BAB 6 - Pendekatan

"Kadang celah sekecil apa pun dalam sebuah hubungan akan menjadi masalah besar jika diabaikan."

***

KARENA CACA BILANG 'terserah', Adit tak akan melewatkan kesempatan itu untuk melakukan aksi pendekatan. Jadi, setelah menunaikan salat Zuhur, mereka pergi ke Bandung Indah Plaza dan jalan-jalan di sana.

Pertama-tama, Caca dan Adit pergi ke beberapa toko baju dengan canggung. Namun, sampai di sana, Caca malah kebingungan karena merasa semua baju di sanna sama saja. Akhirnya, dia menelepon Vera dan melakukan video call.

"Aku yang bayar," tahan Adit begitu Caca akan melunasi belanjaannya-total ada empat totebag.

"Eh?" Caca berkedip dua kali, menatap Adit dengan canggung.

"Aku yang baya, calon istriku sayang," ulang Adit yang sukses membuat dua kasir di depannya ikut salah tingkah.

Caca? Sudah jelas dia mau menenyembunyikan wajahnya di antara gantungan-gantungan pakaian.

Berbeda dengannya, Adit malah terlihat santai menyerahkan credit card. Dia juga mengambil keempat totebag dari tangan Caca, menyatukannya di tangan kiri. "Ayo, sini!" pintanya yang bikin wanita tomboi itu kebingungan. "Tangan kamu, Sayang-"

"Duh!" sela Caca refleks sambil menutup muka.

"Kenapa?" Adit menatapnya intens.

"Kok sayang sih?" Demi apa pun, Caca sudah tak bisa menunjukkan mukanya lagi karena sudah pasti semerah tomat. "Maluuu."

Adit lalu melirik dua kasir di depannya yang tampak berusaha menahan senyum. "Calon istri saya, Mbak," dia malah sengaja pamer, "tapi malu-malu."

Kedua wanita itu hanya tersenyum canggung. Untung belum ada pelanggan lain sehingga mereka bisa berinteraksi sejenak.

"Udah, ayok!" Tanpa izin, Adit menggandeng tangan Caca dan melangkah santai dari sana. Tentu dengan Caca yang masih menutupi mukanya.

Selesai dari toko baju, mereka mampir ke kafe dulu dan isi perut dengan camilan ringan di sana. Lagi-lagi Caca dibuat mati kutu karena beberapa kali Adit sengaja menguncinya dalam tatapan intens.

Bagi Adit, ketika Caca salah tingkah justru terlihat makin menggemaskan. Dia mengabaikan saran Sam yang bilang kalau untuk tahap pendekatan, wanita itu tak suka mode barbar dan harus secara bertahap. Namun, Caca ini kan calon istrinya, jadi dia pakai caranya saja, tidak perlu teori-teori segala macam.

"Kok, Kakak nekat lamar aku?" Tadinya Caca mau mengalihkan suasana canggung ini dan membuat Adit berhenti menatapnya. Namun, sepertinya dia salah pilih topik.

"Kamu mikir aksiku nekat?" Adit malah balas bertanya.

Caca mengangguk patah-patah.

"Entah, saat melihat kamu di panggung, aku gak bisa ngendaliin diri, kedua kakiku melangkah begitu saja untuk menghampirimu," jawab Adit serius, bahkan sambil membayangkan momen pertemuan mereka di panggung. "Tapi mungkin gara-gara pertemuan pertama kita juga yang bikin aku sedikit yakin atas keputusan impulsif itu."

"Sedikit yakin?" Caca mengernyit dalam, penasaran dengan kedua kata itu.

"Awalnya. Lalu, niat itu makin kuat saat aku berdiri di depan kamu, melihatmu salah tingkah dan panik."

Jawaban Adit membuat Caca terdiam. Dia hanya mengarahkan sepasang matanya pada cake stroberi yang sisa separuh dan membiarkan telinganya diisi oleh keramaian para pengunjung di luaran sana. Di kafe tempat mereka sekarang, ada beberapa pula pengunjung yang kebanyakan adalah pasangan.

"Kenapa? Kenapa pilih aku deh? Secara cantik enggak, feminim enggak, trendi juga enggak," sambung Caca.

Tanpa dilihat Caca, Adit melebarkan senyum. "Itu ya yang menjadi sumber insecurity kamu?" terkanya.

Caca mengangkat pandangan. "Insecure?"

"Ya," Adit mengangguk, "tapi aku pikir kamu itu penuh rasa percaya diri karena kamu ya kamu, bukan wanita feminim yang jadi bahan insecure kamu."

Sebenarnya Caca juga bukan tipe wanita yang mudah insecure. Dia tomboi karena dia nyaman, dia tampil seadanya juga karena ya itu dirinya. Sebelumnya dia tak pernah merasa perlu mengubah diri menjadi seperti orang lain dan menghilangkan jati dirinya. Namun, hal itu berubah setelah Zeze menolaknya dan memilih Deby. Caca merasa ... kekalahannya adalah karena dia tak menjadi wanita idaman Zeze, karena dia tak berusaha melakukan upaya secara maksimal untuk mendapatkan pria itu.

"Tujuan hubungan kalau semata-mata untuk urusan dunia, gak bakal bisa tahan lama." Suara Adit menyadarkan Caca, membuatnya kembali menatap pria itu. "Cantik fisik bisa luntur, kaya harta bisa hilang. Aku lihat kamu bukan dari satu sisi aja, dan aku mulai menemukan banyak hal istimewa dalam diri kamu," dia membalas tatapan Caca, "jadi, jangan malu untuk jadi diri sendiri di depan aku, biar aku makin banyak melihat hal indah dalam diri kamu."

Adit mengatakan kalimat terakhir dalam bisikan dan sambil sedikit memajukan wajah. Sontak saja muka Caca terasa panas.

Sadar aksinya berlebihan, Adit pun berdeham. Tenang, tenang, dia harus tenang meski apa yang dikatakannya tadi benar-benar dari dalam hati. "Habis ini ke toko mainan, yuk?" ajaknya, mencairkan suasana.

"Boleh."

Lantas, keduanya lanjut menghabiskan makanan yang tersisa. Sesekali ada obrolan ringan yang topiknya hanya seputar kegiatan sehari-hari atau hal random. Selesai makan, mereka pun lanjut jalan berdua-tentu saja lagi-lagi Adit minta pegangan tangan.

"Buat keponakan, kah?" tanya Caca begitu mereka memasuki rak mainan remote control.

Sekarang mereka mampir ke toko mainan atas ajakan Adit. Melihat bagaimana seriusnya pria itu memilih-milih mainan, Caca mengira Adit hendak memberikan kado untuk sepupu atau adiknya.

"Bukan," Adit kelihatan canggung, "buat ... aku," lanjutnya sembari kembali menunduk, melihat-lihat barisan kemasan mainan dengan remote control.

Caca mengernyit mendengar jawaban itu. Dia kaget sekaligus kagum. Ternyata benar, laki-laki akan tetap memiliki sisi anak-anak bahkan meski sudah beranjak dewasa.

"Emmm, gak apa-apa kan kalau aku punya hobi aneh gini?" sambung Adit dengan suara pelan.

Tak tahan melihat pria tinggi yang tengah jongkok di depannya salah tingkah, tawa Caca akhirnya berderai. "Emangnya itu masalah?" balasnya sembari berusaha menghentikan tawa.

"Yaaa ... siapa tahu kamu ilfeel?" Adit menatap bingung pada wanita yang tak juga berhenti tertawa itu. Kenapa tawa Caca begitu lepas?

"Gak lah," Caca masih kesulitan menahan tawanya, "mana ada hobi begitu aneh? Tapi jujur lho, lihat Kakak, aku jadi ingat pas pertama Arvan minta dibeliin mainan mode malu-malu."

Wanita itu bicara sambil senyum lebar, bikin kedua matanya menyipit sempurna. Lantas, sembari meneruskan cerita tentang si bocah, tangan kanannya terulur tanpa sadar, dan berhasil membuat Adit termangu.

"Beli aja apa pun kalau itu yang membuatmu bahagia, Kak," kata Caca sambil menepuk-nepuk pelan kepala Adit yang masih jongkok di depannya.

Satu tepukan, dua tepukan, lalu tepukan ketiga mengambang di udara. Lantas, sepertinya Caca baru sadar atas aksinya itu sehingga buru-buru menarik tangan, ekspresinya luntur, dan dia berdiri tegap; berdeham dengan canggung.

Adit? Pria itu masih diam, antara kaget, salting, dan nyaman atas perlakuan Caca-yang sialnya justru menyerempet kenangan lama.

"Ekhem!" Adit juga mati-matian mengembalikan sikap cool-nya. Dia berdiri dengan sebuah kotak mainan pilihan di tangan kiri. "Oke, a-aku udah dapat nih, tinggal bayar."

"O-oke," balas Caca gugup.

"Ca! Caca!"

Caca menoleh begitu teriakan dari suara familier terdengar dari belakangnya.

Ternyata ada Ega, Dian, Gavin, dan Isam. Mereka berlari kecil untuk menghampirinya. Namun, tanpa disadarinya, Adit memasang ekspresi penuh misteri. Pria itu juga buru-buru menyembunyikan mainannya.

"Yo, bro!" Caca menyapa mereka dengan senyuman, wajahnya terlihat semringah-ekspresi yang baru pertama kali dilihat oleh Adit. Malah, dia dengan santai melakukan tos simpel khas kelompok mereka.

Melihat hal itu, diam-diam Adit merasa tak nyaman. Entah kenapa, bayangan mantannya muncul begitu saja. Deby kurang lebih seperti Caca, akrab dengan pria. Mulanya, dia tak mempermasalahkan karena Deby mengaku hubungan dengan para pria hanya sebatas teman. Namun, ternyata hal itu menjadi celah yang membuat hubungan mereka kandas.

Adit tak ingin menyamakan Deby dan Caca, tetapi belajar dari pengalaman, kadang celah sekecil apa pun akan menjadi masalah besar jika diabaikan.

Melihat seakrab apa Caca dengan keempat pria itu, perlahan-lahan hati Adit terbakar sesuatu yang terasa tak nyaman. Trauma membuatnya takut hal yang sama akan terulang kembali.

"Aku pamit mau bayar dulu, ya," katanya pelan.

"Eh, oke," balas Caca.

Sayangnya, Cahaya Januari tak sepeka itu untuk menyadari suasana hati Adit yang langsung berubah buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top