2

Perjalanan menuju hotel pukul setengah sebelas malam itu berdamping kesenyapan yang kelewat kasar bagi Minseok. Suara sang istri—Heeyoon—yang biasa menjaganya tetap awas selama mengemudi tak terdengar sama sekali dalam mobil yang mereka sewa. Perempuan semampai itu kini sediam tas-tas belanjaannya di jok belakang. Minseok pun ragu memulai perbincangan, takut termakan rasa jengkel bekas perdebatan mereka di mall sebelum ini.

Ini gara-gara Jongdae. Ralat, Joonmyun. Ralat, mereka berdua.

Minseok dan Heeyoon tiba dengan cerah ceria di Dubrovnik pukul sembilan pagi tanpa diketahui adik Minseok yang kedua—Jongdae—karena memang itulah yang Joonmyun—adik pertama Minseok—rencanakan. Satu jam sebelum bertolak dari Korea Selatan, Joonmyun berbohong pada Jongdae dan Sunyoung, mengatakan ada rapat mendadak dewan direksi bersama Minseok sehingga kedatangan mereka ke Dubrovnik tertunda beberapa jam. Akhirnya, Jongdae dan Sunyoung memiliki waktu berdua selagi Joonmyun menikmati kesegaran Pulau Lokrum dan Heeyoon berpelesir ke Atlant Centar (Minseok tidak ikut bersenang-senang; anggaplah ia cuma sopir istrinya).

Joonmyun dan Minseok sepakat untuk menyusul Jongdae dan Sunyoung ke Hotel Valamar Lacroma pukul sembilan malam, tetapi sepertinya rencana berubah. Joonmyun bilang ia bertemu teman lama dan akan ke hotel agak larut.

Dari situlah, kecurigaan Minseok bercabang.

"O, ayolah, teman lama tidak selalu berwujud seorang perempuan cantik," gurau Heeyoon menanggapi prasangka suaminya, petang itu di depan salah satu outlet pakaian Atlant Centar. "Dia bisa saja cuma travel blogger kumal yang kebetulan main ke Dubrovnik."

Benar juga. Joonmyun sangat canggung setiap bertemu wanita; perkenalannya dengan Sunyoung lancar hanya karena pembawaan sang dara yang super bersahabat. Mana sudi Joonmyun berlama-lama di tempat perempuan yang labelnya sebatas 'teman'—dengan kata lain, 'tidak akrab'?

Kemungkinan itu masih ada. Minseok mematahkan pemikirannya sendiri. Aku harus mencari tahu.

Heeyoon agaknya terusik dengan keseriusan Minseok. Ini kan liburan yang mestinya membuat rileks; mengapa tiba-tiba dikakukan lagi oleh paranoia? Wanita yang sudah lama ingin ke luar negeri untuk berlibur alih-alih pemotretan itu berdalih macam-macam agar Minseok melupakan kerumitan kisah adik-adiknya. Namun, kepala batu Minseok susah dilunakkan dan Heeyoon meledak.

"Bukannya kau lebih merestui Sunyoung bersama Jongdae ketimbang Joonmyun? Kalau begitu, biarkan saja Joonmyun berselingkuh supaya orang tua kalian paham 'pasangan ideal' versi mereka sebenarnya tidak ideal! Selesai urusan!"

Komentar jahat beriring dengusan ini menautkan kedua alis Minseok tak suka. Jongdae memang menjadi objek rasa ibanya, tetapi bukan berarti perilaku tidak bermoral begitu dibenarkan untuk Joonmyun. Baru akan buka suara, lelaki itu sudah diinterupsi lagi oleh sang peragawati jelita.

"Memangnya apa yang bisa kaulakukan untuk Jongdae seandainya kau mengetahui dengan siapa Joonmyun bertemu? Apa maknanya untuk hubungan Jongdae dan Sunyoung? Kau tak akan bisa berbuat apa-apa, kan? Akuilah! Dari dulu, kau itu memang anak sulung yang tak dapat diandalkan, Minseok!"

Nah, pembicaraan ini meluas ke mana-mana. Kendati Minseok orang yang tenang, menyinggung soal posisinya yang dinomorduakan Keluarga Kim setelah Joonmyun bagai menarik pelatuk pistol. Heeyoon paham ini, tetapi emosi kepalang membutakannya. Minseok akhirnya berdiri dan menatap tajam sang istri.

"Aku akan pergi mencari Joonmyun. Kau, pulanglah sendiri."

Pelupuk mata Heeyoon tergenang, tetapi bibirnya terkatup rapat, tidak berkenan menumpahkan tangis buat Minseok. Ia lantas membentak dalam bahasa Inggris logat Amerika yang tampaknya disengaja untuk menyiarkan kebenciannya ke seluruh pusat perbelanjaan.

Dasar tukang cari perhatian.

"Fine, I don't need you to take care of me! Just f*** off!"

Usai menyemburkan serentetan peluru panas tersebut, Heeyoon berjalan tergesa meninggalkan Minseok, sangat seimbang di atas sepatu tumit tingginya. Minseok mengertakkan gigi, tak senang diperhatikan banyak orang begini, dan beranjak secepatnya ke tempat parkir. Ia tak langsung membawa pergi mobilnya, sih. Prioritas pertamanya masih soal Joonmyun, jadi dia 'menginterogasi' adiknya itu lewat pesan begitu duduk di belakang setir.

[Ini Bae Joohyun, Hyeong ingat? Dia sekarang manajer produksi untuk merek fashion remaja 'Somethin' Sweet'. Kebetulan kami bertemu di Lokrum. Hebat, kan?]

Jelas Minseok ingat Bae Joohyun: gendut, kepang dua, beralis tipis, dan berjerawat. Satu-satunya hal yang membuat gadis itu cukup cemerlang untuk bersanding dengan Joonmyun adalah intelejensinya. Mereka pasangan 'terpanas' selama perlombaan inovasi usaha tingkat SMA, tetapi asmara tidak mekar di luar itu. Jika Bae Joohyun masih seperti dulu, maka kecil peluangnya merusak hubungan Joonmyun dan Sunyoung; Minseok boleh bernapas lega.

[Kau bilang pada Jongdae akan ke hotel jam berapa?]

Semenit setelah pesan ini dikirim, balon teks bertuliskan 'jam 11' muncul di monitor ponsel Minseok. Joonmyun yang tepat waktu telah menyebut jam kembalinya ia ke Valamar Lacroma, maka surutlah kekhawatiran si sulung Kim, bertukar dengan rasa bersalah. Mengapa sumbunya sependek itu saat bicara pada Heeyoon tadi? Apakah karena diam-diam ia menyetujui ucapan Heeyoon?

Sebagai anak pertama yang sudah cukup dewasa untuk mengelola sebuah perusahaan besar, nyatanya Minseok masih tidak sanggup mencegah kedua orang tuanya bertindak timpang. Jongdae tidak seharusnya menjadi target diskriminasi di kediaman Kim akibat kurangnya bakat berbisnis. Siapa lagi memangnya yang mampu membawa Sunyoung ke puncak karier kalau bukan si anak ketiga?

Sekarang, Minseok bahkan kehilangan kendali atas diri sendiri. Satu sisinya menghendaki pertengkarannya dengan Heeyoon diakhiri, tetapi toh kemudi tetap diputar ke arah berlawanan. Kepala Minseok kosong ketika mobilnya keluar dari tempat parkir Atlant Centar, menyusuri hiruk pikuk Dubrovnik tanpa teman, dan ujungnya pasrah terkepung bangunan-bangunan tua dari bata telanjang di jantung kota.

Sejak kecil membenci kekacauan, nature Minseok untuk membereskan apa yang baginya tidak ideal jadi membebaninya ketika sudah dewasa. Tidak semua hal dapat ia sempurnakan, misalnya pernikahan yang tidak berpondasikan cinta. Saat orang tuanya memisahkan Sunyoung dari Jongdae dan 'menghadiahkan'-nya pada Joonmyun yang setengah hati menerima, Minseok jadi resah. Ada yang mesti dia benahi, tetapi sebagaimana Heeyoon berkali-kali memperingatkan: kau terlalu ikut campur, persis orang tuamu.

Jangankan urusan Jongdae-Sunyoung-Joonmyun, memandang paving yang tak utuh di bawah kakinya saja Minseok risih. Obsesinya pada keteraturan kontras dengan Heeyoon yang tumpul, tidak berpikir panjang, dan kadang impulsif. Pada beberapa waktu, sifat ini mampu mengenolkan ketegangan Minseok, tetapi pada waktu lain akan memancing konflik.

Minseok kini bersandar ke tiang lampu jalan kuno, menerawang jauh. Ponsel yang terjepit jempol dan telunjuknya diputar-putar tanpa maksud jelas.

Jemput Heeyoon atau tidak? Minta maafnya besok atau malam ini?

Sebelum pertanyaannya berjawab, tahu-tahu ponselnya bergetar: panggilan dari Heeyoon.

["Ya! Berani-beraninya kau benar-benar meninggalkanku dengan semua tas belanjaan ini! Jemput aku di Atlant Centar, sekarang!"]

Walaupun telinganya berdenging akibat bentakan Heeyoon, Minseok tetap mengiakan permintaan istrinya (sambil berdecak) dan menyetir balik ke pusat perbelanjaan. Pria itu sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak memancing emosi Heeyoon agar lebih mudah diampuni.

Masalahnya, begitu pantatnya terempas ke jok depan, Heeyoon juga mengunci rapat mulutnya. Hingga tiba di hotel, tidak ada percakapan terbentuk dan Joonmyun—yang juga baru datang dengan taksi—memandang mereka heran. Dengan tas belanja sebanyak itu, harusnya Heeyoon akan merepet soal barang bermerek atau diskon, bukannya bungkam.

"Heeyoon, perlu kubawakan—"

"Tidak usah!" Heeyoon menolak tawaran Joonmyun dan mengusung sembilan tas kertas seorang diri. Joonmyun mengusap tengkuknya bingung. Ia berpaling pada sang kakak cuma untuk menemukan cengiran berhias tipu.

"Mood swing bulanan, biasa. Kau habis dari mana?"

"Aku barusan mengantar Bae Joohyun ke Grand Hotel tempatnya menginap."

"O?" Alis Minseok terangkat. "Lama di sana?"

"Tidak. Dia menawariku singgah sebentar di bar, tetapi kutolak. Aku mau tidur di sini saja." Joonmyun menekuk leher ke depan dan ke belakang sembari memegangi sisinya. "Capeknya, sudah lama aku tidak berenang."

"Kita terlalu sibuk mengurus proyek sampai lupa olahraga."

Joonmyun terkekeh, sebentar kemudian menguap, tampak begitu terkuras dengan rambut berantakan dan wajah memerah, barangkali karena terbakar matahari.

Sesuai rencana awal, malam ini Joonmyun sekamar dengan Jongdae, Heeyoon dengan Minseok, dan Sunyoung sendirian.

"Maaf, kita jadi tidak bisa ngobrol, Myun. Besok, deh, sekalian minta maaf ke Jongdae dan Sunyoung karena terlambat datang." Minseok mendesah dramatis di depan pintu kamarnya. "Kuharap Heeyoon mengizinkanku masuk. Dia bersikap seolah-olah ingin memakanku seharian ini."

"Semoga mood-nya cepat membaik."

"Hyeong! Akhirnya sampai juga!"

Dikira sudah tidur, Jongdae rupanya mendengar percakapan kedua kakaknya. Ia langsung menyeret Joonmyun masuk kamar, heboh karena 'kita tidur bersama lagi seperti waktu kecil!'; mengapa pula dia heboh gara-gara mengulang memori masa kanak-kanak? Usai melambai pada kakak tertuanya, Jongdae pun menutup pintu dari dalam.

Minseok menghela napas. Heeyoon mengizinkannya masuk memang, tetapi muka istri Minseok yang seorang peragawati itu masam.

"Maafkan aku," ucap Minseok. Tidak menggubris, Heeyoon menyembunyikan tubuh berbalut gaun tidurnya ke bawah selimut. Sudah Minseok duga begini jadinya, tetapi ia belum mau menyerah.

"Maaf kalau kecurigaan berlebihanku mengganggumu."

Tak berjawab. Minseok mengangkat bahu, mencari handuk dari lemari hotel, dan masuk kamar mandi. Malam ini, ia akan mencuci rambut sampai kaki sebersih mungkin supaya pikiran mesum—yang memunculkan halusinasi noda lipstik di kerah Joonmyun—dapat larut oleh air.

Ha, lucu. Memangnya bertengkar dengan istri dapat meningkatkan gairah sampai Minseok berkhayal yang tidak-tidak? Lagi pula, Heeyoon pasti tidak mau ia sentuh; mari simpan hasrat itu untuk malam yang lain.

Keesokan harinya ....

"Ups, sebentar." Minseok menyesuaikan diri dengan gerak naik-turun perahu yang ia naiki sebelum mengarahkan kamera ke depan. "Oke. Joonmyun-ah, mendekatlah pada Sunyoung."

"Ini kan sudah mepet," gumam Joonmyun yang tidak terbiasa berlagak akrab dengan kaum Hawa. Kendati demikian, ia tetap bergeser sedikit pada gadis berkulit eksotis yang duduk di antaranya dan adiknya. Keluhan tadi, sayangnya, tertangkap telinga Sunyoung yang langsung pura-pura kesal.

"Tunangan macam apa kau yang tidak mau berfoto dekat-dekatan, Oppa?"

"Eh, bukan begitu ...." Joonmyun mengusap tengkuk, salah tingkah. "A-Aku minta maaf, Sunyoung-ie."

Sejenak hening sebelum Sunyoung dan Jongdae sama-sama meledak dalam tawa.

"Dia benar-benar pria yang garing, kan?" Ujung jempol Jongdae terarah pada kakaknya—yang langsung disetujui si gadis Park. Mereka akan lanjut mempermalukan Joonmyun jika Minseok tidak mengingatkan keduanya untuk segera berfoto.

Sunyoung membuat dua hati mungil dengan jemarinya, tersenyum sangat manis hingga Jongdae memaksa dirinya untuk mengingat milik siapa dara itu sekarang. Jongdae sendiri membuka mulut lebar-lebar sambil menunjuk Sunyoung dan Joonmyun, sementara Joonmyun tersenyum tipis dan mengacungkan satu jempol—pose super standar. Foto yang dihasilkan cukup memuaskan; karena ketiganya duduk di tepi perahu, kejernihan Sungai Neretva yang mereka arungi masuk dengan cantik dalam frame.

Layaknya Sungai Han yang berada di timur Eropa, Neretva begitu lebar dan panjang. Yang melintangi Kota Dubrovnik sebenarnya hanya 22 kilometer terakhir dari sungai tersebut, menandai perbatasan Bosnia dengan Laut Adriatik. Alih-alih didampingi jembatan-jembatan berlampu maupun bangunan modern di sepanjang tepinya, sungai ini hanya berteman tanaman rawa, perkebunan, dan beberapa rumah kuno yang jaraknya jarang. Kanal air yang hanya bisa dilalui lada—perahu tradisional beratap rumbai—menyuplai tanah di seluruh bagian delta, mengubahnya dari sedimen biasa menjadi hamparan hijau nan kaya. Buah-buahan siap panen, pepohonan rindang, plus burung-burung cantik penarik para ornitologis menjadi aset tambahan Neretva selain—tentu saja—kejernihan air dan kesejukan atmosfernya.

Jongdae, Sunyoung, dan Joonmyun terlihat begitu berseri dengan kesederhanaan alam melingkupi mereka. Puas, ketiganya berfoto sekali lagi sebelum Jongdae mengambil alih kamera.

"Nah, sekarang giliranmu dan Heeyoon, Minseok-hyeong."

"Aku pass." Peragawati jelita yang bertopang dagu tak jauh dari Jongdae menolak tawaran tersebut bahkan sebelum Jongdae menutup mulut sepenuhnya. Minseok membuang napas kasar, tidak mengerti mengapa suasana hati istrinya tidak membaik juga sejak pertengkaran mereka kemarin malam, tetapi Jongdae lantas menepuk bahunya.

"Lagi datang bulan?"

"Tidak, ternyata. Dia malah terlambat seminggu—"

"Kim Minseok, berani membocorkan jadwal haidku, kita cerai!"

Wow, ancaman Heeyoon sungguh gila sekaligus kekanakan. Jongdae menelan ludah, Joonmyun mengerjap ngeri, dan Sunyoung terpaku dengan mata melebar. Untung saja tidak ada turis asal Korea lain di perahu, jadi tak banyak pula yang tahu perihal terancamnya rumah tangga Minseok gara-gara siklus haid.

"Aku permisi," ringis Minseok sebelum meninggalkan Jongdae, Sunyoung, dan Joonmyun. "Seseorang mesti dibujuk pakai voucher belanja, nih."

Seperginya Minseok, Jongdae mengarahkan lensa pada sepasang calon pengantin di hadapannya.

"Untuk menebus dosaku—yaitu kebanyakan berfoto berdua dengan Sunyoung kemarin—mari kita isi kamera ini dengan foto kalian. Hyeong, lebih dekat, dong!"

Sunyoung tersipu-sipu, tetapi juga malu dan merasa bersalah pada anak tengah Kim yang merupakan pasangan aslinya. "Joonmyun-oppa, jangan marah, ya? Kau pasti sudah lihat foto-foto kami di Buza Bar."

"Tidak masalah. Kalian kan cuma teman bermain." Joonmyun tersenyum sabar, sementara hati Jongdae nyeri karena disebut 'cuma teman'. "Aku malah harus minta maaf karena rapat mendadak kemarin."

Kegembiraan yang Sunyoung tunjukkan setelah beroleh maaf begitu berharga. Jongdae hampir saja memfokuskan jepretannya pada gadis itu dan mengaburkan wajah Joonmyun. Tidak ia lakukan.

Perasaan Jongdae saat mengambil foto kakaknya dan mantan kekasihnya mirip riak-riak di permukaan Sungai Neretva: kecil, tetapi banyak dan tak pernah hilang. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top