02 - Picnic

Lobi penginapan hari itu agak ramai. Selain penyewa kamar beberapa pengunjung yang datang hanya untuk makan di kantin tampak bercengkerama sebelum melanjutkan pembicaraan di meja kantin.

"Bung! Hei, Bung! Ada titipan untukmu!" panggil resepsionis pada Ducky yang baru turun. Wajahnya jauh lebih cerah karena pagi itu tak ada suara biadab sirine yang memaksanya terbangun.

Sekantong koin—berbagai macam jenis, sudah ada di tangan. Walau sebal, Ronald memenuhi janji untuk memberinya setengah yang tersisa dari uang muka. Ducky mengamati kotak yang menjadi wadah kantong koin.

Sepintas tak berbeda dengan kotak biasa yang bisa ditemui di mana saja, tetapi bahannya memancing perhatiannya. Bukan plastik murahan, bukan pula logam, apalagi kayu yang sudah sangat langka itu. Sebaris pesan yang menyertainya tidak memberikan petunjuk bagaimana dia harus membuka kotak itu, hanya 3 set huruf. Seandainya tak ada notifikasi masuk ke gadget mungilnya, dia tak akan tahu bahwa 3 set huruf itu perlu dikombinasikan dengan baris serupa di layar untuk membuka kota.

Sungguh mutakhir.

"Ayah! Cepat ... Cepat!" panggil seorang anak, berlari menerobos beberapa orang di dekat pintu lobi.

"Hei!"

"Hati-hati, bocah!"

"Maaf ... Maafkan dia," ucap seorang lelaki berambut pirang. Membetulkan kacamata setelah menunduk berkali-kali pada orang-orang yang tak sengaja tersenggol anaknya.

Anak yang sama nyaris menabrak Ducky, tetapi laki-laki itu menghindar di saat terakhir. Tubuh mungil yang mengira laju larinya akan tertahan oleh kaki orang dewasa terdekat, oleng kemudian terjerembab di lantai lobi.

Sekali pandang, anak itu tampak tak terluka. Mungkin lututnya terbentur, tetapi tak ada merah apalagi memar. Namun, entah karena malu atau terkejut, anak itu mulai meraung. Menangis kencang.

Seketika saja banyak mata terpancing ke arah Ducky yang melenggang pergi. Tak peduli pada pandangan mata ayah si anak yang mengikuti arah kepergiannya dari balik kacamata, sembari membantunya yang masih menangis untuk bangkit dari lantai.

Malam itu Ducky memeriksa hasil belanjaan selama sesiangan. Sebuah ransel berkemah berikut isinya—menggantikan tenda lusuhnya yang sudah terlalu banyak tambalan. Ranselnya masih bisa memuat perlengkapan lain juga, tetapi Ducky memutuskan untuk membagi perlengkapan dan perbekalannya dengan tas lain. Sangat tidak lucu mati kelaparan di Direland karena kehilangan satu tas.

Dia pernah nyaris mengalami itu. Untungnya jarak ke pemukiman terdekat tak terlalu jauh.

"Hei, kau!" tegur seseorang tiba-tiba ketika Ducky sedang menanyakan tempat rekomendasi untuk menjual tenda tuanya pada resepsionis.

Laki-laki berkacamata tadi siang.

"Aku tidak tahu bagaimana hidup mercenary, tapi apa kau bisa seenaknya pergi begitu saja setelah membuat nangis seorang anak kecil?" hardiknya. Mencoba untuk terdengar tenang, tetapi menekankan pada kata: mercenary, seenaknya, dan anak kecil.

"Benar," jawab Ducky.

"... Maaf, gimana?"

"Kau tak tahu bagaimana hidup mercenary."

Butuh beberapa detik bagi lelaki berkacamata itu untuk memahami maksud Ducky. Dan dia tidak terlihat senang. Dengan wajah memerah oleh emosi, lelaki itu mulai mengomel bahkan mengancam akan mengusir Ducky dari penginapan karena tak layak orang barbar Direland tak tahu sopan-santun berbuat seenaknya di tempat orang-orang beradab. Makin jauh omelannya makin melebar jadi menyinggung soal penginapan yang tak layak jadi persinggahan liburan keluarga terhormat.

"Bung," keluh Ducky saat lawan bicaranya berhenti untuk menarik napas. "Aku juga tak tahu apa masalahmu. Tapi setidaknya aku mencoba untuk tidak merepotkan orang lain ketika melakukan sesuatu yang katamu barbar dan tak tahu aturan itu. Bukannya membiarkan keturunannya lari tak tentu arah dan menabrak kanan-kiri. Beruntung yang ditabrak hanya kaget, mengomel, atau menghindar—seperti yang kulakukan."

"A-apa yang kau maksud- ...."

"Bagaimana kalau anakmu itu menabrak orang temperamen yang reaksi pertamanya langsung menghajar?"

Wajah lelaki berkacamata itu seketika berubah menjadi pias. Menelan ludah, dia mencoba meneruskan argumen, "A-a-pakah itu ancaman? K-keluarga kami orang berpengaruh di Kol- ...." Suaranya bergetar.

"Bukaaan," potong Ducky, tangannya melambai tak sabar. "Anggap saja sebagai saran."

Hati-hati bila bertemu dengan mercenary ... Seperti yang kau katakan, kami ini hanya orang barbar yang berkeliaran di Direland."

Ducky tak tahu apakah maksudnya bisa tersampaikan dengan baik pada lelaki berkacamata yang sepertinya terlalu memanjakan anaknya itu. Dia juga tak terlalu peduli bila keluarga berpengaruh lelaki itu bermaksud mengancamnya, toh dia tinggal berusaha untuk tidak memasuki Koloni wilayah kekuasaan keluarganya. Saat itu bagi Ducky yang penting adalah memastikan perlengkapan dan perbekalannya cukup memadai untuk bisa mencapai tujuan dan pulang kembali dengan selamat.

"HABIS?" serunya, membuat beberapa pasang mata terpancing ke arah lelaki yang memegang erat-erat tepian papan pengumuman dari biro perjalanan koloni itu.

Ducky bermaksud menyewa kendaraan secara perorangan, tetapi yang tersisa hanya paket kolektif dengan iring-iringan 2 kendaraan penumpang dan 3 kargo. Tidak jelek, karena paket tipe itu dilengkapi dengan pengawalan. Hanya saja mereka harus mampir di koloni-koloni kecil yang tidak bisa diubah rutenya, makan waktu lebih lama.

"Apabila Anda masih ingin menyewa kendaraan solo, bisa kami pesankan ke cabang biro di koloni tujuan pertama," jelas ibu-ibu kasir yang terlihat judes itu. "Tetapi Anda tetap harus membayar untuk biaya perjalanan hingga koloni tersebut."

Tak ada pilihan lain, Ducky terpaksa menerima tawaran itu. Ibu-ibu kasir yang sama sudah memberi informasi bahwa kendaraan yang bisa disewa perorangan baru available lagi paling cepat seminggu. Terlalu lama.

Pada jam keberangkatan, Ducky harus memilih di antara barang bawaannya mana yang akan dimasukkan kendaraan kargo. Setelah memilah ulang, akhirnya ransel berkemah yang masuk kargo. Tas selempang yang hanya bisa membawa benda-benda kecil saja yang dikenakan untuk naik ke kendaraan penumpang.

Begitu naik, lelaki itu melengos panjang. Tak hanya seorang. Di atas kendaraan, beberapa orang anak kecil dengan berbagai rentang usia tampak ribut satu sama lain, sementara para orang tua berusaha menenangkan mereka dengan berbagai tingkat intensitas. Sepertinya dia terjebak di jadwal liburan sekolah koloni-koloni besar.

Bertahanlah, untuk 6 jam ke depan, diriku! Tulis Ducky di jurnalnya.


(Bersambung ke perjalanan berikutnya)

Tema Hari Kedua:

Buatlah cerita dengan tema, "Liburan bersama keluarga."

Catatan Penulis

Halo, semuanya! >w<)/

Kita sampai di hari kedua. Yay! Selamat!

Tema yang kami dapat masih baik hati dan sopan--KALAU CErITA SAYA TIDAK BERSAMBUNG. Ducky udah pisah sama ortunya sejak masuk akademi militer, sementara calon keluarga (angkat) nya baru akan ditemui nantiii banget di arc Terrawalker (bagi yang ingin baca, bisa cek cerita saya yang berjudul: KABUR).

Yah, untungnya masih nyambung sih. Disambung-sambungin (haha). Keluarga, cek. Liburan (?), cek. Plot lanjutan cerita Ducky, cek. Aman, lah. 

Mungkin.

Tidak bisa tidak. Saya mulai gelisah mengenai tema-tema yang akan datang. Ini juga masih belum tahu apakah bakal ketemu Ven di petualangan Ducky kali ini (keringat dingin).

Eniwei. Kali ini saya menulisnya tak sampai 1000 kata, karena salah lihat jadwal.
<<< Orang yang ngira sore ini ada janji dengan teman, tetapi ternyata jadwalnya masih besok.

Semoga bisa dinikmati.


Surabaya, 02 Februari 2024.

Prakash.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top