9
"Tanggung jawab. Aku bisa memberikan apa pun kepadamu selama itu bukan ikatan dan cinta."
Joohyun mendengus-dengus berat, lalu menjerit keras sampai telinga Joonmyun pengang. Perempuan itu benar-benar putus asa sampai tabirnya terangkat; Joonmyun berjuang untuk tidak iba. Namun, yang lebih tidak disangka-sangka adalah majunya Sunyoung. Meskipun sama mungil, gadis itu memegang mantap bahu Joohyun, terlihat lebih berkuasa dalam ketenangannya.
"Bae Joohyun-ssi, kau dengar keputusan Joonmyun-oppa. Mundurlah."
"Jalang!" Joohyun mendorong Sunyoung, tetapi Joonmyun menangkapnya dengan sigap. "Perempuan macam apa kau yang tidak bisa memahami penderitaan perempuan lain? Iblis! Tunggu saja, kau akan dicampakkannya sepertiku!"
"Tidak," sanggah Sunyoung tegas, mencengangkan. Rupanya, si 'adik perempuan' sedang mengokohkan posisi sebagai tunangan Joonmyun. "Ikatan kami asalnya suci, tidak akan serapuh ikatan yang kaubuat. Kau mengenal Oppa lebih lama dibanding aku, mestinya tahu ia tak semudah itu mengingkari janji."
Sekali lagi, Joonmyun dikejutkan oleh Sunyoung yang menggerakkan tangan ke belakang tanpa menoleh. Tangan yang lembap itu bertemu dengan tangan Joonmyun, maka si pria mengunci genggaman dan tidak melepaskannya lagi.
"Oppa berjanji akan menyayangiku," sambung Sunyoung. "Apa dia berjanji padamu?"
Tidak, dalam hati Joonmyun menjawab. Betapapun banyaknya ia mengeluh pada Joohyun, betapapun ia terjerat oleh pesona Joohyun dalam keremangan kamar hotel, ia bersyukur tidak pernah menjanjikan apa-apa. Joohyun boleh mengatakan sebaliknya, tetapi kebohongan cuma akan menyakiti pengucapnya.
"Dia mencintaiku!" kata Joohyun. Kalau itu, memang Joonmyun mengatakan, tetapi pada usia ini, Joohyun mestinya tahu sebuah 'cinta' bisa kedaluarsa dalam kurang dari 24 jam.
Ya, aku yang waktu itu hanya menuruti impuls sementara. Cintaku cuma seorang dan itu tidak boleh Joohyun.
Joonmyun menggemakan ini dalam kepalanya selagi menaikkan lengan, melingkari tubuh Sunyoung dalam sebuah dekapan. Sunyoung menyambut baik itu, menyandarkan punggungnya ke dada Joonmyun dan mengusap mesra lengannya.
"Maaf, Joohyun."
"Joon—" Joohyun tidak mampu melanjutkan pekikan frustrasinya berhubung suaranya menjadi sumbang. "Aku akan mengungkap ini, Sajangnim. Begitu kembali ke Korea, reputasimu akan hancur!"
Andai saja Joohyun tahu sesering apa Joonmyun diancam lawan bisnis. Dengan gerak cepat Minseok dan tim, ancaman defamasi bisa ditangkal secepat munculnya. Joonmyun hanya menatap Joohyun lurus-lurus, menunggu-nunggu susulan dari ancaman ini, tetapi tak ada. Joohyun beranjak sambil mengentakkan kaki seperti anak kecil yang tidak dituruti maunya.
Begitu Joohyun menghilang dari pandangan, Sunyoung berbalik menghadap Joonmyun. Pria itu sudah mengantisipasi tindakan gadisnya begitu tangan Sunyoung terangkat, tetapi berbeda dengan saat menghadapi Joohyun, Joonmyun tidak menghindar. Demikianlah cap tangan Sunyoung membekas di pipinya, merah membara, disusul ledakan tangis—dan pelukan ketakutannya.
"Oppa milikku!" teriak Sunyoung yang teredam pakaian Joonmyun. "Bukan punya orang lain! Joonmyun-oppa adalah milikku!"
Joonmyun mengangguk. "Kim Joonmyun hanya milik Park Sunyoung," ulangnya.
"Ya, kau tidak boleh jadi milik orang lain," Sunyoung mendongak; wajah yang tadi menunjukkan ketangguhan kini dileburkan air mata, "karena Jongdae-oppa sudah tidak lagi di sisiku ...."
Jemari Joonmyun mengeringkan wajah tunangannya perlahan-lahan dan Sunyoung terbenam dalam sentuhannya. Jongdae sudah tidak ada, kata Sunyoung, maka kalau bukan Joonmyun, siapa yang akan menghapus air mata ini? Sialnya, tangan yang mengeringkan air mata Sunyoung adalah tangan yang sudah melukainya pula.
"Aku telah berdosa kepadamu."
"Maka tebuslah," Sunyoung merengut, "tebuslah dengan seluruh hidupmu."
Berjinjit di atas sandal tipisnya, Sunyoung berusaha menggapai bibir pria di hadapannya. Seketika, Joonmyun menyongsong bibir si gadis yang mengasin, bukan karena tak ada pilihan, melainkan komitmen. Janji yang sesungguhnya tak akan patah walau saksinya hanya jejeran pohon palem.
"Sebuah pulau di tengah danau yang berada di tengah pulau lain. Kau tahu, aku sudah berharap banyak untuk tujuan ini, tetapi kita malah ke biara kuno?"
Minseok mendengus geli mendengar cerocosan istrinya yang tampak kurang nyaman menyusuri lorong-lorong bata. "Ini tidak semistis bayanganmu. Lagi pula, bukannya kau sering pemotretan di tempat begini?"
"Ya, dan aku tidak menyukai setiap detiknya." Heeyoon yang menapaki tangga melingkarkan lengannya kepada sang suami. Matanya mengawasi tiap-tiap gambar di kaca jendela yang ia lewati. "Oh, lihatlah, Minseok. Aku merasa kaca-kaca berwarna itu akan jadi orang sungguhan."
"Aku tidak tahu kau ini manis atau bodoh." Minseok! desis Heeyoon sambil mendelik. "Bercanda. Ayolah, Heeyoon, itu cuma cara orang-orang mengabadikan Lady of the Lake."
Menurut salah satu situs tur Dubrovnik, Pulau Mljet merupakan atraksi turis yang paling syahdu, paling hening kedua setelah Lokrum. Hutan-hutan di pulau ini cuma dimodifikasi sedikit saja agar memungkinkan turis menjelajahinya. Bukan cuma vegetasinya yang terdiri dari pinus dan oak, di sana-sini terdapat puing-puing biara tua, sisa-sisa Orde Benediktin di Eropa. Mljet punya tebing yang memungkinkan seseorang melihat ke seluruh penjuru pulau yang hijau. Selain itu, Mljet memiliki sebuah danau yang mengepung lagi sebuah pulau kecil, Pulau St. Mary, yang dinamai sesuai satu-satunya lanskap turisme di sana.
Biara St. Mary, yang sekarang dikunjungi rombongan Minseok, hampir selebar pulau tempatnya berdiri. Bangunannya bergaya abad pertengahan, masih otentik walau sudah dipugar berulang kali. Satu dari hal-hal menarik menurut Minseok dari biara ini adalah kisah Lady of the Lake yang terpatri pada stained glass, tetapi dasar Heeyoon, ia tidak suka segala bentuk seni yang menyerupai orang, apalagi di biara tua.
"Tahu begitu, kita biarkan saja Joonmyun, Sunyoung, dan Jongdae kemari. 'Kesyahduan' gereja cuma cocok buat yang mau menikah." Heeyoon menggerutu pelan, matanya tertuju pada tiga orang yang lebih dulu menuruni tangga batu dalam biara. Untung jarak mereka dengan Minseok dan Heeyoon agak jauh sebab Heeyoon baru sadar telah salah bicara. "M-Maksudku, tempat ini cuma cocok untuk Joonmyun dan Sunyoung. Kita bisa bersantai-santai berdua di tebingnya Mljet saja."
Tepat, saat itu Heeyoon dan Minseok keluar ke balkon biara. Minseok yang kaget sampai berhenti di ambang. Heeyoon berbalik dan mengangkat alisnya, bertanya tanpa suara.
"Katakan lagi," ucap Minseok.
"Apanya?"
"Kau ingin kita berduaan di Mljet?"
Pipi Heeyoon merah padam, tetapi senyumnya perlahan mengembang dan ia mendenguskan sepatah tawa. Kembali ia berdiri menghadap balkon. "Kau cuma mau mengerjaiku."
"Mm, senangnya lihat kalian berbaikan," goda Jongdae yang ternyata mendengar percakapan suami-istri itu. "Berlayar saja kembali ke Mljet dan berpisah dari rombongan, seperti—ehem—pasangan yang kemarin."
"Apa, sih, Oppa?" bisik Sunyoung, mengerti bahwa 'pasangan yang kemarin' adalah dirinya dan Joonmyun. Gadis itu bersembunyi ke balik punggung Joonmyun yang—seakan otomatis—membelai rambut gadis itu.
"Jangan seperti itu, Jongdae."
"Maaf, maaf," kekeh Jongdae, lalu meminta dua orang di seberang berpose untuk difoto. Minseok mengamati mereka dengan perasaan campur aduk. Masih sulit baginya mengenyahkan bayangan Jongdae yang sakit hati menyaksikan pasangan yang dipotretnya, tetapi tak ada jalan keluar. Jongdae mesti menemukan kebahagiaan lain walaupun itu bisa jadi Joohyun, seseorang yang auranya kurang menyenangkan Minseok.
Berhenti berpikir!
Saat benaknya berteriak, tangan kanan Minseok justru bergerak lambat, meraih tangan kiri Heeyoon yang baru saja menumpu ke tepian balkon. Tangan itu agak dingin, mungkin sisa-sisa ketakutannya ketika menyusuri lorong berkaca warna tadi. Si empunya tangan terkejut, nyaris menarik tangannya, tetapi Minseok menahan.
Heeyoon mengerjap-ngerjap. Anak matanya sesekali terarah sembarang, tetapi tidak pernah sepenuhnya berpaling dari Minseok. Tangan perempuan itu pun menghangat dalam genggaman suaminya.
"Mengapa?" sembur Heeyoon. "Kau melihat kotoran hidungku atau apa?"
Dasar, Minseok mendengus geli. Setiap kali ingin berkasih-kasihan, Heeyoon selalu mengacaukan suasana begini, entah dengan amarah atau celetukan konyolnya.
"Bukan itu, Heeyoon."
"Terus?"
"Aku ... hanya gembira saat melihatmu?" jawab Minseok ragu. Ia sebenarnya menatap Heeyoon bukan semata karena gembira, melainkan juga karena ingin mencari ketenangan. Siapa sangka, jawaban tulusnya malah dibalas Heeyoon dengan pukulan di lengan atas? Minseok kuat, tetapi kalau dipukul tanpa persiapan tentu akan oleng juga. Pria itu cepat-cepat berpegang ke tepian balkon; lengan atasnya berdenyut-denyut.
"Astaga, Minseok, kau tidak apa-apa?! Aku tidak sengaja—kukira tenaga segitu saja tak akan bikin kau limbung!"
Minseok meringis, antara masih geli dan senang diperhatikan. Heeyoon jarang terlihat cemas betulan; lihat saja bagaimana Joonmyun, Sunyoung, dan Jongdae menghampiri keduanya. Siapa yang memancing mereka kalau bukan Heeyoon?
"Aku tidak apa-apa. Istriku cuma agak ganas belakangan."
"Oh, jangan bertengkar lagi." Jongdae mengerang sok kecewa. Ia cepat menghindar begitu Heeyoon hendak menyentil. "Nih, biar tidak bertengkar, kufoto saja kalian. Mepet sedikit agar lautnya kelihatan."
"Mendadak sekali," gerutu Heeyoon, tetapi tetap merapikan rambutnya dan mendekatkan tubuhnya pada Minseok. Ketika wanita itu mendekat, lengan Minseok begitu saja melingkari pinggangnya, seolah-olah memang di sana tempatnya. Heeyoon terkesiap walau dapat menyamarkannya dengan baik waktu berpose. Peragawati memang beda di depan kamera.
Begitu Joonmyun, Sunyoung, dan Jongdae kembali sibuk sendiri, Heeyoon langsung memelototi Minseok. Dicubitnya perut pria itu, lupa kalau perut Minseok bukannya bergelambir malah mirip papan cucian yang keras. Jempol dan telunjuk Heeyoon akhirnya cuma berhasil mencubit pakaian lakinya.
"Kau sudah sinting, ya, Minseok? Apa ini karena makanan dari layanan kamar? Tahu begini, lebih baik kita tetap turun ke buffet kemarin!"
"Aku tidak mengerti."
"Jangan bilang tidak mengerti. Kau begitu sering," Heeyoon melipat bibirnya ke dalam, mencari kata yang tepat selagi mengatur emosinya, "mengujiku hari ini."
"Aku sumpah tidak mengerti maksudmu."
"Maksudku, kau berkali-kali memujiku, bilang aku manis lah, bahwa kau senang dekat denganku .... Itu tidak apa-apa, tetapi memeluk pinggangku di depan umum?" Heeyoon mengusap mukanya yang merah padam. "Jangan ulangi itu lagi."
"Kau tidak nyaman?" Heeyoon lekas mengiakan. "Kalau begitu, maaf. Mood-ku sangat baik hari ini dan aku ingin mood-mu juga baik."
Tak menunggu Heeyoon menanggapi, Minseok melayangkan pandang ke danau yang mengelilingi Pulau St. Mary. Betapa biru dan luas danau itu, seakan ia memang laut alih-alih massa air kecil yang terkepung daratan utama Mljet. Betapa lega, damai, dan sejuk. Minseok seperti bisa mendengar desir riak airnya.
Joonmyun, Sunyoung, dan Jongdae sudah menyelesaikan segala sesuatu yang tersisa di antara mereka; sisanya adalah kebahagiaan.
"Akhirnya, cuma ada kita di pikiranmu." Heeyoon bisa bergelayut manja pada Minseok, berarti orang-orang yang mereka kenal sudah tidak ada di sekitar. Demikianlah Minseok mengira-ngira situasi meskipun ia tak melirik sedikit pun.
"Ya, harusnya inilah yang kita lakukan sejak awal liburan. Sekali lagi aku minta maaf, Heeyoon."
"Tak apa. Lagi pula, Bae Joohyun memang mencurigakan, mau secantik apa pun dia."
Minseok terkekeh. "Besok kita sudah kembali ke Seoul dan kita tidak akan lagi mendengar kabar tentangnya. Segalanya kembali seperti semula. Rasanya memang janggal, tetapi lebih baik begini, bukan?"
Heeyoon mengangguk, lalu hening sejenak.
"Aku tidak pernah membayangkan akan senang berwisata ke biara tua seperti ini." Rambut-rambut Heeyoon yang dicat cokelat digoda angin. Minseok menyibak hati-hati helai-helai liar itu ke sisi.
"Kau tidak lagi takut dengan lukisan-lukisan di kaca berwarna?"
"Masih," Heeyoon menarik dirinya dan meringis, "tetapi aku baru saja kepikiran sesuatu yang membuatku menyukai tempat ini. Aku ingin masuk lagi dan menunjukkannya."
Minseok tersenyum. Ia menyukai tempat ini karena arsitektur, sejarah, dan keunikannya sebagai pulau satu bangunan. Baguslah kalau Heeyoon menemukan hal baik pula. "Apa itu?"
"Nah, aku bilang akan menunjukkannya setelah masuk, kan? Oh, ya, apa pun yang kulakukan, kumohon jangan ditertawakan."
"Tidak akan, kecuali itu menandingi kekonyolanmu ketika berlomba minum dengan para peragawan."
"Saat hal itu ada, kau tak bakal hidup untuk melihatnya." Santai, Nona, Minseok mengangkat tangannya defensif. "Jadi, mau masuk, tidak?"
"Mau, mau." Tawa lembut Minseok melunakkan Heeyoon hampir seketika. Digandengnya tangan Heeyoon sebelum memimpin langkah masuk.
Begitu tiba di dalam, ganti Heeyoon yang memimpin langkah. Mereka menyusuri lorong-lorong bata yang sebetulnya menyeramkan untuk ukuran Heeyoon, tetapi perempuan itu melaluinya dengan tergesa karena pikirannya terpaku pada tujuan.
Heeyoon sedikit tersengal ketika sampai di tempat tujuannya, sementara suaminya berkedip-kedip bingung.
"Ini ruang liturgi," dan Minseok mengucapkan ini karena tahu Heeyoon-nya bukan perempuan religius. Apakah aura imam Benediktin masa lalu menguar dan mencapai hatinya?
"Ya, memang." Apakah pipi Heeyoon pernah semerah itu sebelumnya? "Aku tahu aku bilang wisata seperti ini cuma cocok untuk Joonmyun dan Sunyoung yang akan menikah. Tapi, setelah aku tidak lagi takut dengan tempat ini, kupikir ... ini juga cocok untuk kita?"
"Mengapa kau berpikir begitu?"
Heeyoon menunduk malu. Diraihnya lagi tangan suaminya. "Mengapa tidak sadar juga? Kita sedang berada di tengah kursi-kursi umat. Di ujung sana, ada altar. Apa ini tidak mengingatkanmu akan sesuatu?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top