13 (TAMAT)
"Kalau begitu," Jongdae menepuk kedua bahu Joohyun," aku boleh menemani ibu muda ini, kurasa? Mumpung pasangannya tidak ada."
"Oh, t-tentu." Mengapa kau pakai terbata-bata segala, Hyeong? Bodoh! umpat Jongdae dalam hati. "Tolong jaga temanku baik-baik, nanti kita mengobrol lagi. Perwakilan SN Enterprise baru datang, kami berdua harus menyambutnya."
Dalam usaha yang putus asa untuk menghindarkan istrinya dari kecemburuan, Joonmyun menatap dan mengeratkan genggamannya ke tangan gadis itu. Membaca isyarat ini, Sunyoung menoleh pada Joonmyun. Rautnya seketika melunak.
"Ya, kami harus menyambut mereka. Jongdae-oppa, jaga Joohyun-eonni yang benar!"
Jongdae mengiakan seadanya. Sakit di dadanya—serupa yang dialaminya pada hari terakhir di Dubrovnik—barusan kambuh. Bukan sekadar karena Joonmyun dan Sunyoung yang bertukar pandang mesra, melainkan juga karena kecemburuan Sunyoung—yang dulu hanya untuk Jongdae—kini justru tertuju pada Joonmyun. Wajar; gadis itu toh sudah resmi menjadi pasangan Joonmyun. Jongdae-lah yang tidak wajar karena seharusnya, seharusnya, dia tidak lagi mengaitkan hatinya pada si pengantin wanita.
"Lihat dirimu. Mau menangis lagi, Bayi Besar?" kekeh Joohyun sebelum menyedot punch nanasnya sedikit. Ia dan Jongdae tengah berdiri dekat meja minuman. "Aku tidak keberatan mengurus satu lagi bayi."
"Bukannya kau yang mau menangis? Ayah anakmu baru saja memanggilmu 'teman' di depan rivalmu." Jongdae membalas tak kalah ganas. "Ah, kangen sekali berperang denganmu, Bae Joohyun. Apakah kedatanganmu hari ini karena ingin mengakhiri gencatan senjata?"
"Tidak." Lagi, ketakutan Joohyun menggeser kegelian di wajahnya. Punch dalam gelas yang digenggamnya sedikit beriak. "Aku murni hadir sebagai seorang teman Joonmyun ... sekaligus ingin mengakhiri perang kita secara resmi."
Alis Jongdae terangkat. Dia baru membuka mulutnya sedikit ketika Joohyun mendahuluinya bicara. Napas perempuan itu agak terengah-engah.
"Aku datang sebenarnya cuma untuk menemuimu dan menyampaikan ini, Kim Jongdae. Kita anggap kejadian di Dubrovnik antara aku dan Joonmyun tidak pernah ada. Bayi ini adalah anak laki-laki lain. Aku tidak akan muncul lagi di kehidupan Joonmyun bahkan kalau dia meminta. Jadi, jadi ...."
"Wow, wow, tenang, Bae Joohyun-ssi." Tak pernah menghadapi ibu hamil, Jongdae jadi panik melihat Joohyun kehabisan napas, mengira gejala ini berhubungan dengan janin, padahal Joohyun cuma bicara terlalu cepat. Laki-laki itu menyamarkan kepanikannya dalam tawa kecil sambil menoleh ke sekitar. "Sudut itu sepi. Kita sebaiknya duduk di sana."
Maka duduklah Jongdae dan Joohyun di salah dua kursi undangan yang melingkari ruangan. Joohyun meneguk minumannya besar-besar, lalu mengatur napas. Selama itu, Jongdae menyelidikinya dalam diam, waspada. Apa yang akan Joohyun sampaikan hingga segugup itu? Tunggu, apakah Joohyun betulan gugup? Dia tidak mempersiapkan jebakan apa pun di balik penampilan rapuhnya saat ini, bukan?
"Aku," mulai Joohyun; gelas punch-nya yang terisi setengah digenggam kedua tangan, "tidak pernah berhubungan dengan lelaki lain setelah dari Dubrovnik."
"Lalu?" Jongdae bersandar cuek ke kursinya. Tangannya dimasukkan ke saku celana.
"Lalu, aku juga tahu sudah kalah, tetapi tidak sekalah dirimu karena masih punya bayi ini." Joohyun tertawa lemah, tetapi Jongdae langsung menoleh dan menatapnya nyalang.
"Kau tidak akan—"
"Dengarkan dulu!" sergah Joohyun. "Ayah anak ini boleh pergi dariku, tetapi anak ini sendiri tak akan meninggalkan ibunya. Anak ini ... adalah kemenanganku. Kemenangan yang amat-amat rapuh."
Salah satu tangan Joohyun meninggalkan gelas punch untuk membelai perutnya. "Di awal kehamilanku, aku terpeleset di kantor dan mengalami perdarahan. Terlambat sedikit saja sampai di rumah sakit, mungkin bayiku tidak akan selamat. Ketika mendengarnya, aku merasakan ketakutan yang tak pernah kurasakan, bahkan saat kau berkali-kali mengancamku di Dubrovnik.
"Aku awalnya ingin menjadikan bayi ini senjata, tetapi rupanya, dia lebih berharga dari yang kupikir semula. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengannya, apalagi," lirik Joohyun tajam pada pria di sebelahnya, "sampai diserang Keluarga Kim."
Jongdae terjajar mundur, lalu mendengus dengan satu sudut bibir terangkat. "Apa kau baru saja menuduh kami akan menyakiti bayi tak berdosa? Jangan membalikkan posisi; kau akan selalu jadi penjahatnya."
"Tidak, Kim Jongdae, aku sudah muak kaujadikan penjahat hanya karena jatuh cinta pada pria beristri. Apa yang salah dari cinta ini? Park Sunyoung tidak mencintainya sama sekali, tidak sepertiku mencintainya!" Joohyun sejenak terpaku saat menyadari suaranya mulai meninggi dan sumbang. Ia berdeham sebelum melanjutkan. "Intinya, ini salam perpisahanku untuk kalian semua. Aku tidak mau anakku dalam bahaya karena jika dia hilang, maka tidak akan ada yang memenangkan permainan ini. Tidak Joonmyun dan Sunyoung sekalipun."
Setelah Joohyun bungkam, Jongdae juga tak mengatakan apa-apa. Ia tenggelam dalam perenungan, tetapi belum berhenti mengamati perempuan yang tertunduk letih di sampingnya. Kalau ini akting, maka Joohyun berhak meraih penghargaan; dia tampak sangat berbeda dengan ular perayu yang beraksi di Dubrovnik. Bukan cuma 'tampak lain', dia juga berhasil memantik perasaan ingin melindungi yang dulu cuma bisa Jongdae berikan kepada si pengantin wanita.
Jongdae berharap menemukan segores saja dusta pada wajah Joohyun untuk membenarkan kebenciannya pada perempuan itu, tetapi gagal.
"Baik. Itu saja yang ingin kusampaikan." Joohyun bangkit dari duduknya. "Perwakilan perusahaan yang Joonmyun temui tadi sepertinya sudah pergi. Aku tinggal pamitan pada mereka berdua, lalu pergi. Sampai jumpa—tidak, selamat tinggal."
Begitu berdiri, wajah Joohyun tidak lagi terlihat oleh Jongdae. Pria itu khawatir ia melewatkan tawa licik Joohyun saat mengucapkan selamat tinggal—walau sebenarnya tidak perlu. Joohyun sungguh ingin mengakhiri segalanya, siap membesarkan anak sebagai ibu tunggal, sebab ia sudah cukup meriset. Dari berbagai cerita yang tak pernah terekspos ke khalayak, Joohyun menyimpulkan bayi terlalu lemah untuk mempersenjatai diri melawan keluarga Kim. Plus, dengan kejadian yang ia tuturkan pada Jongdae, ia memahami bahwa kebahagiaan bisa diperolehnya dari selain Joonmyun.
Misalnya dari keselamatan si janin.
Jongdae sekali lagi mengamati punggung wanita yang berjalan hati-hati mendekati kakaknya. Punggung sempit itu kini memanggul dua kehidupan dan satu 'kemenangan' baru—yang menurut Jongdae malah lebih mirip kekalahan. Bayi itu melemahkan ambisi Joohyun secara signifikan, 'memenangkan' Jongdae dengan cara yang kurang dikehendakinya.
Pertempuran ini timpang. Jongdae ingin menyeimbangkannya kembali. Darahnya berdesir aneh oleh impuls, lalu saat sadar, ia sudah mencekal lengan Joohyun.
"Apa yang kaulakukan?" desis Joohyun, samar mengempaskan tangan Jongdae. Pria itu tidak segera menjawab, maka Joohyun berbalik.
"Kau salah, Bae Joohyun," gumam Jongdae hampa. "Tanpa ayah, anak itu juga tidak akan menang. Otomatis, kau juga masih kalah."
"Apa maksudmu?"
"Pada satu titik, anak itu akan membutuhkan sesuatu yang kau tak bisa penuhi, yang hanya bisa dipenuhi seorang ayah. Kau yakin anak itu akan menang secara utuh tanpa orang tua yang lengkap?"
Joohyun mengernyit tak senang, tetapi mustahil baginya mengacau seperti waktu melabrak Joonmyun di wisata kuda Cavtat. "Jika kau sedang mencoba memerangkapku, lakukan dengan lebih baik. Kita berdua tahu apa yang akan kaulakukan kalau aku mengungkap siapa ayah anak ini."
"Ternyata," sahut Jongdae, "aku menemukan hal lain yang lebih mengesalkan selain melawanmu, yaitu menang begitu saja atasmu karena kau tidak menyelesaikan pertarungan. Seharusnya, kalau kau ingin anak itu menang, kau akan berusaha mendapatkan ayahnya kembali dengan berbagai cara, bukan? Atau jangan-jangan, kau benar-benar sudah kehabisan akal? Seorang Bae Joohyun?"
"Diam." Joohyun menggeram rendah. "Aku akan berpamitan pada Joonmyun sekarang."
"Walau kau berpamitan sekarang, hatimu tidak akan pernah berpamitan pada Hyeong, aku tahu."
"Jangan samakan aku denganmu, Kim Jongdae!" Joohyun benar-benar marah sekarang. "Kau lelaki menyedihkan yang tidak pernah bergerak maju. Hatimulah yang selamanya tidak bergerak, tertambat pada Park Sunyoung walaupun dia sudah diperistri kakakmu sendiri! Aku ..."
Alis Jongdae terangkat penuh antisipasi.
"Aku," ujar Joohyun parau, air matanya menggenang, "tidak mencintai Joonmyun lagi .... Aku tidak mencintainya lagi!"
Bohong, batin Jongdae begitu Joohyun urung memberi salam terakhir kepada para pengantin. Alih-alih, perempuan itu berjalan cepat keluar gedung tanpa menoleh ke belakang. Kalau memang perempuan itu sudah tidak merasakan apa pun terhadap Joonmyun, mengapa dia melarikan diri?
***
Dari sudut mata, Joonmyun yang sedang bercakap-cakap dengan tamu melihat Joohyun berjalan gusar keluar gedung resepsi. Kakinya gatal ingin mengikuti, tetapi akal sehatnya mencegah. Bukan cuma karena tamu; ia juga tidak ingin merusak keceriaan di wajah Sunyoung.
Joonmyun tersenyum tipis. Daripada berlari mengejar takdir, lebih baik diam di tempat dan menjaga apa yang telah nasib gariskan untuknya.
Tiba-tiba, keceriaan Sunyoung menguap. Pandangannya tertuju ke satu titik yang langsung dipandang Joonmyun pula. Pria itu terbelalak, lalu dengan impulsif, Joonmyun memalingkan wajah Sunyoung kepadanya. Para tamu—yang berada di dekat mereka maupun yang jauh dan kebetulan melihat—terkesiap saat bibir kedua pengantin bertemu selama tiga hitungan.
"Oppa—apa—astaga—apa-apaan, sih?" Sunyoung yang salah tingkah langsung menyembunyikan rona pipinya di balik punggung Joonmyun.
"OH, KITA BARU SAJA MENYAKSIKAN ADEGAN YANG SANGAT MENGEJUTKAN DARI RAJA DAN RATU MALAM INI!" Pembawa acara berseru heboh, membuat Joonmyun sedikit menyesal karena ia juga semalu Sunyoung. Seperti bukan aku saja, batinnya. Semoga saja para undangan—yang beberapa adalah investor dan rekan bisnis potensial—tidak terpengaruh dengan aksinya barusan.
Namun, air muka Sunyoung jauh lebih baik setelahnya, juga lebih santai. Gadis itu, Joonmyun tahu, kurang menyukai acara formal karena mengingatkannya pada industri hiburan yang senantiasa menuntut kesempurnaan sikap. Melihat Sunyoung tak lagi ragu menatapnya sayang lagi penuh terima kasih melegakan Joonmyun. Ia yakin mampu menyingkirkan bayangan Jongdae—yang berlari mengikuti Joohyun keluar gedung—dari benak istri barunya.
***
Déjà vu parah. Jongdae mengalaminya karena tengah menyetiri Joohyun menuju apartemen perempuan itu. Joohyun duduk di depan, menyebelahinya, tak henti-henti menyeka air mata dan membersit ingus dengan tisu.
Yang berbeda dengan di Dubrovnik, aku menyetir mobilku sendiri dan dia tidak sedang mabuk, batin Jongdae, tak habis pikir dengan dirinya sendiri yang memulangkan musuh dalam keadaan hancur-lebur, persis lima bulan lalu. Sama seperti waktu itu juga, Jongdae tidak bicara sepatah kata pun karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Lagi pula, pengalaman dengan Sunyoung mengajarinya bahwa perempuan yang sedang menangis tidak boleh disela. Yang mengarahkannya ke alamat Joohyun hanya aplikasi peta.
Meski tidak menyenangkan terjebak dengan perempuan yang sesenggukan dalam perjalanan, kesabaran Jongdae akhirnya membuahkan hasil. Isakan Joohyun sudah reda begitu tiba di depan apartemen. Air matanya pun tak lagi mengalir, menyisakan pipi sembap saja. Jongdae memencet tombol di sisi pintu mobil hingga terdengar 'klik', tetapi Joohyun—yang memegang handel pintu—lantas tersadar bahwa itu adalah 'klik' pengunci, bukan pembuka.
"Kim Jongdae!" bentak Joohyun panik; napasnya tersengal-sengal. "Bangsat, buka pin—"
"Aku punya rencana yang bisa memenangkan semua pihak, bukan cuma anakmu," sahut Jongdae tanpa menoleh pada penumpangnya. "Mau dengar?"
"Persetan!" Joohyun mengulurkan tangan menuju panel di sisi Jongdae, tetapi laki-laki itu mencekal tangannya. "Lepaskan aku!"
Berhubung tidak segera dibebaskan, Joohyun menatap sengit Jongdae. Anehnya, perasaan yang sama tidak wanita itu temukan di mata yang ditatapnya. Jongdae memang tidak ingin membenci Joohyun lagi. Resepsi Joonmyun dan Sunyoung hari ini memahamkannya bahwa mereka semua ternyata tidak akan benar-benar bergerak maju, kecuali ia mengambil langkah berani.
Dari dulu, Joonmyun selalu bermain bersih. Kalau ada lumpur di tangannya, dalam waktu singkat kotoran itu akan terciprat kepada yang lain, seringnya Jongdae. 'Mengambil langkah berani' selalu berarti 'kotor' sejak mereka kecil, misalnya bermain di lapangan pada hari terik yang mencucurkan keringat. Selalu Jongdae yang cukup bernyali melangkah walaupun kena marah saat pulang karena badannya berlumur debu. Cuma dia memang yang berposisi cukup rendah di keluarga untuk semua pekerjaan rendahan, termasuk—
"Kirim pesan padaku kalau sudah siap mendengarnya."
—menikahi seorang perempuan yang hamil di luar nikah dan mencegahnya menghancurkan reputasi anak emas Kim.
"Mampus sana!"
Satu bentakan Joohyun kemudian, Jongdae bersandar ke jok mobil dan melepaskan penumpangnya. Ditekannya tombol kunci, kali ini untuk membuka. Tergesa-gesa, Joohyun menyambar tasnya, membuka pintu, dan keluar mobil. Jongdae sudah menunggu-nunggu pintu mobilnya dibanting menutup, tetapi cuma ada semilir angin dan Joohyun yang terpaku sembari memegangi pintu.
"Terima kasih."
Nah, ini baru mengejutkan. Jongdae mendengus sambil tersenyum. "Kembali. Selamat memijat kaki; aku tahu pakai hak tinggi saat hamil pasti tidak nyaman, kan?"
Tanya yang inilah ternyata yang dijawab bantingan pintu. Jongdae terpingkal-pingkal untuk alasan yang tak jelas. Begitu tawanya reda, kepalanya sudah tersandar ke setir, terasa berat dan penuh pikiran. Namun, pikiran yang demikian banyak itu akhirnya tersortir dan tersimpulkan menjadi satu kalimat saja—yang meluncur bersama senyum dari bibirnya.
"Kalau dia menghubungiku, itu berarti," Jongdae menghapus sebuah pelipat khusus dalam galeri ponselnya, "selamat tinggal yang sesungguhnya untukmu, Sunyoung. Terima kasih untuk segalanya dan berbahagialah."
***
[Dari: Bae Joohyun
Mari kita dengarkan rencanamu. Di mana kita bisa bertemu?]
TAMAT
[2022]
IYAAAAAH AKHIRNYA SETELAH EMPAT TAHUN CERITA INI TAMAT JUGAK! setelah bbrp kali baca cerita ttg affair, i think this one is pretty new? but thennn again no ideas original, mgkin cerita di luar sana banyak yg kayak gini.
sila tinggalkan vomment, dan makasih banyak udh mengikuti 'DUBROVNIK AFFAIR' sampe akhir! friendly reminder: seluruh cerita ini fiksi ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top