8
Lima hari sudah berlalu. Dalam rencana perjalanan Joonmyun, tinggal dua destinasi lagi yang belum rombongannya kunjungi. Hari ini, mereka berkendara ke kota tua Cavtat di tenggara, yang disebut juga Toskana-nya Kroasia. Sesampainya di pusat kota, Joonmyun disambut rumah-rumah bata bergaya kuno, kafe-kafe kecil berhias bebungaan yang hangat, sampai penampilan tari orang-orang Cilipi berpakaian panjang berompi. Suasana semarak tidak menghilangkan kesahajaan pemukiman Yunani-Roma lama ini, menenangkan Joonmyun yang hampir semingguan bimbang lagi tersudut.
"Sudah paham bagaimana perasaanku terhadap perjodohanmu?"
Setelah Jongdae mengungkapkan perasaannya mengenai hubungan mereka bertiga dengan Sunyoung, Joonmyun sadar bahwa emosinya terlalu sering bermain sejak Joohyun datang. Bukan salahnya sepenuhnya. Dari Joohyun-lah, Joonmyun mencecap cinta pertama kali. Rasa yang terlambat ini mengungkap kegembiraan baru yang Joonmyun tak pernah tahu sebelumnya, membuatnya merasa dicurangi. Bagaimana tidak? Jongdae dan Sunyoung pernah berkasih-kasihan sebelum pertunangannya, sedangkan Joonmyun sudah terlarang untuk mencinta saat menemukan Joohyun.
Namun, Jongdae benar. Jika ia dan Sunyoung tidak bisa bersatu, untuk apa lagi Jongdae menjaga ikatannya dengan gadis itu? Bungsu Kim itu berhak menemukan wanita baru, sama seperti Sunyoung yang berusaha menyelamatkan perasaannya dengan belajar menyayangi Joonmyun. Cinta pertama sang direktur harus kandas di sana sebab ada lebih banyak hati yang mesti dijaganya. Tak peduli betapa satu sisi diri Joonmyun merintih lirih sebagai korban.
Tentu saja aku bukan korban, Joonmyun meralat kata-katanya sendiri sembari melirik Sunyoung di sebelahnya. Gadis itu sibuk mengabadikan wanita-wanita penari Cilipi yang berompi hitam dan bertopi merah, mengibaskan rok putih panjang mereka saat berputar. Mata Sunyoung berbinar-binar—demikianlah di sebagian besar waktu. Ia bertanya macam-macam soal tarian tradisional itu kepada Jongdae.
"Apa ini semacam cheoyongmu di Korea?"
"Kukira tidak. Mereka tampaknya murni menari buat bersenang-senang. Dengar saja musiknya heboh begini," komentar Jongdae. Sunyoung mengangguk-angguk.
"Oh, kostum mereka seperti orang Bulgaria di iklan yogurt."
"Masa?" Jongdae tersedak tawa dan Joonmyun tersenyum lebar. Sunyoung mendengus jengkel karena ditertawakan, lalu menutup mukanya yang memerah dengan kamera, kembali memotret perempuan-perempuan Cilipi. Adik perempuan yang manis, tetapi sejak perselisihan kecilnya dengan Jongdae kemarin, Joonmyun memaksa sudut pandangnya bergeser.
Joonmyun tidak menemukan tanda-tanda Joohyun. Ia sedikit kecewa, tetapi lebih banyak lega. Pelan-pelan, ia harus membuat Sunyoung jatuh cinta sungguhan padanya alih-alih sekadar memenuhi kewajiban atau mencari pelampiasan.
Tanpa peringatan, Joonmyun berbisik tepat di telinga tunangannya. Suara lembut dan napasnya yang hangat menerpa telinga si gadis.
"Sunyoung-ah."
"Kya! O-Oppa! Apa yang kaulakukan?"
Untung saja kamera Sunyoung ada talinya yang terkalung di leher. Kalau tidak, mungkin benda itu sudah tergelincir dari genggaman dan pecah berantakan. Bagaimana tidak? Ia melepaskan kameranya serta-merta semata untuk mengusap telinganya yang geli. Joonmyun menyembunyikan tawa di balik senyumnya, menikmati rona indah di pipi Sunyoung.
"Aku mau bicara sebentar. Bisa kita mundur? Di sini berisik."
Sunyoung langsung setuju, maka Joonmyun menggandengnya. Kebetulan, saat itu, pandangannya dan Jongdae bertemu. Sejenak mereka saling menatap; entah apa niat Jongdae, tetapi Joonmyun hanya ingin mempelajari perasaan adiknya jika melihatnya dengan Sunyoung seperti ini.
Mengira akan menemukan kecemburuan, Joonmyun justru mendapati kesenduan yang selaras dengan senyum ikhlas Jongdae. Semakin beratlah hati Joonmyun. Sayangnya, inilah hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan adiknya.
"Oppa mau bicara apa?" tanya Sunyoung begitu ia dan Joonmyun menjauh dari kerumunan penonton.
"Aku," Joonmyun mengusap tengkuk dan berdeham kecil, "sebenarnya masih ingin mengunjungi wisata berkuda yang kemarin kubilang di obrolan grup."
Wisata berkuda yang dimaksud berada di wilayah terluar Cavtat, berbatasan langsung dengan laut. Di sana, turis dapat menunggang kuda di sepanjang garis pantai Cavtat yang sejuk lagi lowong. Destinasi-destinasi demikian sangat Joonmyun sekali, berhubung ia sudah terlalu terbiasa dengan hiruk-pikuk kota selama bekerja. Namun, kondisi Heeyoon tidak memungkinkan seluruh rombongan pergi ke sana. Selain itu, Jongdae ingin mengunjungi museum pelukis Vlaho Bukovac yang dekat pusat kota.
Dari obrolan di grup semalam, Joonmyun tahu Sunyoung lebih tertarik pada wisata berkuda ketimbang tur budaya di pusat Cavtat. Ini sesuai dengan reaksi si gadis sekarang, yang matanya kontan membola seperti anak anjing.
"Tapi, bukankah kita belum melakukan reservasi?" Pertanyaan Sunyoung ini lebih memuat harapan daripada kekhawatiran.
"Aku sudah pesan diam-diam. Sebentar lagi, kita bisa izin bermobil berdua ke sana kalau kau mau."
"Aku mau!" jawab Sunyoung bahkan sebelum mulut Joonmyun terkatup. "Ayo, Oppa, kita cepat bilang ke yang lain!"
Bagaimana Sunyoung menyambut idenya dengan semangat—sampai menarik lengannya segala—menghangatkan hati Joonmyun. Mungkin sekarang, perasaan itu masih berupa kegembiraan kakak untuk adiknya, tetapi siapa tahu nanti?
***
Beruntung bagi Joonmyun dan Sunyoung, anggota kelompok mereka tidak ada yang keberatan dengan perubahan kecil dalam rencana perjalanan. Jongdae terdengar riang dan jujur ketika menggodai pasangan itu ('mau mesra-mesraan, ya, iri sekali!'). Minseok juga cuma meminta mereka berhati-hati. Heeyoon bahkan mengusir mereka sambil bercanda, jadi segeralah Joonmyun menyetir ke barat dengan Sunyoung.
Wisata berkuda Cavtat tidak jauh dari pusat kota, tetapi sensasinya sudah berbeda. Seperti Lokrum, menunggang kuda sambil menikmati bunyi ombak dan birunya laut mampu mengangkat lebih banyak beban Joonmyun. Satu-satunya yang meramaikan suasana adalah cerita Sunyoung yang macam-macam mengenai spot-spot liburan Dubrovnik.
"Baru kali ini, aku menembus dinding kota buat pergi ke bar, lalu menyaksikan cliff-jumping, berperahu di delta .... Kota ini keren sekali! Sayang, kita masih belum bisa ke pusat ornitologi dan mencoba kayak di Kolocep. Oh, dan kau bilang kita sebenarnya bisa ke danau yang mirip Laut Mati? Aku juga mau ke sana lain kali!"
Joonmyun terkekeh. "Kita juga belum menangkap seafood di Gverovic-Orsan," tambahnya, yang langsung disambut Sunyoung antusias. "Kau banyak mau, ya. Lihat saja apa kau akan tetap ingat rencana-rencana itu kalau kuajak berwisata di tempat lain."
"Yang pasti, bucket list-ku akan bertambah!" kata Sunyoung sambil mengendalikan tali kekang agar kudanya tidak keluar jalur. "Tapi, serius, Oppa, kau tidak perlu mengajakku liburan jauh-jauh. Aku lihat dol-harubang saja masih senang sampai sekarang."
"Menirunya, maksudmu?" Padahal dol-harubang ikon Jeju itu akan membuat penirunya tampak konyol. Sunyoung memukul Joonmyun di bahu. "Lagi pula, tidak masalah bagiku, Sunyoung-ah. Kalau tamasya ke Eropa menyenangkanmu, akan kuluangkan waktuku untuk itu. Kalau tetap menyanyi adalah keinginanmu, aku tak akan menahanmu di rumah. Apa saja."
Sunyoung tersedak sebelum berpaling pada Joonmyun. "Oppa, kau tidak pantas bermanis-manis begi—"
Kata-kata Sunyoung tertelan kembali. Senyumnya juga memudar ketika Joonmyun memandangnya lembut, menunggunya menyelesaikan kalimat. Pria itu tidak mengada-ada; tekadnya bulat untuk mengisi kehampaan yang Jongdae tinggalkan di hati Sunyoung sekalipun itu bakal merugikan Jongdae. 'Belajar' dari Joohyun ternyata ada untungnya juga; ia jadi tahu apa yang bisa dilakukannya saat jatuh cinta.
Sunyoung sepertinya menangkap niat Joonmyun. Badannya kaku, hanya terayun-ayun sedikit di atas kuda. Joonmyun baru tahu betapa panas tubuh gadis itu ketika meraih tangan Sunyoung yang menggenggam tali kekang. Berhati-hati, ia tarik kuda Sunyoung mendekat. Nah, akhirnya Sunyoung sadar apa yang terjadi dan menunduk salah tingkah.
"Terima kasih, Oppa." Lirih Sunyoung berucap. "Aku beruntung akan segera menjadi istrimu."
'Istri'. Joonmyun masih dibayangi satu sosok yang ia inginkan untuk mengisi posisi itu, tetapi dengan sadar ditangkalnya. Senjatanya untuk mematahkan mimpi muluk itu adalah ucapan Jongdae.
"Aku menghormatimu, jadi aku juga akan menghormati perempuan yang kausayangi."
***
Saat berkuda, Joonmyun dan Sunyoung menitipkan barang bawaan mereka, termasuk gawai, kepada pegawai di tempat itu. Karenanya, Joonmyun tak membaca pesan peringatan bertubi-tubi yang Jongdae kirimkan kepadanya. Tiba-tiba, seselesainya berkuda, Joonmyun mendapati Joohyun di ujung mata. Karena telanjur bersitatap, Joonmyun tidak bisa menghindari wanita itu. Joohyun melangkah lebar-lebar menuju Joonmyun dengan tegang hingga Sunyoung urung menyapa karena cemas.
"Aku harus bicara," Joohyun memicing pada Joonmyun, lalu melirik Sunyoung meremehkan, "dengan kalian berdua."
Sunyoung mengerjap kebingungan. "Ya?"
"Tidak." Joonmyun maju selangkah dan Sunyoung makin bingung dibuatnya. "Urusan kita sudah selesai."
"Berani sekali kau mengatakan itu!" sembur Joohyun, mengejutkan Sunyoung sampai gemetaran. Alis Joonmyun bertaut semakin dalam, tak menyukai sikap Joohyun yang menarik perhatian pengunjung lain. Dicengkeramnya pergelangan Joohyun tanpa ampun.
"Sunyoung-ah, ikutlah," perintah Joonmyun dingin, lantas menyeret Joohyun menjauh dari mata-mata penasaran. Sunyoung dengan patuh dan tergesa-gesa mengikuti. Di bawah sebatang pohon palem, barulah genggaman Joonmyun melonggar sehingga Joohyun bisa mengempasnya—dan balik mencengkeram kerahnya.
"Bae Joohyun-ssi!" Panik, Sunyoung mencoba melepaskan jemari Joohyun dari kerah baju Joonmyun. "Apa yang kaulakukan?"
"Harusnya kau tanya padanya!" sergah Joohyun dengan mata berair. Joonmyun yakin itu palsu. "Myun, beritahu bocah ini apa yang kaulakukan padaku!"
Jantung Joonmyun berdebar kencang, tetapi rautnya tak banyak berubah. Padahal, misinya untuk melancarkan pertunangan (dan, secara otomatis menyenangkan Jongdae serta Sunyoung) hampir tercapai. Joohyun juga bukan tipe perempuan yang mudah beringas. Apa yang memicunya?
Tidak penting. Ada banyak cara untuk menghadapi situasi ini, tetapi pertama, Joonmyun harus kembali pada tujuannya: membahagiakan Sunyoung. Kebohongan hanya akan bekerja sementara, jadi Joonmyun tidak memilih itu. Diliriknya Sunyoung yang memandangnya ketakutan, lalu mendesah pelan.
"Memang apa yang kulakukan padamu? Katakan saja."
"Joonmyun!" Melepas renggutannya dari kerah Joonmyun, Joohyun justru siap melayangkan tamparan. Sunyoung terkesiap, hendak maju, tetapi Joonmyun mendahului dengan menangkap tangan perempuan itu.
"Aku bukan minta kau menamparku, tetapi mengatakan apa yang kuperbuat."
"Kau menggagahiku, sialan!" Sebuah awal yang tajam; Joonmyun sudah mengantisipasinya, tetapi mukanya tetap saja kebas. "Kau, kau berbohong pada bocah ini dan si muka kotak, bilang kau ada rapat direksi, padahal pergi ke Lokrum! Kita bertemu di sana. Kita bercinta kemudian! Kau telah merenggut sesuatu yang paling berharga dariku, bilang mencintaiku, lalu mengempaskanku begitu saja! Kaukira aku ini apa? Aku bukan tempat liburanmu, Myun. Aku mencintaimu!"
Sesaat kemudian, Joohyun menangis sambil memukuli dada Joonmyun, mencemoohnya jahat. Yang dicemooh bergeming; gelombang emosi juga menyapunya, tetapi setelah pengalaman dengan Jongdae kemarin, ia belajar emosi tak akan membawanya ke mana-mana. Menatap satu dari dua perempuan di dekatnya tak akan meredam itu, jadi matanya dikunci pada jejeran palem nun jauh di garis pantai Cavtat.
Pria yang merenggut keperawanan seorang wanita hanya untuk meninggalkannya kemudian adalah pria berengsek. Joonmyun tak menyangka telah berada dalam posisi yang ia rendahkan sebelum mengenal cinta. Namun, mana bisa ia mengelak dari kenyataan? Ia tetap harus memilih Sunyoung atau Joohyun pada akhirnya, yang sama-sama akan melabelinya 'berengsek'.
Sebenarnya, kedua pilihan itu tidak persis sama. Memilih Sunyoung akan menyakiti Joohyun. Memilih Joohyun akan menyakiti Sunyoung, Jongdae, orang tuanya, dan mengkhianati kepercayaan Minseok yang bermata jeli.
"Oppa." Pecahnya suara Sunyoung membuat Joonmyun menoleh. Air mata yang menuruni pipi gadis itu entah mengapa lebih menyakitkan sekarang. "Apa itu semua benar?"
"Ya," jawab Joonmyun mantap, "maafkan aku."
Hidung Sunyoung kembang-kempis. Bibirnya digigit dalam-dalam. Apa yang lebih pedih ketimbang dikhianati tepat ketika cinta baru bersemi?
"Jadi, kau ternyata masih tidak bisa mencintaiku? Apa yang kaubilang saat berkuda tadi, semuanya bohong?"
"Benar!" amuk Joohyun. "Dia tidak akan mencintaimu, Park Sunyoung! Dia ingin melarikan diri darimu! Kau cuma beban yang menghambatnya berbahagia. Akulah kebahagiaan Joonmyun!"
Poin terakhir benar. Lainnya salah—meskipun beberapa pernah benar. Sunyoung makin mencebik, menunduk, dan ujungnya menyembunyikan wajah yang becek di balik telapak tangan. Punggungnya naik-turun seiring isakannya, tetapi Sunyoung tak sedikit pun mengucapkan sesuatu, seakan pasrah menerima keadaannya yang—berdasar asumsinya—tak dicintai siapa pun.
"Joohyun." Yang dipanggil berbalik secepat kilat, masih marah walau sedikit melunak oleh ucapan Joonmyun kemudian. "Aku tidak bisa berbohong. Kau teman baikku sejak SMA. Kita memiliki selera dan pemikiran yang sama. Pertemuan kita akan menjadi anugerah andai aku tidak gegabah."
"Makanya, kau harus bertanggung jawab! Nikahi aku untuk menebus kecerobohanmu!" Penawaran Joohyun semakin frontal, anehnya isakan Sunyoung malah teredam.
"Kau adalah perempuan yang hebat," dan aku mencintaimu, tambah Joonmyun dalam hati, "tetapi aku tidak ingin menyakiti lebih banyak pihak."
Sunyoung menengadah, sementara alis Joohyun bertaut. Joonmyun mundur, kini menjajari tunangannya.
"Joohyun, aku menyayangi Sunyoung. Aku telah melukainya dan aku berharap memiliki kesempatan menyembuhkannya setelah kami menikah," lalu Joohyun menatap Sunyoung dengan rasa bersalah. Sekilas saja sebelum kembali pada Joohyun. "Atas izinnya, aku akan menjaga ikatan kami. Atas izinnya pula, aku baru mau memutuskan ikatan itu."
"Apa maksudmu?!" Joohyun parau menyahut. Ia meraih kerah Joonmyun lagi dan mengguncang-guncangnya. "Kau akan meninggalkanku! Kau membuangku setelah memberimu begitu banyak kebahagiaan dalam sehari! Kebahagiaan yang bahkan tak bisa diberikan keluargamu dalam berpuluh-puluh tahun!"
Benar, tetapi Joohyun adalah buah terlarang di taman surga. Nikmat yang dirasa di gigitan pertama, langsung hilang begitu Joonmyun sadar posisinya. Demi memenuhi tugas sebagai anak, kakak, dan calon suami, Joonmyun mesti melepaskan kegembiraan yang sempat dicecapnya. Jadi, dicekalnya satu tangan Joohyun dan menurunkan tangan itu dari kerahnya.
"Tanggung jawab," ulang Joonmyun beku. "Aku bisa memberikan apa pun kepadamu selama itu bukan ikatan dan cinta." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top