BAB 3 - Dikabulin, kan!

"Memang, bertemu mantan gebetan saat belum move on itu
bikin mau lompat bebas dari pohon cabai."
***

MOCHAMMAD REGA JAETREYA sebenarnya anak DKV, tetapi jiwa bisnisnya lebih kencang. Sejak kuliah, pria itu sudah sering terlibat berbagai usaha jual-beli, dari offline sampai online market. Barang yang dijual pun beragam. Sengaja katanya, selagi muda, Ega mau mencoba apa saja untuk bekal pengalaman masa tua.

Hari ini, Ega meresmikan kafenya. Kafe tersebut menyasar anak muda dari usia 14 sampai 22 tahun. Jadi, menunya pun anak muda banget. Dari jajanan kekinian—semacam seblak beragam variasi—sampai menu-menu unik yang menarik.

Acara peresmian itu berlangsung sederhana dan hanya dihadiri oleh beberapa teman Ega sekaligus pengunjung pertama.

Caca datang dengan outfit kebanggaan. Dia mengenakan kaus oversize putih sebagai dalaman yang dilapisi jaket jins belel dan celana panjang senada, pun dengan sepatu sneakers abu-abunya. Sebagai pelengkap, dia memakai tas selempang hitam dan kacamata bening. Lalu, yang bikin tampilannya makin fresh adalah gaya rambut wolf cut-nya. Tomboi abis!

"Masih cewek tulen kan kamu?" todong Ega, setengah bercanda, begitu acara selesai.

"Iyalah!" Caca cemberut.

Tawa Ega meledak. "Haduh, syukurlah. Siapa tahu kan, kamu jadi gak doyan laki sehabis nembak sahabat sendiri tapi malah dibalas undangan." Ejekannya benar-benar tidak difilter.

Caca cuek saja, berusaha pasang muka tebal untuk menghadapi mulut julid teman-temannya. Namun, topengnya seketika pecah begitu muncul sosok yang tengah mereka bicarakan.

Zeze dan Deby datang terlambat. Caca malas setengah mati melihat keduanya karena hatinya masih kebakaran. Memang, bertemu mantan gebetan saat belum move on itu bikin mau lompat bebas dari pohon cabai.

"Hai, Ca!"

Terlambat. Zeze sudah melambai ke arahnya sambil pasang senyum lebar. Sialnya, Deby memaku tatap juga padanya. Tatapan yang ... penuh selidik dan merendahkan? Entahlah, Caca merasa tatapan itu seperti kibaran bendera perang.

Deby memang wanita tulen yang feminim. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai bergelombang, tampak lembut terawat sehingga sedikit bersinar saat tertimpa cahaya lampu secara langsung. Fostur tubuhnya juga ala-ala model : langsing, kulit putih, bentuk bahu tegap dengan sepasang tangan ramping. Caranya berdiri atau berjalan juga tampak anggun. Belum lagi pakaian yang dikenakannya hari ini begitu menyihir dalam sekali pandang meski hanya memakai outer rajut bulu pink, tanktop abu-abu, dan rok selutut peach; kaki jenjangnya dibiarkan terekspos dan pakai high heels putih.

Inner beauty, mungkin itulah yang membuat Deby bisa menarik perhatian siapa pun orang yang melihatnya. Termasuk Caca, yang sampai nyaris tak bisa mengedipkan mata. Ah, bahkan aroma Miss Dior Absolutely Blooming Woman menguar kuat dari tubuh wanita itu. Deby benar-benar seperti setangkai mawar merah di tengah kumpulan mawar putih.

Nyali Caca langsung ciut. Pantas saja Zeze langsung berpaling ....

"Ngedip!" Vera menjentikkan jari di depannya. Dia hendak kembali bicara, tetapi di luar dugaan, Deby mendekat dan berhenti di depan keduanya.

"Caca, ya?" sapa wanita itu dengan suara lembut yang sengaja dimanja-manjakan—menurut Caca begitu. Entah deh, hatinya mendadak dirasuki setan julidiyah.

Caca berdeham, berusaha menetralkan wajahnya yang sudah menampilkan beragam reaksi. "Iya, kenapa?" Secara tak sadar, dia mengeluarkan suara dengan nada sinis.

"Oh ...," Deby seperti kehilangan kata-kata, "gak sih, mau kenalan aja," jawabnya diakhiri senyuman tipis. "Soalnya Zeze suka cerita banyak tentang kamu."

"Begitu?" Caca juga tak sadar, dia tampak excited mendengar nama Zeze. Bodoh memang. Dulu setiap mendengar kata Zeze dari mulut orang, dia akan langsung jadi perespons yang ekspresif. Kebiasaan yang harus segera dibuang.

"Ya," kata Deby. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Caca. Jadi, melihat bagaimana kualitas wanita itu, Caca merasa dua kali lipat direndahkan.

"Dia kalau cerita soal kamu suka kelihatan bahagia. Wajar sih, kan kamu sahabat terbaiknya. Jadi, sebagai pasangan, istri sahnya, aku cuma jadi pendengar setia," sambung Deby.

Sepertinya dia memang sengaja menekankan dua kata khusus itu untuk memancing Caca. Genggaman Vera menguat pada lengan Caca. Malah dia yang kebakaran meski tidak dilibatkan dalam dialog ini.

"Oh, oke." Untungnya, Caca punya sisi cuek yang menyebalkan, jadi dia bisa lebih cepat terbebas dari jebakan Deby. "Ya udah, aku pamit ya, mau lanjut gibahin urusan negara sama Vera."

Sambil melangkahkan kaki kanan, dia menarik paksa tangan Vera. Keduanya pun berhasil meninggalkan tempat dengan Vera yang diam-diam melayangkan tatapan penuh menantang pada Deby.

Tiba-tiba ponsel Vera berdering. Fajar menelepon. Dia pun memelankan langkah dan mengecek benda elektronik di tangan.

"Aku sendiri aja dulu, mau push rank. Kalau ada kamu di sampingku, yang ada malah diajakin gibah gak henti-henti," celetuk Caca.

"Dih."

Akhirnya keduanya berpisah. Caca naik ke lantai dua, melihat-lihat suasana yang masih sepi. Ada banyak kursi yang masih kosong, sengaja ditata dua untuk satu meja, mengusung konsep couple room. Kemudian, pandangannya jatuh ke sudut ruangan, dekat pohon hias segar dengan dinding kaca kafe yang langsung mengarah ke parkiran. Cocok.

Caca duduk di sana, mengeluarkan ponsel, pasang earphone, lalu login Mobile Legends.

Sayangnya, ketenangan itu tak bertahan lama. Setelah menyelesaikan dua pertandingan, ada seseorang yang datang.

"Push rank terooos!" cibir Zeze sambil meletakkan segelas jus stroberi ke meja Caca.

"Jauh-jauh kamu! Alergi kuman aku," sembur Caca jutek. Matanya masih tak lepas dari ponsel karena timnya sedang team fight.

"Yah, galak banget. Pawangmu ke mana?" Zeze melongokkan kepala, mengintip pertandingan Caca.

"Skidipapap sama pacarnya." Caca menjawab asal.

"Astagfirullah, Cahaya! Namamu aja bagus, mulutmu jahat bener, ya!" Vera tiba-tiba muncul bersama pacarnya.

Caca loading sebentar. Memang mulutnya suka lepas kontrol kalau dia sedang tidak fokus. "Astagfirullah, maaf, Ver, Jar."

"Ya elah, santai aja!" Fajar malah tertawa tanpa beban. "Tanpa kamu bilang juga aku udah pasti lakuin, kok—"

"WOI!" teriak Vera dengan muka semerah tomat matang.

Fajar tertawa lagi. "Maksudnya setelah sah," ralatnya.

Zeze menarik kursi dari meja sebelah dan duduk di samping Caca. Vera dan Fajar pun mengikutinya. Mereka bergabung di meja yang sama.

"Bisa banget kamu nemuin nih anak," kata Vera. Tanpa izin, dia menyedot minuman Caca. "Oh aman, gak ada pelet."

"Ya gampang, kalau si Caca hilang pas acara, cari aja di sudut-sudut atau di tempat sepi," jawab Zeze apa adanya.

"Kamu kira aku kuntilanak." Caca manyun, masih lanjut main Mobile Legends.

Ega, Isam, Gavin, dan Dian bergabung setelahnya. Sudut kafe yang tadinya sepi pun berubah ramai. Mereka melepas rindu juga kepenatan setelah berjibaku dengan setumpuk kewajiban hidup.

"Nih anak push rank terus. Jadi, kapan kamu lamarannya, hmm?" Zeze nanya sambil merangkul pundak Caca. Itu sudah jadi hal yang lumrah harusnya, kalau Zeze belum menikah, dan Caca akan bahagia karenanya.

"Iya lho, kan kemarin ada tuh yang mau datang ngelamar," sambung Ega.

"Iya weh, dari geng kita, cuma kamu yang belum ada pasangan." Isam menyambar.

"Tenang aja, entar juga aku dilamar," balas Caca tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponsel.

"Entar kapan?" Ega dengan semangat memojokkan Caca. Baginya, membuat wanita itu kesal adalah kesenangan tersendiri.

"Entar malem!" Caca menjawab dengan kesal. Entah kenapa, dia jadi sensian belakangan ini. Mungkin efek ditinggal nikah dan sekarang di dalam dunianya masih ada Zeze.

"Aamiin!" jawab teman-temannya dengan kompak.

Tiba-tiba ponsel Caca berdering. Ada panggilan masuk dari mamanya.

"Asalamualaikum, Neng." Suara lembut Aninditya Vanadya, mamanya, langsung terdengar begitu ponsel ditempelkan ke telinga kanan.

"Waalaikumsalam. Iya, Ma, kenapa?" sapa Caca. Teman-temannya langsung diam.

"Kapan pulang, Neng?" tanya Vanda.

Caca mengernyit heran. Tumben banget mamanya bertanya kapan dia pulang, dan kenapa ada keramaian yang samar-samar di seberang sana, ya?

"Habis Isya mungkin, tergantung anak-anak," jawab Caca.

"Kalau bisa sekarang aja, Neng, soalnya ada tamu."

Vera tampak kepo, bola matanya tak berhenti bergerak.

"Tamu?"

"Iya, ke kamu tamunya. Namanya ...."

Caca menunggu.

"Namanya Aditya, sama keluarganya," sambung Vanda.

"HAH, ADIT?" Caca refleks menegakkan tubuh. Kedua mata bulatnya membola. Teriakannya bikin teman-temannya kaget. "Apa tadi?"

"Nak Adit ke rumah sama orang tuanya. Nih, sekarang lagi ngobrol sama ayah kamu," jawab Vanda.

"Masa, sih? Yang bener?"

"Apa?" Vera tak bisa menahan diri lagi. Dia kepo setengah mati.

"Adit ke rumah, sama orang tuanya," jawab Caca dalam bisikan.

"APAAA?" Vera ikutan teriak. Ega, Zeze, Isam, Gavin, Fajar, dan Dian kompak tutup telinga. "HAHAHA, AKHIRNYA!"

"Bisa pulang sekarang kan, Neng? Soalnya ini mereka udah nunggu, kayaknya ada urusan penting," kata Vanda.

"Ya udah, Ma, aku pulang sekarang. Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Telepon pun berakhir.

Caca menatap panik pada teman-temannya. Adit ke rumah, sama orang tuanya, artinya .... Doa teman-temannya terlalu manjur!

***

50 komen buat buka bab berikutnya, ygy.😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top