara langkahnya berhenti.
Ducky beringsut mundur. Membuat punggungnya menempel ke dinding paling tebal. Hanya beberapa detik, tetapi terasa sangat lama. Kata-kata Dokter Auer kembali terngiang.
Dia menelan ludah. Bagaimana kalau lawannya jauh lebih tangguh. Bagaimana kalau keberuntungannya yang sejak awal tak terlalu bagus, sedang memburuk hingga tembok kokoh yang jadi andalannya menjadikan tubuh dan ATV sewaannya se gepeng kadal yang terlindas shuttle lintas Direland.
Langkah kaki yang sebelumnya terhenti kembali terdengar. Jauh lebih dekat dari perkiraannya. Siapapun itu, sudah berhasil menemukan rute yang terhindar dari perangkap suara.
Ducky tak mau kehilangan nyawa sebelum bertemu lagi dengan Tilia. Bila keadaan memburuk, dia akan lari. Persetan dengan nama baiknya sebagai orang bayaran.
Namun untuk saat ini dia hanya bisa bersiap untuk menarik picu revolver di tangannya bila orang yang datang menunjukkan sedikit saja tanda permusuhan.
Jauh dari Koloni tempat Ducky menerima kerjaannya sekarang. Seorang dokter dengan rambut kelabu menutup catatan rekam medis pasien terakhirnya hari itu. Mejanya berantakan tetapi setiap benda masih dikumpulkan berdasar fungsi.
Pensil di antara jemarinya tumpul. Ujung grafitnya nyaris menyentuh pangkal. Menghela napas, lelaki itu menarik salah satu laci meja, mengaduk-aduk, mencari lipat pisau mungil untuk meraut ujung pensil.
Tangannya berhenti ketika menyentuh pigura kecil berbingkai hitam. Perlahan dia meraih dan mengangkatnya supaya dapat melihat dengan jelas foto yang terlindungi oleh kaca pigura. Agak sulit karena Jonas Auer perlu mengatur juga posisi kacamata yang dikenakan.
Wajah tersenyum seorang perempuan yang terlihat anggun dalam balutan gaun pengantin. Salah satu sisinya terpotong tak wajar, terlihat sebagian lengan setelan seseorang. Walau sudah diatur sedemikian rupa, Jonas Auer tak juga bisa melihat dengan jelas wajah di foto.
Kedua matanya terlalu basah untuk bisa fokus.
Tema hari keenam:
Buatlah cerita dari trope romance berikut sesuai dengan bulan kelahiranmu.
FluffyAngst ✔️Love TriangleFriends to loversContract RelationshipOffice RomanceEx to LoversSecond ChoiceAmnesiaComedyDramaSoulmates
Catatan Penulis
Halo, semuanya~~ =_=)~
Selamat datang di karya hari keenam DWC edisi tahun 2024 ini. Hari ini juga Surabaya diguyur hujan deras beserta angin dan petir sejak sore.
Pertanyaan, tema apa yang paling bikin saya kesulitan--selain karena ga nyambung dengan jalan cerita chapter sebelumnya?
Iyak, benar. Romance.
Segala jenis romance adalah kelemahan sayaaa~~~ 😩😩😩
Masih mending kalau dikombinasikan dengan komedi atau action. Ini padanannya angst. Wadidaw. Saya terbiasa nulis yang suram-suram dan coretmenyiksacoret membuat banyak rintangan bagi karakter, tetapi kalau harus cicintaan. Hmmm. Entahlah. Ngetiknya geli-geli gimana gitu.
Mungkin karena saya ga berbakat menggombal.
Eniwei.
Walau berasa agak maksa, semoga karya kali ini juga bisa dinikmati pembaca.
Surabaya, 06 Februari 2024
Prakash.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top