BAB 8 - Baikan
"Apa kita tak terlalu cepat untuk memulai ikatan yang lebih serius?
Namun, melihat kesungguhanmu, keraguanku sedikit demi sedikit terurai."
***
SEPERTINYA CACA AKAN menobatkan bahwa jadi manten adalah profesi paling sibuk dan merepotkan. Meski tak ikut sibuk membantu persiapan hari-H, tetap saja Caca tak nyaman karena jadi pusat perhatian. Dikit-dikit dia mendengar kata selamat, dikit-dikit dia mendapat godaan, dikit-dikit dikasih wejangan.
Caca menghela napas. Ini sudah H-2 dari tanggal akad yang ditentukan. Panggung sudah didirikan, setiap sudut rumah dihias sedemikian rupa, makanan dan idangan sudah 90% selesai, serta tentu tak lupa pada keluarga besar yang terus berdatangan.
"Ih, anakmu dapatnya pelaut, toh? Awas lho, nanti habis nikah ditinggal berlayar mulu. Kasihan, nanti kesepian."
Caca cuma nyengir menanggapi ucapan tantenya yang suka blak-blakan.
"Ya gimana, jodohnya sama tukang berlayar." Vanda menyahut sambil tersenyum ramah.
"Tapi bagus lah, Van, mantumu pelaut. Pelaut banyak uang, tapi hati-hati, banyak juga ceweknya," celetuk wanita berdaster yang punya postur gemuk di sofa ujung.
"Gaklah, aku percaya sama Adit, pun Caca sama ayahnya," sangkal Vanda yakin seratus persen.
Saat ini mereka tengah berkumpul di teras samping, tengah beristirahat setelah menyelesaikan beberapa olahan makanan. Cuaca cukup cerah meski sudah hampir pukul empat. Langit tampak biru bersih dengan gumpalan awan putih keabu-abuan di beberap titik, memberi aba-aba bahwa mungkin saja sewaktu-waktu hujan mengguyur Bandung.
"CAHAYA JANUARI, LAKI LO DATENG, WOI!"
"Astagfirullah, ya Gustiii, ya Rabbi!"
"Neng Veraaa!"
"Allahu, astagfirullah."
Sontak saja emak-emak di sana kaget berjamaah lantaran Vera tiba-tiba muncul lalu teriak sekencang mungkin. Akibatnya, sekarang wanita yang hanya pakai sweter krem dengan celana hitam di atas lutut itu dapat pelototan dari beragam arah.
Vera menyengir kaku. "Hehehe, maaf bikin kaget," sesalnya sungguh-sungguh. Namun, sepasang matanya itu segera beralih pada Caca yang menatapnya dengan wajah kesal. "Sini! Buru!" Dia berbisik tetapi cukup kencang sehingga masih bisa didengar yang lain.
"Ada apa?" Vanda tampak kepo sampai-sampai setengah mengangkat tubuhnya yang tengah duduk santai di dekat tembok untuk merapat pada Vera.
Lagi-lagi Vera cuma nyengir-sekarang justru bikin yang lain ikutan kepo. "Itu, Ma, Adit ke sini."
"HAAAA?"
Emak-emak serempak jadi tim paduan suara.
"Serius kamu, Ver?" Caca langsung berdiri, matanya memelotot.
Vera mengangguk. "Tuh, udah di depan, lagi ngobrol sama Ayah," jawabnya jujur.
"Neng! Buru samperin!" titah Vanda sambil menarik tangan putri kesayangannya itu.
Ketiganya lantas bergegas meninggalkan teras samping, melangkah terburu-buru menuju ruang tamu yang perlu melewati dua ruangan dulu. Ternyata benar, di sana sudah ada Adit yang tengah mengobrol santai dengan calon mertuanya, Ikram.
"Yah," sapa Caca ragu-ragu.
Saat keduanya menoleh, tiga wanita itu serempak pasang senyum lebar.
"Nak Adit, kok datang gak ngabarin?" Vanda segera beralih menghampiri calon menantunya yang mengulurkan tangan. Dia lalu duduk di samping kiri Adit, siap kembali bicara. "Ada apa? Lagian pamali lho calon manten malah kelayapan. Kan, harusnya dipingit. Udah H-2 ini."
Ikram sepakat dengan ucapan istrinya. Namun, sejak duduk berhadapan dengan Adit sepuluh menit lalu, dia tak kunjung mengajukan tanya karena menduga bahwa kedatangan pria itu tak terlalu penting. Sedari tadi juga hanya ada obrolan santai.
"Ini ... mau ketemu Cahaya aja, Ma, Pa," jawab Adit dengan suara yang kentara sekali mengandung keraguan campur malu.
Mendengar itu, Vera langsung pasang tampang menggoda, apalagi kedua alisnya yang terus bergerak-gerak. Jelas saja Caca langsung memukul pelan lengan kirinya.
"Oh, ya udah atuh, kalian ngobrol aja dulu, tapi gak bisa di sini, ya?" Vanda mengedarkan pandangan, bikin Vera refleks ikutan.
Seisi rumah tengah sibuk oleh manusia-manusia atau benda-benda keperluan pernikahan lusa. Di lantai satu nyaris tak ada celah sedikit pun, semua ruangan penuh, kecuali kamar pemilik rumah.
"Di lantai dua kayaknya kosong," sambung Ikram. Sarannya langsung memecahkan masalah kecil itu.
Vanda mengangguk. "Iya, kalian di sana aja ya ngobrolnya. Nanti Mama anterin camilan sama minuman ke sana."
Kalimat itu kurang lebih pengusiran lembut dari wanita 56 tahun yang masih terlihat lebih muda dari usianya tersebut. Vera mendukung asumsinya dengan cara mengusir lembut Caca.
"Ya udah ..., Ma, aku ke atas dulu," pamit Caca dengan kaku. Bahkan, tubuhnya sedikit enggan meninggalkan sofa. Terlalu aneh baginya kalau hanya menghabiskan waktu berdua di sebuah ruangan dengan lawan jenis.
"Tiati ya, jangan kokop dulu, belom sah!" teriak Vera sekencang mungkin, yang sukses membuat Caca langsung membeku di anak tangga kelima. Sepertinya sahabatnya itu memang sengaja usil, biar para pengunjung rumah mendengar dan ikut memperhatikan keduanya.
"Heh, mulutnya!" Itu suara Vanda yang menegur dengan setengah bercanda.
Caca meneguk ludah, menggeleng, lantas lanjut melangkah sambil mencoba mengenyahkan kekesalan di hati.
Di lantai dua memang tak terlalu banyak ruangan. Hanya ada tiga: kamar Caca, kamar Fahmi, dan satu ruang kosong yang seringnya jadi studio dadakan Fahmi untuk mencurahkan hobi melukisnya.
"Silakan duduk," kata Caca, sedikit canggung, saat keduanya sudah tiba di dalam ruangan.
Ruangan tersebut tak terlalu luas. Setiap barang yang ada di sana juga ditata serapi mungkin sehingga masih tersisa tempat cukup luas untuk diisi satu set sofa empuk lengkap dengan meja kaca. Ada dua rak kecil berisi buku-buku beragam genre, beberapa lukisan tergantung di dinding, dan pot tanaman hias mengisi sudut dekat jendela.
Tiga kaca besar yang ditutup dua lapis tirai menjadi dinding luar ruangan, memberikan pemandangan langsung mengenai keadaan di luar rumah. Namun, karena kediaman Ikram berada di tengah kompleks, jelas saja tak ada hutan atau taman bunga yang terlihat. Namun, kalau malam tiba, jangan lupa berkedip karena pemandangan Bandung di malam hari itu benar-benar memanjakan mata, dan Caca bisa menikmatinya dari balkon ruangan ini.
"Kamu jago lukis?" Suara Adit akhirnya terdengar setelah jeda hening cukup lama.
"Bukan," Caca menggeleng, "A Fahmi. Dia jago lukis, suka baca, suka main gitar-bahkan pernah bikin lagu. Ini kayak studio dia. Aku cuma numpang doang di sini."
Saat mengatakan itu, kenangan tampil begitu saja dalam benak Caca. Jelas membuat bibir tipisnya tanpa terkontrol langsung melebar.
"Jadi, karena darah seni kakakmu, kamu juga jadi kecipratan bisa gambar meski di bidang digital?" simpul Adit. Dia mengambil duduk di sofa paling panjang-yang muat untuk tiga orang-dan lanjut mengamati ruangan.
Caca duduk di sofa tunggal, tepat berhadapan dengannya, lantas membuang pandangan ke sembarang arah. Nyaris saja dia beradu tatap dengan Adit tadi. Tidak, tidak, itu terlalu canggung untuk saat ini. "Kurang lebih," jawabnya kaku. Lalu, hening lagi. Ah, bikin Caca tak nyaman dengan suasana canggung ini.
Dia berdeham. "Anw, ada apa Aa sampai jauh-jauh ke sini?" tanyanya to the point. Rasanya ketika bersama Adit, setiap detik jadi terasa satu menit.
Adit mengalihkan tatapan, langsung menatap penuh pada wajah Caca yang tampak salah tingkah. "Aku mau minta maaf," jawabnya tanpa ragu sedikit pun.
"Buat?" Mau tak mau, Caca juga memfokuskan pandangan pada lawan bicaranya meski langsung membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.
"Beberapa hari ini." Sekarang giliran Adit yang mengalihkan pandangan. Dia berdeham. "Aku udah salah paham sama kamu. Yaaa ..., jujur aku udah mikir buruk tentang kamu sama sahabat-sahabatmu."
"Zeze?"
Adit menggeleng.
"Ega? Gavin? Isam? Dian?" sambung Caca.
Kali ini Adit mengangguk meski dalam gerakan pelan.
Oh, obrolan dengan Vera ternyata terbukti. Adit memang cemburu padanya yang tak memiliki batas interaksi dengan sahabat-sahabat prianya.
"Aku sama mereka sahabatan sejak semester dua, tapi hubungan dengan mereka tak lebih dari sahabat. Mereka emang jadi pria yang paling dekat dengan aku selain A Fahmi dan Ayah. Tapi, mereka udah kayak keluargaku, karena merekalah yang selama ini jadi teman dalam segala situasi untukku," jelas Caca tanpa keraguan.
Adit bukan tak percaya, dia hanya masih belum selesai sepenuhnya dengan traumanya. "Ya, aku percaya. Jadi, aku ke sini untuk meminta maaf sama kamu karena udah gak percaya sama kamu, Cahaya."
Detak jarum jam mengambil alih suasana. Caca memandangi wajah Adit dalam diam, kembali terbayang suara Vera yang menjelaskan informasi singkat tentang Adit dan Debi. Hubungan yang berakhir kandas karena orang ketiga yang semula berawal dari kata teman.
"Gak apa-apa," balas Caca yang mengakhiri obrolan mereka terkait topik itu.
Suasana kembali hening. Caca yang memang dasarnya seorang pasif dalam obrolan, justru terjebak dengan lawan jenis, hanya berdua. Duh, rasanya dia mau lari kabur detik itu juga.
Adit berdeham lagi. Refleks Caca beristigfar dalam hati karena kaget.
"Ca, bisa ke sini sebentar?" tanya Adit yang lebih condong ke arah permintaan.
"Eum ...." Caca bingung hendak menjawab apa, jadi dia berakhir memilih menurut pada ucapan Adit.
Sekarang mereka duduk di sofa yang sama meski di ujung sama ujung. Adit melebarkan senyum misterius yang nyaris tak bisa dilihat oleh Caca. Tangan kirinya menyugar rambut, lantas mendorong tubuhnya untuk merapat pada Caca.
"Tolong ulurin tangan kanannya," pintanya dengan suara jernih yang membuat Caca hanya bisa menurut tanpa perlawanan.
Wanita itu diam membisu dalam tanda tanya besar terkait apa yang akan dilakukan Adit selanjutnya. Jangan sampai deh ucapan Vera terbukti. Waduh, bisa-bisa sepatu pentofel Fahmi melayang ke arah mereka.
"Sudah."
Caca mengerjap, tersadar dari lamunan dalamnya. Saat menunduk, dia menemukan sebuah gelang emas rantai dengan liontin motif bunga matahari sudah melingkari pergelangan tangan kanannya.
"Ini pemberianku, murni tanpa tujuan atau motif apa pun. Sebenarnya aku mau kasih ini pas kita prewed di Ciwidey, tapi ...." Ucapan Adit tak selesai.
"Tapi Aa ngambek sama aku karena cemburu sama Ega dan yang lain?" lanjut Caca tanpa beban.
Ucapannya membuat Adit langsung buang muka sambil berdeham canggung. Dia diam cukup lama sambil melarikan pandangan ke arah lain, tetapi tangannya tak melepas genggaman dari tangan kanan Caca.
Caca bingung antara mau tertawa lepas atau menikmati ritme detak jantungnya yang nyaris belingsatan karena ulah Adit. Namun, akhirnya dia memilih tertawa-tawa yang garing-untuk menutupi pipinya yang memanas begitu saja.
"Kok, malah diketawain, sih?" protes Adit-yang tanpa sadar-dengan nada merajuk.
Tawa Caca malah lebih lepas. Adit merengut, tetapi menikmati bagaimana lucunya wanita itu tertawa. Ah, padahal dia tak mandi kembang, tetapi sore-sore gini mendadak bisa melihat bidadari yang tengah tertawa.
Bidadari?
Senyum Adit langsung luntur, diganti oleh pipinya yang memanas saat kepalanya terus mengulang kata 'bidadari' yang tadi disematkannya untuk Caca.
"Ca."
Tawa Caca langsung lenyap saat sesuatu jatuh ke pangkuannya.
Kepala Adit.
Adit membenamkan kepalanya sambil memejamkan mata di pangkuan wanita itu. Lantas, dia kembali berujar, "Aku minta izin buat tiduran bentar di pangkuan kamu, boleh?"
Tubuh Caca membeku begitu saja. Lidahnya juga mendadak kaku, kesulitan menyahuti ucapan Adit.
Karena lama tak ada jawaban, Adit sontak menoleh dan mendongak, langsung menatap tepat pada kedua mata Caca.
Bunuh saja Caca, tolong!
"Cahaya, kamu gak ngizinin, ya?" tanya Adit.
Ah, padahal Adit bicara dalam nada biasa saja, tetapi itu berubah jadi sengatan listrik yang membuat Caca langsung gelagapan.
"E-eh, g-ag-gak kok, bo-boleh, boleh aja, A," jawab Caca yang bingung dengan ucapannya sendiri.
A? Aa? Hey, apa mereka sudah sedekat itu? Namun, memanggil 'kakak' juga rasanya lama-lama aneh karena mereka sebentar lagi akan menikah.
"Oh, oke," kata Adit dengan santai. Lalu, dia lanjut membenarkan posisi tidurannya dan memejamkan mata.
Caca menahan napas mati-matian, padahal tak ada gas beracun di ruangan itu! Tolong, rasanya Caca ingin diselamatkan sesegera mungkin meski tak ada bahaya di sana.
Berbeda dengannya, Adit justru tampak tidur dengan nyaman berbantalkan paha Caca. Namun, mungkin sadar kecanggungan yang teramat kuat di antara mereka, pria itu berdeham dua kali.
"Ternyata menyiapkan pernikahan dalam waktu singkat itu cukup menyita waktu juga, ya," katanya dengan mengambil topik sekenanya saja. "Tapi, untungnya temen-temen kamu dan temenku banyak bantu."
Duh, topik apa ini?
"I-iya." Suara Caca hanya terdengar segitu saja.
"Kamu capek gak?" tanya Adit dengan mata masih tertutup rapat. Napasnya mulai teratur.
"Gak, A-Aa kali yang capek," jawab Caca lalu menelan ludah yang terasa mendadak susah.
Adit menggeleng pelan-berusaha keras tak membuat banyak gerakan percuma karena itu bahaya buat jantung mereka. "Gak, demi wanita yang ...." Ucapannya menggantung karena kepalanya sulit menemukan kata yang pas untuk Caca. Berkat itu, kecanggungan Caca sedikit luntur, tetapi berganti rasa tak nyaman yang begitu asing.
Asing? Ah ya, mereka masih terbilang asing. Ralat-mungkin-baru kenal.
"Demi wanita yang kupilih di antara ribuan wanita di bumi," lanjut Adit.
"Ribuan?" Caca refleks mengulang kata itu. Jelas saja sensor wanitanya masih berfungsi.
Hey, wanita itu makhluk pencemburu. Bahkan, meski mereka masih asing, Caca tetap saja tak suka mendengar dia disandingkan dengan ribuan wanita. Hey-hey, apa ucapan tantenya tadi benar, bahwa Adit punya banyak wanita?
Adit langsung membuka mata, sadar akan sesuatu, dan dia menemukan wajah Caca yang nyaris cemberut. "Maksudnya, kamu yang dipilihkan oleh Allah di antara semua kemungkinan yang kutemukan di wanita lain yang selama ini kukenal. Kamu menjadi jawaban Allah atas semua doaku selama ini."
Meski belibet, kalimat panjang itu sukses membuat Caca blushing. Wanita itu bahkan tak bisa menahan bibirnya untuk tak melebar membentuk senyuman manis yang ditunggu-tunggu Adit.
Namun, tak ingin menggoda lebih jauh, Adit memilih kembali memejamkan mata dan pura-pura tidur. "Lima menit ya, Cahaya, aku mau tidur dulu," katanya sebelum benar-benar berusaha untuk tidur.
Caca seketika kembali membeku. Sepasang matanya menatap lebih lama pada wajah tenang Adit. Napas pria itu tampak teratur, kedua tangannya juga diam dalam posisi bersedekap. Lalu, tiba-tiba tangan kirinya jatuh bebas ke pinggiran sofa.
Apa Adit benar-benar tertidur?
***
OEMJIIIII! PARRA! PARRA! PARRAAAA!
SWEET-NYA ADITYA TUH GAK BAIK BUAT KESEHATAN JANTUNG, GAIS.😭😭😭🙏
Ini author-nya aja mo tiwas pas ngetik adegan itu.😭😭😭😭
Helebbb!
Duar, Nikah! Terbit akhir tahun lho, ya. Keep pokoknya, soalnya biar liat se-uwu apa Adit sama Caca.😭😭🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top