04 - Apocalypse


Ducky adalah satu dari sekian banyak pelintas Direland yang hanya mengangkat bahu bila mendengar kata apocalypse. Bukan hal yang baru. Mereka sangat mengenal kata itu seperti halaman belakang tempat tinggal mereka sendiri.

Kata yang sudah didengungkan—sejak mereka memahami kalimat, oleh generasi sebelumnya. Peristiwa yang sudah terjadi beberapa dekade yang lalu. Entah akibat keserakahan leluhur mereka atau sekadar kesialan karena lahir setelah bencana berskala global terjadi, menyisakan daratan tandus dengan berbagai makhluk hasil mutasi yang bisa mengancam jiwa siapa saja yang mencoba melewati wilayah kekuasaan mereka.

Namun manusia memang makhluk yang bandel. Selalu menemukan cara untuk bertahan hidup bahkan dalam kondisi yang minim sumber daya. Lalu dengan cepat kembali berkembang-biak dan memperbanyak kaumnya. Dalam beberapa hal lebih parah dari kecoa.

Setidaknya para kecoa tak punya cukup kecerdasan untuk membangun peradaban yang menghasilkan generasi-generasi manja dan perajuk seperti bocah-bocah yang diasuh oleh para orang tua hasil produk Koloni besar—hampir—utopia yang hanya mementingkan gengsi terhadap sesamanya.

Begitu yang ditulis Ducky di jurnalnya setelah tiba di Koloni tujuan pertama.

Dia sudah berhasil menyewa kendaraan untuk perorangan—di depan mata para ibu-ibu berhidung tinggi yang berkali-kali meremehkan dirinya sepanjang perjalanan.

Puas sekali melihat wajah bengong campur tak terima dari Tante-Tante Pongah A itu.

Begitu dia menyebut ibu-ibu itu dalam jurnalnya, terlepas dari kenyataan bahwa usia perempuan itu tak begitu jauh berbeda darinya.

Ducky akan memulai perjalanannya esok, dini hari. Malam ini mereka—termasuk rombongan dari biro perjalanan juga, terpaksa menginap di koloni kecil itu. Penyebabnya adalah para bocah dan orangtua mereka membuat keributan yang berakhir perjalanan mereka tertunda.

Tak tahan bocah-bocah merengek dan tak sudi keluar dana lebih untuk sepotong dendeng, seorang ibu menyuruh suaminya yang tambun dan bergerak lambat untuk berburu kadal gurun. Suami tambun yang tak kuasa menolak, ditambah teman-teman yang mengompori, meraih parang—yang baru saja dibelinya dari Koloni asal sebelum memulai perjalanan.

Kalau Tante-Tante Pongah B tak tahu diri, maka si Gentong Air itu cari mati.

Mengira dia hanya sok-sokan saja dan tak akan berani benar-benar melakukannya, Ducky tetap santai mengamati dari kejauhan. Namun di luar dugaan lelaki tambun itu berhasil mengumpulkan keberaniannya, walau dengan lutut gemetar dan parang yang tak juga berhasil dicabut dari sarungnya—kunci pengamannya belum dibuka.

Ternyata si Gentong itu lebih bodoh dari yang kukira.

Tanpa mengindahkan larangan dari para pengawal rombongan dan ketua rombongan, lelaki itu melangkah keluar dari batas perimeter aman oasis. Panggilan peringatan dari ketua rombongan tak didengarnya—mungkin memang tidak terdengar. Kemudian, kekacauan pun terjadi.

Saat para pengawal rombongan sibuk menenangkan dan mencegah peserta lain yang kelihatan tersulut jiwa bersaingnya dan bermaksud menyusul. Di tengah riuhnya sorakan istri dan anak-anak lain, Ducky merasakan tanah yang mereka pijak bergoncang. Beberapa kali, secara beraturan.

Tak terlalu kencang. Hanya seperti benda berat jatuh ke tanah keras dengan kecepatan konstan dan irama lambat. Makin lama makin terasa.

Sorak-sorai berubah jadi jeritan panik, bersahut-sahutan, berusaha memperingatkan lelaki yang terlalu fokus pada parangnya—masih belum juga berhasil tercabut. Ketika getaran berhenti, sebentuk bayangan menutupi sosok lelaki tambun itu.

Gurun tempat oasis itu berada tak terlalu banyak gundukan pasir. Daratannya terdiri dari tanah tandus, keras, dan dikelilingi bongkahan karang—yang seharusnya cukup ideal untuk perlindungan dari monster-monster Direland. Kalau tidak ada yang memprovokasi mereka.

Setelah berdekade tarik-ulur wilayah kekuasaan dengan manusia, para monster itu sudah mengetahui bahwa percuma menyerang karavan kendaraan lintas gurun. Karena lapisan baja tebal yang sulit ditembus dari kendaraan dan para pengawal bersenjata yang mengitari. Berondongan timah panas para pengawal tak hanya bisa mematikan bagi mereka. Selamat pun hanya buang-buang energi.

Lain halnya dengan manusia yang nekad melangkah sendirian keluar perimeter perlindungan, dengan berjalan kaki. Setebal apapun sepatu bot dan mantel yang dikenakan para manusia itu, masih bisa dikupas dengan mudah untuk mendapatkan daging empuk dan penuh nutrisi di baliknya. Sungguh mangsa yang empuk.

Dengan meneguk liur, alligator gurun itu menatap calon mangsa dari karang tinggi tempatnya bertengger. Gemuk dan lambat. Bahkan ketika sebongkah batu berikut beberapa kerikil menggelinding hingga ke dekat kakinya, daging segar itu tak segera menyadari apa yang mendekat.

Suara klik samar tanda kunci sarung parang berhasil dibuka. Lelaki tambun itu akhirnya berhasil mencabut parang dari sarungnya. Dengan wajah penuh kemenangan dia berbalik menghadap keluarga dan teman-temannya, mengacungkan parang yang masih mengilap baru. Wajah panik dan khawatir mereka di luar dugaannya.

Seruan-seruan bersahutan mereka yang akhirnya berhasil dipahami, lebih di luar dugaan lagi.

"AWAS, BELAKANGMU!!!"

"Cepat kembali, Bodoh!"

"PAPAAA!!!"

"LARIII!"

"Oh, siapa saja ... Siapa saja, tolong tembak monster itu! Bunuh dia!!!"

Masalahnya, biro perjalanan memiliki kebijakan untuk tidak menghamburkan amunisi dan tenaga kerja mereka untuk peserta yang tidak mengikuti aturan. Apabila dalam ketentuan sudah tertulis dan sudah diumumkan untuk tidak keluar dari perimeter keamanan yang sudah ditentukan, maka pihak biro berhak untuk tidak memberikan pertolongan. Semua sudah tercantum dalam kontrak yang wajib ditandatangani peserta sebelum melakukan perjalanan bersama biro.

Dalam diam para pengawal biro membiarkan lelaki tambun itu terjatuh karena batu-batu yang ditepis oleh ekor tebal aligator gurun. Mengabaikan istri yang panik dan mengguncang-guncang bahu mereka, seraya menjerit dan meratapkan permohonan. Para orangtua hanya bisa terhenyak memandang horor yang terjadi.

Awalnya si Gentong itu menjerit-jerit, lalu diam. Entah karena pingsan atau karena sudah tewas. Bahkan orang-orang dari karavan lain pun tak bersuara. Tragis.

Suara basah daging yang dikoyak dan kering tulang yang dikerkah mengisi keheningan. Debam tubuh beberapa orang yang kehilangan kesadaran diikuti dengan semburan isi perut yang memaksa keluar dari orang yang lain, timbul sporadis. Rintih dan isak tertahan mengikuti kemudian.

Ducky bangkit dari tempatnya, menggunakan kekosongan antrean untuk mengisi botol airnya sendiri di pancuran mungil dekat mata air. Ketika kembali, peserta rombongan tak lagi menyebar seenaknya sendiri, duduk berkumpul dalam kelompok masing-masing. Beberapa tampak berpelukan dengan sisa ketakutan yang masih terasa.

Sorot mata Ketua Rombongan ketika kami bertemu pandang seperti menyesalkan sesuatu, tetapi dia juga Pelintas Direland berpengalaman. Dia juga tahu, kita tak bisa mengecualikan satu-dua orang saja. Mereka punya tanggungan peserta rombongan lain untuk sampai dengan selamat, setidaknya hingga koloni yang jadi tujuan pertama. Si Gentong itu sendiri yang membahayakan diri dengan melanggar aturan.

Satu hal yang pasti, sorot mata anak-anak manja dan perajuk dalam rombongan sudah berubah. Beberapa masih tampak belum pulih dari shock, sementara yang lain terbagi antara ketakutan dan kemarahan.

Oh, bukan. Bukan hanya kemarahan. Aku kenal arti pandangan mata itu, sorot mata kebencian. Entah pada apa. Atau pada siapa.

Yang Ducky ketahui dengan pasti, dunia indah di mata para anak-anak itu sudah tak ada lagi. Hancur bersama suara kerkah dan telanan terakhir Aligator Gurun.

Tema hari keempat:

Buatlah cerita dengan tema apocalypse

Catatan Penulis

Halo, semuanya! >w<)/

Selamat datang di karya hari keempat DWC, edisi 2024. Admin mulai mengeluarkan tema yang tidak ada di jalur keseharian yang damai. Jauh dari mundane.  Sempat ada kegemparan untuk teman-teman yang karyanya (berusaha untuk tetap) di jalur terang. Namun setelah dibicarakan, akhirnya dicapai kesimpulan bahwa apocalypse yang terjadi tak harus literal kehancuran dunia secara fisik.

Lalu apocalypse dalam cerita ini termasuk yang mana, fisik atau tak sekadar fisik?

Keduanya OwO.

Ehehe.

Semoga bisa dinikmati.


Surabaya, 04 Februari 2024,

Prakash.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top