11

"Tidak akan jadi fitnah kalau buktinya ada—atau diada-adakan."

Demi mendengar ancaman ini, Joohyun mengernyit; bahunya yang lungsur dan rileks kini menjadi kaku. Senyum angkuhnya ikut luntur.

"Kau tidak akan mampu melakukannya."

"Mengapa tidak? Sama sepertimu, aku punya tujuan, Bae Joohyun-ssi, yaitu menyamakan posisi tawar kita. Semut saja bisa menggigit kalau diinjak, apalagi aku." Jongdae mencondongkan tubuh ke meja berpayung. "Kau sudah mempermalukan dirimu di depan Joonmyun-hyeong dan Sunyoung kemarin. Kalau sudah tahu seerat apa ikatan baru mereka, berhentilah. Pergi jauh-jauh dari kehidupan kami."

Joohyun meremas gelas plastiknya tanpa sadar, tetapi melihat Jongdae tersenyum sinis, ia segera menarik napas panjang. Segera dibenahi dan dipenuhinya gelas plastik dengan bir, lalu menandaskan isinya.

"Baik, aku memang kalah, tetapi kau juga tidak menang." Joohyun mengacungkan gelas plastik kosong pada Jongdae; wajah wanita itu memerah. Rendah sekali toleransi alkoholnya. "Mengapa tidak kau saja yang berhenti agar mendapatkan kembali gadismu? Jadi anak baik toh tidak menguntungkanmu."

Jongdae tertawa terbahak-bahak. "Segitu saja kemampuan intimidasimu? Kau sangat menyedihkan, Bae Joohyun. Aku sampai ingin melakukan gencatan senjata."

"Aku tidak mengintimidasimu." Joohyun kembali menuang bir untuk dirinya sendiri dan minum seteguk. "Percuma kita berperang jika sama-sama kalah. Lebih baik kita bekerja sama untuk sama-sama menang, bukan? Lagi pula, gadismu itu masih sangat mencintaimu; dia cuma menjadikan Joonmyun pelampiasan karena kau menciumku di depannya."

Aku tahu, batin Jongdae pedih. Namun, ia lebih memilih minum daripada menimpali Joohyun.

"Joonmyun pun ... aku yakin dia masih mencintaiku." Pandangan Joohyun terarah pada cairan jingga bening dalam gelas plastik di genggamannya. "Aku tidak peduli kalau dia baru melihatku sekarang karena perubahan penampilanku. Kami sangat cocok sejak SMA—dan setelah dia, aku tidak bisa melihat pria lain lagi. Kutolak semua pria karena aku masih menginginkannya, lalu takdir mempertemukan kami di Lokrum. Itu pertanda bahwa aku harusnya punya kesempatan."

Anak mata Joohyun lantas bergeser pada Jongdae. "Bukan cuma aku: kau, Joonmyun, dan Park Sunyoung sebenarnya akan memperoleh kesempatan kalian dariku. Jadi, mengapa menghalangiku?"

"Apa kau mau bilang," cegat Jongdae, "bahwa Joonmyun-hyeong dan Sunyoung juga jadi kalah karena aku?"

Joohyun mengangkat alis, lalu perlahan tersenyum lebar. "Tidak, awalnya. Terima kasih sudah menyadarkanku. Kau ternyata tidak sedang mengorbankan diri untuk kebahagiaan orang kesayanganmu, melainkan mengajak mereka sakit bersamamu."

Jongdae mengatupkan rahang rapat-rapat. Gantian Joohyun yang tertawa lepas sambil bertepuk tangan. "Ya ampun! Sikap heroikmu selama seminggu ini rupanya tidak berarti apa-apa! Pernikahan yang kaukawal itu pada akhirnya akan berjalan tanpa cinta. Itu yang kauinginkan?"

Jangan terpancing.

Mantra ini Jongdae ulang berkali-kali dalam kepala sembari mengatur napas dan menuang bir untuk dirinya sendiri.

"Joonmyun, Joonmyun-ku yang malang! Dia bisa mendapatkan cinta dariku, tetapi adik kesayangannya malah menghalangi demi pengakuan orang tuanya!" Joohyun masih tergelak sinting sambil memegangi dahi. Tawanya cuma terjeda tegukan bir. "Tidak apa-apa, Myun, perang ini belum selesai. Akulah kesatria yang akan membebaskanmu dari cengkeraman Park Sunyoung, lalu kita akan berbahagia bersama! Seperti impianku, seperti impian kita!"

"Menjijikkan," desis Jongdae, mengalihkan pandang ke lautan yang beberapa hari lalu jadi tujuan terjunnya. Joohyun memang cantik, tetapi tidak enak dipandang dalam keadaan kalah dan mabuk seperti sekarang. Selain itu, kenangan bersama Sunyoung di Buza Bar lebih indah dari apa pun, terutama setelah Jongdae memastikan Joonmyun dan Sunyoung sudah mulai saling mencinta.

"Sampai Hyeong datang pukul sembilan nanti, kumohon, jadilah kekasihku lagi."

"Aku tahu cepat atau lambat kau akan mengatakannya. Haruskah kita mulai sekarang?"

Tidak. Kecupan Sunyoung di tepi tebing masih bersisa rasanya di bibir Jongdae, bahkan setelah ia mencium Joohyun. Kenangan indah itu berubah amat menyiksa sampai nyeri dalam dada Jongdae terasa senyata nyeri akibat serangan fisik. Nyeri itu lantas menjalar ke kepala, memalu.

Jongdae tidak bisa membayangkan dirinya masih menulis lagu untuk Sunyoung dengan mengetahui bahwa perempuan itu sudah diperistri kakaknya. Jongdae tak tahu apakah masih bisa berada di studio yang sama dengan Sunyoung, tempat di mana mereka dulu membicarakan rencana pernikahan, padahal rencana itu akhirnya Joonmyun yang mewujudkan. Jangankan studio, mereka bisa saja tinggal serumah—Jongdae, Sunyoung, dan Joonmyun—dengan segala memori hubungan masa lalu, termasuk yang terakhir mereka bangun di tebing Buza Bar.

"Sialan," erang Jongdae lirih, parau. "Sialan ...."

Terdengar bunyi gemericik. Gelas Jongdae terisi lagi, tetapi Joohyun yang menuang birnya; wanita itu tampak bersimpati kepadanya. Omong kosong. Ekspresi tersebut pasti cuma muncul karena mabuk. Bisa juga karena Joohyun pikir bisa menyingkirkan Jongdae dari jalan menuju Joonmyun dengan bersikap sok senasib.

Ketika Joohyun mengangkat gelasnya sendiri, anehnya, dia tidak tersenyum meremehkan kepada lawannya.

"Toast," ucapnya letih, hampa, "untuk orang-orang yang kalah."

Entah mengapa juga, dalam diamnya, Jongdae bersedia melekatkan bibir gelasnya ke bibir gelas Joohyun, lalu keduanya meneguk bir berbarengan.

***

Pukul sembilan malam, Jongdae terpaksa mengantarkan Joohyun kembali ke hotel. Perempuan itu mabuk berat dan sudah muntah sekali di bar, membuat malu dirinya. Meskipun mereka bermusuhan, Jongdae yang belum tumbang masih punya hati untuk memastikan Joohyun aman di negeri asing ini, jadi dia rela membayar bir mereka, memapah Joohyun keluar bar (ya, sambil meniti tangga dan menyusuri lorong gelap dalam dinding kota), kemudian menghentikan taksi.

Andai saja ia tidak melihat Joohyun terjungkal di tangga depan hotel, Jongdae pasti akan meminta taksi melaju menuju hotelnya sendiri. Pria itu, dengan terpaksa lagi, turun dari taksi untuk mengantar Joohyun setidaknya sampai kamar.

"Aku menghormatimu, jadi aku juga akan menghormati perempuan yang kausayangi."

Janji kepada Joonmyun menguatkan Jongdae untuk tetap memperlakukan musuhnya dengan baik hingga tur Dubrovnik resmi berakhir besok. Setelahnya, tidak ia, tidak juga Joonmyun akan berhubungan dengan wanita ini. Tidak akan ada persahabatan atau hubungan romantis baru setelah perang; segala kepahitan dan luka akan Jongdae tinggalkan di Dubrovnik, termasuk kepura-puraannya tertarik pada Joohyun.

Tadinya Jongdae kira tekadnya sudah bulat—sampai Joohyun menarik bajunya lemah dan menangis.

"Joonmyun, kau adalah cinta pertamaku .... Aku tidak bohong .... Aku sudah menanti pertemuan kita, aku bahkan—bahkan bersusah payah membangun perusahaanku sendiri dengan harapan kita akan cukup setara ...."

"Aku bukan Joonmyun-mu," ucap Jongdae tajam, kontras dengan kelembutannya saat menurunkan tangan Joohyun. "Tidur, Bae Joohyun. Aku pergi."

"Jangan! Jangan pergi, Joonmyun!" teriak Joohyun, membuat jantung Jongdae nyaris berhenti berdetak, apalagi saat perempuan yang semula terbaring di tempat tidur itu merangkul Jongdae dari belakang. Berat tubuh Joohyun menarik Jongdae hingga ikut rebah di ranjang.

"Bangsat, pintunya masih terbuka." Jongdae merengut. "Orang-orang bisa mendengarmu, Bae Joohyun. Diam dan lepaskan—"

Joohyun tak memberi kesempatan Jongdae bicara. Wanita itu sudah membungkam Jongdae dalam ciuman. Jongdae melotot sebelum mendorong Joohyun dengan kasar sampai Joohyun terempas ke ranjang dan memekik kesakitan.

Si sampah ini sangat berisik saat mabuk. Aku harus pergi sebelum pihak hotel mengira aku pengacau.

"Tidak! Joonmyun, jangan tinggalkan aku lagi .... Aku mohon! Ukh, uhuk, aku mohon ...."

Walaupun Joohyun menangis demikian dramatis, Jongdae terus berjalan keluar kamar dan menutup pintu dari luar. Joohyun masih meraung-raung parau, terbatuk, meraung lagi, begitu seterusnya. Suara kacau perempuan itu masih terdengar setelah Jongdae melewati dua kamar. Masalahnya, bukan cuma dia yang lewat koridor itu; para pengunjung hotel yang lalu lalang juga mendengar dan jadi menatapnya, berhubung mereka tahu Jongdae yang baru keluar dari kamar bernomor 612 tadi.

"Bajingan," umpat Jongdae sebelum balik kanan.

***

Ketika Jongdae membuka pintu kamar Joohyun, ia disambut oleh muntahan di balik pintu. Joohyun sendiri terkapar tak jauh dari sana, masih terisak-isak lemah. Tak lama berselang, layanan kamar yang Jongdae panggil datang dengan membawakan dua handuk baru, menggantikan handuk lama di kamar mandi Joohyun yang ia pakai untuk membersihkan bekas muntahan sebisanya. Ia hampir membaringkan Joohyun di kasur kembali ketika sadar bahwa baju itu ternoda muntahan. Jongdae mengerang frustrasi.

"Kau sebaiknya benar-benar mabuk dan tidak menuntutku nanti, Bae Joohyun," gumam Jongdae kesal sembari menanggalkan T-shirt Joohyun. Bukannya malu, perempuan yang mabuk itu malah tertawa lemah sambil mengangkat lengan.

"Aku tahu kau akan tetap memilihku, Myun." Masih terperangkap delusi, Joohyun yang hanya terbalut bra dan celana jeans mengalungkan lengannya ke leher Jongdae, menarik lelaki itu mendekat. "Ayo, kita habiskan malam bersama lagi ...."

"Sudah kubilang, aku bukan Joonmyun-mu!" bentak Jongdae. Ia dengan mudah melepaskan diri dari kungkungan kedua lengan Joohyun yang tak lagi bertenaga. "Tidur saja di situ dan jangan berulah!"

Jongdae menyambar salah satu handuk baru di ujung ranjang Joohyun, lalu berjalan ke kamar mandi. Kikikan Joohyun masih menggelitik telinganya ketika ia melembapkan handuk di wastafel. Begitu Jongdae keluar kamar mandi, Joohyun kembali menangis seperti sebelum ditinggalkan.

Perempuan gila.

Jongdae menyapukan handuk basah ke wajah Joohyun yang berkeringat. Ia juga menyeka leher dan bagian dada Joohyun yang terdedah. Jongdae memicing; selain bekas muntahan yang menembus T-shirt, terdapat beberapa bercak keunguan di payudara perempuan itu.

Cih, jadi Joonmyun-hyeong meninggalkan tanda?

"Kamu selalu lembut dan baik padaku. Kamu tidak pernah berubah, Joonmyun, jadi cintaku untukmu juga tidak akan berubah, selamanya." Joohyun terus meracau dan terkikik selagi Jongdae mencarikannya baju ganti di kopor. Ia menarik sebuah atasan piyama berlengan pendek tanpa menarik bawahannya; toh Joohyun masih bercelana.

"Aku tidak percaya akan melakukan ini pada musuhku," gerutu Jongdae, membantu Joohyun berpakaian meski enggan. "Masukkan lenganmu."

"Eung." Joohyun mengulurkan lengan ke samping, tetapi karena masih mabuk, lengannya justru melewati lubang lengan piyama. Terpaksa Jongdae memasangkan kedua lengan baju itu untuknya.

"Hei, Myun, aku jadi ingat .... Saat kita SMA, tanganmu pernah patah, kan?"

Jongdae diam saja dan Joohyun merengek jengkel.

"Myun ...."

"Ya, ya," jawab Jongdae asal. Joonmyun memang pernah mematahkan pergelangan tangannya saat membersihkan ruang klub olimpiade, tetapi tidak terlalu parah. Meski sakit, Joonmyun dapat menggunakan tangannya seperti sediakala setelah mengenakan gips selama beberapa minggu.

"Nah, waktu itu, kan, kau sulit makan, jadi aku menyuapimu. Mereka mengejekku, bilang aku sama dengan bola-bola daging yang kaumakan, hahaha .... Apa sekarang kau membalas kebaikanku?"

Jongdae tidak mengerti apa yang Joohyun maksud. Joonmyun tidak pernah cerita apa pun mengenai gadis yang membantunya makan selama lengannya patah. Kalau cerita pun, Jongdae pasti sudah melupakannya, tetapi nostalgia Joohyun mengantarkan Jongdae pada nostalgianya sendiri. Dulu, menjelang comeback artis-artis yang ia motori, Jongdae akan sering melewatkan makan malam demi rekaman yang sempurna. Saat itulah, Sunyoung datang dan mengejutkannya dengan sekotak buldak. Perempuan itu akan menyuapi Jongdae yang sibuk mengarahkan artisnya selagi memberikan masukan tentang lagu garapan Jongdae.

Baik kenangan Joohyun maupun Jongdae sebentar lagi cuma tinggal kenangan.

"Menurutmu?" Lelah menyangkal, Jongdae akhirnya mengikuti alur pikir si wanita mabuk.

"Menurutku ... kau bisa membalasku dengan menikahiku." Joohyun terkikik lagi.

"Aku tidak akan melakukannya." Jongdae mendengus meremehkan. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Ia berharap sikapnya akan diingat Joohyun yang sadar penuh sebagai penolakan Joonmyun. Dengan begitu, delusi Joohyun tentang Joonmyun yang masih mencintainya akan terhapus.

Tampaknya Joohyun tidak menerima kata 'tidak'. Perempuan itu mencebik dan memukuli dada Jongdae. "Mengapa tidak? Kamu mencintaiku!"

"Siapa bilang? Orang yang kucintai adalah Park Sunyoung!" seru Jongdae puas. Namun, kepuasan itu tidak bertahan selama gaung suaranya di kamar Joohyun. Kalimat yang Jongdae ucapkan terasa begitu benar, juga begitu salah. Senyum pria itu pun lenyap ketika Joohyun merangkulnya erat dan membenamkan wajah di dadanya.

"Tapi aku berusaha begitu keras! Aku bekerja banting tulang, merintis bisnisku sendiri agar setara denganmu! Kau tidak boleh memperlakukanku seperti ini! Myun, buka matamu dan lihat baik-baik. Aku yang selalu menunggumu datang .... Aku, bukan Park Sunyoung!"

Joohyun meneriakkan apa yang sebenarnya ingin Jongdae teriakkan.

Aku yang selalu menunggumu datang, Sunyoung-ah. Aku, bukan Joonmyun-hyeong.

Lengan Joohyun lantas melunglai di sisi tubuh; badannya panas. Semula dikira pingsan, ternyata Joohyun masih terisak-isak meski jauh lebih lemah. Sudah seharusnya energinya habis—karena Jongdae yang melihatnya juga kehabisan energi. Mungkin bukan melihat Joohyun yang mengurasnya, melainkan meresapi perasaan perempuan itu, mengganti tokoh dalam racauan Joohyun menjadi Sunyoung.

Dulu, gadis yang dibolehkan Jongdae menggelendot seperti Joohyun sekarang hanya Sunyoung. Di balik keceriaannya, sang penyanyi sebenarnya rapuh dan Jongdae akan senantiasa siap menjadi tiang penyangganya. Sebaliknya, Sunyoung dapat membaca keletihan Jongdae lebih cepat dari pria itu sendiri, lalu menawarkan kenyamanan yang Jongdae tak tahu butuh.

Namun, begitu pulang dari Dubrovnik nanti, Sunyoung akan mulai menumpu kepada Joonmyun. Kedua lengan Jongdae tak akan lagi berpenghuni. Ketika Jongdae merana, Sunyoung akan berbahagia bersama kekasih lain. Ke mana Jongdae harus bersandar jika Sunyoung sudah berpaling darinya?

Ah, patah hati sepertinya memang harus dilalui sendiri.

"Kim Jongdae."

Jongdae yakin Joohyun masih mabuk, jadi mengapa suara wanita itu mendadak terdengar tegas ketika memanggilnya? []

2 bab lagi end yuhuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top