5

Bae Joohyun dan senyum ramahnya yang memualkan menyambut rombongan Kim di Pelabuhan Gruz. Ia bilang sebelumnya sudah memesan feri dari Kota Dubrovnik ke Kepulauan Elafiti. Kebetulan sekali kita sepemikiran! tambahnya. Berlayarlah ia berenam bersama tiga putra Kim, Sunyoung, dan Heeyoon. Joohyun amat supel, sesuai yang diharapkan dari seorang pemimpin perusahaan fashion remaja. Namun, sikap bersahabat yang biasanya meleburkan ketegangan para pria itu justru meningkatkan tensi antara tiga bersaudara Kim sekarang.

Ganjilnya, Joohyun bisa tetap tenang di tengah pusaran kecurigaan ketiga lelaki.

"Nah, nanti setibanya di Koločep, ada dua cara untuk mengelilingi pulau," jelasnya. "Kita bisa naik perahu kecil dalam kelompok besar, tetapi area yang kita kunjungi tidak banyak karena sudah ada rutenya sendiri. Kalau ingin lebih jauh mengeksplorasi, ada kayak yang bisa didayung sendiri dan kita akan dipandu supaya tidak tersesat. Aku ingin coba kayak, sih."

Makna di balik lirikan Joohyun pada Joonmyun memicu rasa jijik Jongdae. Biar rupawan, perempuan yang berusaha mendekati pasangan orang lain tetap saja murahan. Manuver ini sudah bisa Jongdae baca di awal pertemuan mereka, apalagi wanita berbadan kecil itu jelas-jelas bilang bahwa Joonmyun adalah kekasihnya. Untung Sunyoung tidak mendengar pernyataan itu; bisa bahaya kalau ia berasumsi bahwa calon suaminya berselingkuh.

Parahnya lagi, Joonmyun sama sekali tak tegas menghadapi Joohyun. Joonmyun pasti tergoda oleh perempuan itu sehingga membiarkannya masuk dan mengacaukan komitmen.

"Aku sepertinya tidak akan pakai kayak." Heeyoon membuang napas kecewa. "Perutku agak sensitif, kena guncangan sedikit bisa langsung muntah. Aku pakai perahu saja."

Joohyun manggut-manggut. "Kalau begitu, Kim Minseok-ssi akan—"

"Aku coba kayak juga." Bukannya menemani Heeyoon yang barusan mengeluh tidak enak badan, Minseok justru mempertegas perdebatannya dengan sang istri. Tak ada yang bernyali menginterupsi sang kakak tertua, maka Sunyoung secara tersirat mengambil jalan tengah.

"Aku akan menemani Heeyoon-eonni, kalau begitu." Sang penyanyi kemudian berpaling pada dua pria lainnya. "Joonmyun-oppa, Jongdae-oppa?"

Jongdae mengangkat tangan antusias. "Kayak!"

Jika ada yang menyadari, Joohyun sejenak mendelik pada Jongdae, lebih-lebih setelahnya, Joonmyun tersenyum kalem dan mengatakan akan naik perahu saja 'agar gadis-gadis ada yang menjaga'. Sunyoung tersipu, sementara Jongdae si cerdik melebarkan senyum.

Percuma sok berani ingin main kayak. Joonmyun-hyeong akhirnya akan terpisah denganmu, sekagum apa pun dia pada perempuan tangguh.

Memang sejak bergabung dengan kelompok ini, Joohyun selalu menunjukkan bahwa di balik kerapuhan penampilannya, ia wanita yang anti arus utama. Pengetahuannya luas tentang Dubrovnik, tidak enggan makan kaki katak dalam suguhan khas Kroasia, dan sekarang mengambil inisiatif untuk mendayung kayak. Joonmyun dalam keadaan biasa akan menyukai sosok seperti ini, sayangnya Jongdae telah mengultimatumnya untuk tidak meninggalkan sisi Sunyoung. Mungkin ini juga yang membelokkan keputusan Joonmyun barusan. Tentu saja, lelaki pucat itu masih belum menyerah membuktikan perhatiannya pada Joohyun.

"Joohyun-ah, sebaiknya kau satu kayak dengan Jongdae supaya aman." Namun, menangkap raut masam Joohyun, Joonmyun buru-buru meralat. "Kalau tidak juga tak masalah, sih."

"Joohyun-ssi tidak percaya padaku?" ujar Jongdae, pura-pura terluka.

Selanjutnya, Sunyoung menyambung, "Masa, sih? Bae Joohyun-ssi, jangan khawatir, Jongdae-oppa dapat dipercaya walaupun kelihatannya begini!"

"Apa maksudmu 'kelihatannya begini', Sunyoung-ie?" Jongdae mengerucutkan bibir, membuat mantan kekasihnya meringis dan Joohyun tertawa.

"Aku tentu tidak meragukan kekuatanmu, Kim Jongdae-ssi, cuma sedih saja," Joohyun membuang bahu, "kekuatanku sebagai perempuan tidak terlalu diakui."

Bersikap feminis, huh? batin Jongdae yang jemu dengan kalimat-kalimat Joohyun. Joonmyun tetap kelimpungan, berusaha meluruskan kesalahpahaman yang potensial merenggangkan hubungan mereka. Joohyun bermanis-manis, mengatakan dirinya tidak terlalu memusingkan itu, padahal responsnya mendingin. Tak mungkin Joonmyun mengabaikan ini biarpun mereka nanti tak sekendaraan.

Cerdas.

***

"Kau punya seribu cara agar Joonmyun-hyeong tidak berhenti memikirkanmu, ya," ujar Jongdae ketika menyerahkan tas plastik pada Joohyun, pembungkus barang-barang agar tidak basah. Sementara adiknya masih bersiap-siap bersama si nona Bae, Minseok sudah berangkat duluan dari pesisir Koločep bersama turis Cina yang tahu-tahu saja diakrabinya.

"Aku selalu membuat jalan sendiri andai situasi memojokkan. Begitulah pebisnis biasa mencari celah." Joohyun lagi-lagi memprovokasi ketika membungkus barang, termasuk pakaian mereka, dalam kantong yang dibagikan agen wisata. "Kuharap kita berada dalam level permainan yang sama."

Jongdae tertawa. "Mau orang kantoran atau pencipta lagu, cerdik tetaplah cerdik. Jangan gampang lengah, Joohyun-ssi."

"Tentu tidak. Sayangnya, kita terjebak berdua sementara ini. Bukankah kau harusnya bersikap baik padaku jika ingin 'kerja sama' kita berjalan?" Joohyun mengangkat alis dengan angkuh sembari merapatkan pelampung.

"Begitu pun sebaliknya. Eksotisme pulau ini sayang kalau dilewatkan hanya untuk berdebat, bukan?"

Setelah Jongdae dan Joohyun siap, kayak mereka didorong ke lautan bersama lima kayak lainnya, ditambah seorang pemandu yang menggiring kelompok mengitari pulau.

Paling kecil dari seluruh anggota Kepulauan Elafiti, Koločep terkenal akan cadasnya. Dataran hijau yang sebagian besarnya masih asli dibingkai karang dan tebing curam, juga gua-gua kecil yang terbentuk dari hantaman ombak. Gua-gua ini saling menyambung membentuk kanal alami yang masih terjangkau cahaya matahari di dalamnya. Sensasi mendayung kayak dalam relung-relung tersebut begitu intim, kehikmatan yang tidak bisa diperoleh dengan perahu.

Jongdae sejenak menyisihkan kebenciannya pada perempuan di tempat duduk belakang; baginya sekarang hanya ada dia, batu besar berceruk, kayak, dan air laut. Suasana remang terasa syahdu, sedikit mendebarkan ketika kayak melewati area yang menyempit dalam kanal alami, kembali menuju haribaan sang surya.

"Kupikir kita tidak akan bisa melewatinya. Fuh, mengapa mereka tidak memilihkan jalur yang lebih luas dan aman untuk turis?" keluh Joohyun.

Menjengkelkan. Coba Sunyoung yang ada di belakang Jongdae. Gadis itu mungkin akan mengeluh lelah dan gugup saat melewati jalur sempit tadi, tetapi ia akan mengapresiasi kegembiraan setelah melaluinya. Sisi melankolis Sunyoung juga akan mengagumi gua dan siluet air menari dari pantulan cahaya matahari yang samar-samar. Sangat berbeda dengan Joohyun si terlalu-praktis yang tak bisa menghayati pesona-pesona sureal.

Katanya suka tantangan, tetapi begitu menghadap tantangan sungguhan protes melulu. Payah.

Sekeluarnya dari gua, kayak berbaris seri, rapi di antara dua tebing yang separuh cokelat oleh tanah, separuh hijau oleh vegetasi. Dari pepohonan yang menumbuhi tebing ini, berjatuhan beberapa helai daun yang mengalir bersama kayak. Jika dilihat-lihat, kayak turis kebanyakan bernuansa hijau-kuning seperti dedaunan itu. Barangkali jika dilihat dari atas tebing, mereka akan mirip daun yang mengarungi parit saat hujan?

Jongdae tersenyum. Ia teringat salah satu single ciptaannya untuk Sunyoung, bertajuk 'Hujan September', ditulis di bulan kedua mereka bekerja bersama. Inspirasinya datang dari pemikiran polos gadis itu yang lebih memilih menunggu Jongdae menjemput di kantor agensinya ketimbang diantar oleh sopirnya. Saat itu, mereka sudah mulai dekat.

Dalam perjalanan menuju studio Jongdae, Sunyoung yang seleranya estetis membicarakan dedaunan yang terseret oleh genangan air hujan. Daun itu awalnya sendirian karena jatuh terakhir, tetapi di ujung aliran, ternyata sudah banyak daun yang berkumpul. Ditulislah lirik yang membesarkan hati mengenai sepinya perjuangan dan hangatnya kemenangan, diiringi musik slow rock yang beriak-riak seperti kayak Jongdae sekarang. Luna sang penyanyi berhasil meraih all-kill dengan lagu itu, tetapi Park Sunyoung si gadis manislah yang dengan gembira mendekap pencipta lagunya, off-camera.

"Ayo, kita bikin lagu seperti ini lagi!"

Namun, setelah itu, karya-karya yang ditelurkan kembali lagi ke balada atau techno. Slow rock yang akan Jongdae keluarkan berikutnya, kemungkinan besar, adalah konten album persembahan untuk pernikahan Joonmyun dan Sunyoung.

"Bagaimana kau tidak pegal-pegal setelah mendayung selama ini, Kim Jongdae-ssi?" tanya Joohyun sengak sembari melemaskan lengan atas. Telapak tangannya masih erat memegang gagang dayung.

"O, astaga. Aku sampai lupa kalau aku pegal." Jongdae terkekeh meremehkan. "Indah sekali pemandangan di sini, aku jadi teralih."

"Apanya yang bagus dari batu-batu besar ini?" dumel Joohyun sepelan mungkin agar Jongdae tidak mendengar, tetapi rungu si musisi terlalu peka. Pria itu melengkungkan puas bibirnya yang mirip kucing.

Pada titik ini, kau pasti menyesal tidak naik perahu saja dengan Joonmyun-hyeong.

Mengamati cara mendayung Joohyun sebelum berangkat tadi, Jongdae dapat memperkirakan ini percobaan pertama sang pengusaha. Untuk menambal kekurangan Joohyun ini, tenaga yang dikerahkan Jongdae jadi berlipat. Meskipun begitu, perasaan Jongdae masih terlipur oleh lansekap Koločep, tidak seperti si perempuan pebisnis yang menganggap kegiatan ini menguras stamina tanpa hasil yang sepadan.

Lucu, Joohyun benar-benar mirip Joonmyun. Segala yang berlawanan akankah tarik-menarik semudah itu? Jika Sunyoung adalah takdir Joonmyun, mungkinkah Joohyun adalah takdir Jongdae? Kalau ya, Jongdae akan secepatnya melayangkan komplain pada Tuhan.

Omong-omong, gagasan mengenai magnetisme dan romansa ini mencetuskan satu gagasan lain dalam benak Jongdae.

***

Siangnya, kayak-kayak menepi di pantai dekat pemukiman Gornje Celo. Perahu yang mengangkut Sunyoung, Joonmyun, dan Heeyoon belum tiba, padahal Jongdae kira rute perahu akan lebih pendek. Mumpung yang ditunggu-tunggu belum tiba, Jongdae mengambil kesempatan untuk mengisengi sahabat kakaknya. Perempuan itu tidak hentinya memijat-mijat bahu begitu tiba di pesisir, padahal Minseok yang lebih tua darinya saja masih asyik mengobrol dengan turis Cina rekan mendayungnya di ujung pantai.

O, tapi Minseok kan mantan atlet sekolah. Jelas saja lebih kuat.

"Mau ini?" Jongdae menyodorkan plester antinyeri jumbo pada Joohyun. Perempuan itu kontan melotot galak.

"Kau gila? Itu akan menyembul melewati garis kausku! Pergilah!" hardik Joohyun, merebut tas barang yang sebelumnya dijagakan Jongdae. Berhubung muka kotak itu tidak berpindah dari bawah meja berpayung, Joohyun mendorongnya, tetapi rasa sakit di bahu membuatnya memicing tak nyaman.

Jongdae berdiri. Segera pantat Joohyun mendarat di kursi plastik berdamping decakan.

"Tapi kau kelihatannya butuh pereda nyeri otot." Jongdae memiringkan badan, menumpukan berat ke satu telapak yang berada di atas meja. "O, benar. Kita bisa pinjam ruangan di dalam. Aku akan memijatmu."

"Pijat? Huh, ini bukan cedera, cuma nyeri karena tidak terbiasa." Joohyun meraih botol air dalam tas pelindung, tetapi tangannya bergetar hebat karena kelelahan. Jongdae menstabilkan telapak mungil itu, membiarkan kulitnya bersentuhan dengan Joohyun.

"Apa yang kaulakukan?!" bentak Joohyun sambil menepis tangan Jongdae.

"Membantumu."

"Aku tidak butuh dibantu, Kim Jongdae-ssi," tegas Joohyun, meneguk air banyak-banyak walau awalnya agak kesulitan. "Cuma Joonmyun yang boleh menyentuhku."

"Cuma Sunyoung yang boleh menyentuh Hyeong," balas Jongdae tak kalah mantap. "Selama aku di sini, kau tak akan punya peluang."

Arogansi Joohyun kembali. Ia bersandar ke kursi dan menyilangkan lengan. "Kita lihat saja, trik apa lagi yang akan kaumainkan agar dapat menjaga jarakku dengan Joonmyun."

Tantangan Joohyun dijawab secara tidak terduga oleh Jongdae melalui sebuah ciuman. Pagutan. Raga mungil Joohyun terperangkap antara kursi dan tubuh Jongdae. Lengan pria itu berpegangan ke sandaran tangan kursi Joohyun, membentuk penjara yang efektif agar si perempuan tak sanggup memberontak. Meski kontak tersebut tidak dinikmati dua orang yang terlibat di dalamnya, Jongdae melakukannya seakan-akan demikianlah rasanya. Bagi orang-orang lewat, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sama-sama kehausan—dan tak ada yang keberatan selama tidak berlanjut lebih panas.

"Bila jatuh cinta padaku," seringai Jongdae di sela bisikannya yang mengembus halus bibir Joohyun, "kau tak akan memiliki kesempatan merusak pertunangan Sunyoung."

"Kurang ajar kau." Joohyun mendesis, mendorong penyerangnya hingga Jongdae nyaris terduduk di meja berpayung. "Bocah, kau sudah menembakku dalam perang ini, maka aku tak segan meledakkan kepala kotakmu itu. Ingat, pembalasan selalu lebih kejam."

Sejenak, mata Joohyun teralih ke balik punggung Jongdae, lalu ia tersenyum miring. Di telinga sang musisi, si ular betina mengembuskan ancaman berbisa yang dampaknya sangat nyata, hanya berselang beberapa detik dari diucapkan.

"Pembalasanku dimulai sekarang."

***

"Oppa? Aku ... mengganggu?"

Pantai Sunj yang menggarisi tepian Pulau Lopud menjadi saksi pernyataan kesetiaan Park Sunyoung yang mengejutkan malam ini.

"Aku mencintai Joonmyun-oppa, apa pun yang terjadi."

Semelankolis apa juga Sunyoung, penyanyi berkulit kuning itu tidak akan sembarangan berkata cinta di luar lagu-lagunya, apalagi objeknya 'hanya' Joonmyun yang praktis lagi berperasaan dangkal. Bagaimana Sunyoung menautkan jari dengannya di atas pasir kontan menimbulkan rasa bersalah Joonmyun. Menurutnya, ungkapan kasih tadi akan lebih baik ditujukan pada Jongdae saja.

"Mengapa kamu tiba-tiba berkata begitu?" Joonmyun yang duduk menyebelahi Sunyoung memaksakan sebuah tawa. Di luar dugaan, genggaman pada tangannya mengerat. Sunyoung tertawa pula, sama palsu, tetapi tidak tersamar baik seperti sang tunangan.

"Maaf, ya, Oppa .... Pasti kau merasa aneh karena kata-kataku barusan, saking jarangnya aku bilang sayang."

"Bukan begitu." Sebelah telapak Joonmyun menggenggam tangan mungil Sunyoung, sementara telapak lain menyibak poni perempuan itu ke belakang telinga. "Kamu kan sering bermanja-manja padaku. Bukankah itu bisa dihitung 'bilang sayang'?"

Sunyoung menggeleng. "Kalau dua orang sudah bertunangan, perasaan mestinya juga saling dipasrahkan. Merayu sambil bercanda begitu tidak bisa disamakan dengan satu jiwa yang utuh—dan kupikir, aku belum ...."

Usaha Sunyoung mempertahankan senyum hancur berantakan begitu bibirnya bergetar dan melengkung turun. Ia lekas memalingkan wajah, mengusap air matanya cepat, dan menyembunyikan wajah di balik lutut.

Joonmyun tidak mengerti. Belaiannya di bahu Sunyoung yang terguncang isak adalah murni sebuah automatisme. 'Perasaan yang dipasrahkan' itu seperti apa, memangnya?

"Oppa, maaf. Sepertinya, aku cuma berlari padamu kalau sedang susah. Benar-benar kekanakan, kan?" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top