10
"Mengapa tidak sadar juga? Kita sedang berada di tengah kursi-kursi umat. Di ujung sana, ada altar. Apa ini tidak mengingatkanmu akan sesuatu?"
Serta-merta, sudut-sudut bibir Minseok terangkat; akhirnya Heeyoon romantis juga. Gereja tempat ikatan suci mereka diresmikan di Seoul jauh lebih besar dari biara ini, tetapi kesyahduannya sama saja. Minseok jadi teringat betapa berdebar-debar ia ketika menunggu Heeyoon diantar ayah mertuanya menujunya. Betapa Heeyoon yang urakan dan tomboi selama off-cam menjelma malaikat dengan gaun pengantin putih membalut tubuh semampainya. Betapa hangat 'ciuman peresmi' yang Minseok ambil dari Heeyoon setelah janji suci terucap.
"Minseok!" pekik Heeyoon, lagi-lagi membuyarkan melankoli. "Katakan sesuatu! Jari-jariku sudah melengkung, nih, gara-gara bilang yang tadi! Jangan diam saja!"
"Jangan berisik, Heeyoon, ssh!" Minseok lekas menyilangkan telunjuk di depan bibir begitu mendengar teriakan sang istri. "Kalau kau tidak diam, aku akan menciummu disini, lalu menjadikanmu bahan tontonan!"
Sesungguhnya, ini cuma ancaman kosong. Nyali Minseok tidak sebesar itu untuk mengulang apa yang dilakukannya secara impulsif di Gverovic-Orsan. Namun, ternyata sekadar ancaman pun mampu membungkam Heeyoon; Minseok berhasil memanfaatkan kejengahan perempuan itu kalau mulai digoda-goda.
"Andai saja kita tidak sedang di biara," dumel Heeyoon sambil mengerling ke arah lain. Rupanya, sang peragawati memendam keinginan yang sama dengan Minseok, hanya terhalang ruang publik.
"Ya, tetapi berhubung kita ada di sini, ada bagusnya juga mengenang upacara pernikahan kita waktu itu." Minseok menggandeng Heeyoon, lalu berjalan santai menuju altar. "Jujur, waktu pertama menikah, badanku kebas semua karena gugup, jadi tidak merekam dengan baik kejadian yang kita alami."
"Gugup? Kau?!" Heeyoon melotot. "Kau kelihatan tidak peduli, tuh?"
Dari sana, percakapan mengalir; konyol bagaimana Minseok dan Heeyoon baru membicarakan upacara pernikahan yang membuat jantung jumpalitan itu justru nun jauh di negara pantai Eropa, bukannya pada malam pernikahan. Mereka saling berbagi rahasia: ternyata, pipi Heeyoon dulu merona karena menahan sakit perut, sedangkan muka Minseok kaku bukan karena sok cool, melainkan karena pikirannya mengambang sehingga segala hal dilakukannya dalam mode autopilot.
"Tapi, sekarang kita kan sedang santai." Minseok berdiri di depan tali sutra merah yang membatasi kursi umat dan altar suci. Heeyoon menyebelahinya. "Mau coba mengulang janji kita dulu? Biar lebih berkesan buat diingat."
"Eo?" Heeyoon langsung mengedarkan pandang ke seluruh ruang liturgi. Dibanding saat mereka pertama masuk ke sini, ruangan itu sudah jauh lebih sepi. Kalau mau melakukan hal bodoh, saksinya cuma sedikit. Karena itulah, Heeyoon mengangguk.
"Bagus." Sekali lagi Minseok menilai keadaan sekitar. Yakin 'perbuatan memalukannya' tidak akan memalukan-memalukan amat, Minseok lantas menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Kini kedua tangannya menggenggam masing-masing satu telapak tangan Heeyoon.
"Bersediakah," baru satu kata dari janji pernikahan Minseok ucapkan, tetapi air mata istrinya sudah berlinangan, "Ahn Heeyoon mendampingi Kim Minseok dalam susah dan senang, dalam kekayaan dan kemiskinan, dalam kesakitan dan kesehatan?"
Heeyoon memejam rapat sebelum mendesah keras. Minseok mendengar 'ini norak sekali' dari bibir istrinya, tetapi Heeyoon toh tetap menjawab.
"Bersedia."
Dan, rona muka yang sama gembira merekah di wajah Minseok.
"Giliranku." Heeyoon memulai dengan dehaman dan muka diserius-seriuskan. Menggelikan meski tetap cantik; apa lagi pesona Heeyoon selain menjadi menggelikan dengan cantik? "Bersediakah Kim Minseok mendampingi Ahn Heeyoon melalui mood swing-nya selama haid, mengisikan dompetnya yang kosong supaya bisa belanja, dan menjaganya dalam keadaan berbadan satu atau dua?"
Tipikal Heeyoon sekali janji pernikahan ini. Sayang sekali, ia tak bisa mengucapkan yang serupa dulu karena enggan berulah di depan mertua. Minseok tertawa renyah dengan hati penuh, aslinya gatal ingin mengecup punggung tangan Heeyoon, tetapi ujungnya cuma mengusap gemas pipi Heeyoon dengan punggung telunjuk.
"Kim Minseok bersedia mendampingi Ahn Heeyoon melalui mood swing, mengisi dompetnya, dan menjaganya dalam keadaan berbadan tiga sekalipun."
"Kupegang, lo, kata-katamu," canda Heeyoon. "Nah, karena kau sudah berjanji, kita pulang sekarang. Ibu hamil sudah capek, bahaya buat janinnya kalau tidak segera istirahat."
Tunggu. Senyum Minseok memudar bingung meskipun masih tersungging. "Janin ... apa?"
"Jangan pura-pura bodoh. Kau tahu apa maksudku." Heeyoon menyilangkan tangan di belakang punggung, suaranya jenaka. "Suamiku kan barusan berjanji buat menjaga badan yang satu lagi, jadi izinkan aku pulang lebih awal dan beristirahat. Boleh?"
"Eo. Tentu saja boleh."
Namun, sama seperti saat menikah dulu, 'boleh'-nya Minseok adalah otomatisme. Heeyoon tertawa melihat suaminya terlongo setelah menjawab. "Mengapa mukamu begitu? Tidak suka istrimu mengandung?"
Tentu saja Minseok mengerti, hanya butuh sedikit waktu untuk mengungkapkan perasaannya dengan benar. Lihat saja, beberapa langkah keluar ruang liturgi, Minseok dengan hati-hati merengkuh pinggang sang istri.
"Kau bukannya berbohong karena capek berkeliling, kan?"
"Stripnya masih ada. Aku bisa kencing di depanmu dan menunjukkan dua garis di stripnya."
"Percaya," sahut Minseok yang tidak ingin istrinya lebih frontal lagi. Heeyoon mendengus, mungkin jengkel karena tidak dipercaya, maka sekali lagi Minseok menengok kanan-kiri. Memastikan situasi aman, ia pun mengecup puncak kepala wanitanya. Suaranya kemudian begitu lembut penuh cinta, penuh syukur, sebab selain memperbarui janjinya di sebuah biara suci, Minseok juga memperoleh cinta baru di penghujung liburan yang berbadai.
"Terima kasih, Heeyoon. Semoga kau dan putra kita selalu sehat-sehat."
***
Saat Jongdae turun untuk menyerahkan kunci mobil, ia bertanya apakah mual Heeyoon kumat lagi. Heeyoon mengiakan, tetapi Jongdae tetap bingung karena baik wajah perempuan itu maupun suaminya terlalu semringah saat menjawab.
"Foto pranikah di lanskap seperti ini bagus juga."
Joonmyun mengucapkan rencananya setiba di Seoul nanti dengan suara pelan, sekadar untuk didengar Sunyoung. Namun, Jongdae—yang berdiri dekat situ untuk mengunggah foto ke SNS-nya—tentu saja masih mendengar. Tumben-tumbenan Joonmyun membahas agenda pranikah; Jongdae sampai urung menekan tanda tambah di bawah foto mereka. Padahal, ia sudah menemukan caption yang bagus setelah berkali-kali mengganti.
greatbell_0921 Semoga bahagia selalu, orang-orang kesayanganku! @kimjunmyeon @_with_dalbit
Pada akhirnya, terunggahlah foto Joonmyun dan Sunyoung yang berdiri berdua di balkon biara St. Mary, berlatar belakang laut, langit, serta Pulau Mljet yang mengepung perairan. Memeriksa kembali unggahannya, Jongdae merasa kedua orang yang sebetulnya tak saling mencinta itu mendadak serasi. Seakan-akan memang untuk satu sama lainlah mereka tercipta, bukan semata terikat oleh keinginan orang tua. Jongdae mempererat genggamannya pada ponsel, sebentar saja, sebelum melonggarkannya kembali dan menyimpan ponsel ke saku celana.
"Kalau memang ingin foto pranikah dengan latar mirip ini, kalian harus pesan cepat-cepat," kata Jongdae. Sunyoung yang hendak menimpali Joonmyun sampai terkejut dan berpaling kepadanya. Joonmyun sama kagetnya—dan Jongdae menemukan rasa bersalah lagi di mata sang direktur. Ia tidak menemukan yang demikian pada diri Sunyoung; gadis itu malah melingkarkan lengan ke siku Joonmyun.
"Aku sudah punya rencana, kok. Tinggal eksekusinya saja."
Jongdae sepertinya tahu ke mana Sunyoung ingin mengambil foto pranikahnya. Toh dulu, Jongdae merupakan bagian dari rencana pranikah itu. Mereka berdua sempat berangan-angan ingin ke Pulau Jeju atau Nami, bahkan iseng-iseng menentukan biaya yang harus disiapkan untuk berfoto. Semuanya tinggal kenangan sekarang—setidaknya untuk Jongdae.
"Pulau Jeju bagus juga dan ada paket yang terjangkau." Sengaja Jongdae menyebut nama itu, berharap bisa memicu emosi tertentu dalam diri Sunyoung. Gagal. Sunyoung terkesiap, tetapi reaksi selanjutnya tidak sesuai harapan Jongdae.
"Bagaimana kau tahu rencanaku? Joonmyun-oppa, bagaimana menurutmu foto pranikah di sana?"
Pertanyaan pertama, harusnya Sunyoung tahu jawabannya. Mungkin ia pura-pura lupa untuk 'menyerang' Jongdae yang 'konon' sudah menemukan gadis pujaan baru. Sunyoung memang terlalu manis untuk bersikap demikian, tetapi siapa tahu? Selain itu, kepura-puraannya semakin menyakiti Jongdae ketika disambung dengan pertanyaan kedua.
"Aku masih belum membandingkan foto-foto pranikah." Sejak kapan Joonmyun tertarik dengan hal ini? Sejak kapan ia dapat mengunci tatapan dengan Sunyoung seolah sungguhan jatuh cinta? Seperti itukah Joonmyun menatap Joohyun beberapa hari lalu? "Kau bisa kirimkan beberapa contoh latar yang bagus nanti."
"Malam ini pun aku bisa langsung mencarinya! Jongdae-oppa punya saran lain?"
"Tentu saja." Jongdae merasa bibirnya tertarik membentuk senyuman, tetapi tak yakin bagaimana ia terlihat. Otot-otot wajahnya menjadi kaku, robotik. Mana bisa ia tersenyum tulus saat Sunyoung telah menggusur hatinya dengan orang baru? Dengan kakak Jongdae sendiri pula, yang sebelumnya begitu mendukung hubungan mereka.
Sekarang, di mata 'orang-orang kesayangan' Jongdae, cuma ada satu sama lain. Jongdae sudah mendengar dari Joonmyun soal labrakan Joohyun di wisata berkuda Cavtat, juga bagaimana Sunyoung tetap memilih tunangannya meskipun Joohyun mengungkap segala keburukan Joonmyun. Tindakan itu pasti merupakan dampak dari foto Joonmyun dan Sunyoung di restoran hotel yang Jongdae kirim beserta pesan 'kami akan segera kembali ke Korea'. Joohyun yang terdesak tak punya cara lain selain menjadi frontal, sayangnya itu cuma membuat dia malu.
Kesimpulannya, Joohyun kalah telak.
Namun, apakah Jongdae menang? Kalau ya, kemenangan tidak pernah terasa begini pahit.
Membicarakan lokasi foto pranikah dengan mantan pacar sekaligus calon kakak ipar ternyata tidak secanggung bayangan Jongdae. Sakitnyalah yang tak terbayangkan. Sial sekali Minseok sudah pulang duluan sehingga Jongdae tidak bisa menggunakannya sebagai alasan pergi dari Sunyoung.
Oh, omong-omong, Minseok dan Heeyoon yang belakangan bersitegang juga berbunga-bunga ketika Jongdae mengantarkan kunci mobil pada mereka tadi. Mengapa tampaknya semua orang bersenang-senang?
"Nanti sore, apa kalian mau lanjut kencan?"
"Tidak, kurasa." Joonmyun memandang Sunyoung untuk kesekian kali sebagai konfirmasi. "Ya, kami akan beristirahat di hotel."
"Hari terakhir liburan dan kalian cuma mau main di hotel? Membosankan sekali!" Jongdae mengangkat tangannya sok frustrasi. Gestur berlebihan itu sebenarnya cuma untuk menutupi kesedihannya; semoga saja Joonmyun dan Sunyoung tak sadar. "Tidak mau main ke Buza Bar? Nanti malam aku mau ke sana buat yang terakhir kali."
Jangan ikut, dalam hati Jongdae berharap. Sunyoung mengabulkan permintaannya.
"Tidak, deh. Hari ini, jadwal kita padat sekali, dari berkeliling Mljet sampai berlayar ke pulau kecil ini. Aku mau langsung istirahat saja!" desah Sunyoung. "Lagi pula, aku sudah pernah ke Buza Bar."
Hari pertama liburan yang Jongdae habiskan bersama dengan Sunyoung, padahal, begitu syahdunya. Bagaimana Sunyoung mengatakan itu seolah-olah tak ada hal bermakna terjadi di sana?
Cukup. Jongdae tak lagi mampu mempertahankan façade ramahnya, jadi ia permisi sebentar untuk menghubungi Minseok soal mobil sewaan mereka. Bohong. Ia hanya masuk lagi ke dalam biara dan menyendiri di bawah salah satu jendela berwarna. Digulirnya jendela gawai ke kontak Bae Joohyun yang 'dicurinya' dari ponsel Joonmyun.
Tadinya, Jongdae ingin memaki-maki Joohyun, tetapi diurungkannya. Wanita itu ternyata sudah mengirim pesan beracun duluan. Jongdae terbelalak ketika melihat foto-foto yang Bae Joohyun kirim kepadanya. Itu merupakan tangkapan layar situs-situs berita terkenal Korea Selatan yang menampakkan wajah kakaknya dan mantan kekasihnya. Gambar Joonmyun dan Sunyoung dikolase di bawah headline-headline provokatif yang intinya sama: bahwa pernikahan mereka sudah diguncang orang ketiga bahkan sebelum disahkan.
Kebakaran jenggot, Jongdae tanpa sadar melemparkan dirinya dalam jerat Joohyun. Ia segera berselancar di mesin pencari dan media sosial seperti orang gila. Walaupun dirinya tak menemukan apa pun di situs-situs resmi, ia tidak serta-merta dapat bernapas lega
Kim Jongdae: Tangkapan layar ini palsu.
Bae Joohyun: Aku bisa membuatnya jadi nyata, kapan pun aku mau.
Kim Jongdae: Kau sudah tak punya daya apa-apa. Menyerahlah menakut-nakutiku.
Bae Joohyun: Kau punya bukti aku tak berdaya? Kalau tidak, siap-siap saja, akan kutunjukkan yang sebaliknya padamu.
Perempuan ini memang harus ditampar. Sayang sekali, Jongdae tidak pernah ingin menyakiti wanita. Huh, tetapi menyentuh Bae Joohyun akan mengotori tangan Jongdae. Sebaiknya, ia ladeni saja mau si penggoda itu dengan beberapa tindakan berjaga-jaga, lagi pula mereka tak akan bertemu lagi.
***
"Buza Bar, dari semua tempat."
Seperti biasa, Joohyun tidak tahan dengan sedikit pun ketidaknyamanan. Perempuan itu yang mengajak bertemu dan menyuruh Jongdae memilih tempat, tetapi langsung mengeluhkan betapa melelahkan perjalanannya dari hotel begitu sampai. Di salah satu meja berpayung, Jongdae tersenyum meremehkan sebelum meneguk bir dari gelas plastik.
"Gelas plastik." Benda mati pun dia hujat, batin Jongdae geli. "Apa mereka tidak punya sloki atau gelas bir di sini?"
"Kau tidak suka, Nona Direktur? Silakan pergi," jempol Jongdae menunjuk pintu di dinding batu dari mana Joohyun masuk, "kalau kau tidak lagi sayang dengan perusahaanmu, tentu saja."
Joohyun jelas tidak mengantisipasi ini, dilihat dari perubahan wajah jijiknya menjadi tegang. Meski jelas tampak enggan, ia perlahan menarik kursi dan duduk di seberang Jongdae. Setelah memesan bir tanpa selera, ia berujar.
"Perusahaanku tak ada apa-apanya dibanding perusahaan keluarga Kim. Selain itu, kami tidak menyimpan rahasia apa pun."
"Oh, rahasia bisa dengan mudah ditemukan." Jongdae menaikkan alis, lalu meneguk birnya lagi dan bersandar ke kursi. "Somethin' Sweet, populer untuk desain-desain yang mewakili para remaja dan harga pantas. Namun," Jongdae menggulir layar gawai, "terdapat indikasi plagiasi desain dari kreator kecil di media sosial. Penghindaran pajak. Fast fashion dengan mengorbankan karyawan. Bagaimana Anda menangani ini, Bae Joohyun-ssi?"
Joohyun mendengus. "Memfitnah pada akhirnya hanya akan memperburuk citra si pemfitnah."
"Tidak akan jadi fitnah kalau buktinya ada—atau diada-adakan." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top