BAB 16 - Tercium Masalah
"Mau selama apa pun terpisah, pria tetap akan luluh saat tiba-tiba kembali bertegur sapa dengan masa lalu yang berkesan untuknya."
***
"Hai, Dit."
Gerimis tengah melanda Bandung malam itu, membuat atmosfer lebih dingin dua kali lipat. Meski begitu, keramaian seolah-olah tak pernah mati di jalan raya, mobil dan motor tetap berlalu-lalang. Namun, di antara keramaian itu, MG 5 GT kuning yang dikendarai Adit justru merapat ke ruas jalan yang sepi.
Ada seorang wanita yang tengah duduk di bawah salah satu pohon hias di sana. Kedua tangannya memeluk diri sendiri karena tak kuasa melawan hawa dingin yang menusuk. Ah, bahkan gigil sudah menandakan bahwa dia sudah nyaris tumbang.
Adit keluar dari mobil dengan membawa payung, bertindak bak sang pemeran utama dalam drama-drama romantis yang hendak menemui belahan jiwanya.
"Masuk," katanya sambil memayungi Deby Rinjani yang masih duduk jongkok.
"Aku seneng akhirnya kamu datang." Deby berujar tanpa basa-basi, mengeluarkan gelora yang mulai menyala di hatinya.
Satu kalimat itu seperti detak lain yang menyerang jantung Adit, memberikan sengatan listrik tak kasatmata pada tubuhnya yang dibalut jaket hitam. Dia nyaris tak bergerak, dengan ekspresi kaku dan tatapan datar.
Wanita ini pernah begitu dicintainya.
"Ada tisu?" tanya Deby begitu mereka akhirnya sudah di dalam mobil. Ponselnya basah kuyup karena ikut kehujanan dengan dirinya. Saat keluar dari rumah tadi, dia memang lupa bawa tas atau benda lain; hanya bawa ponsel saja.
Adit memberikan lembaran tisu tanpa bicara. Dia mulai menyalakan mesin mobil dan menyetir pelan meninggalkan ruas jalan Jendral Achmad Yani.
Beberapa saat lalu, dia baru saja menyelesaikan urusannya dengan Sam. Awalnya Sam memang pergi semobil dengannya, tetapi pria itu kemudian turun di tengah jalan karena harus menemui kekasihnya.
"Aku gak cocok sama Zeze kayaknya," celetuk Deby setelah sepuluh menit mobil berjalan dalam keheningan.
Adit tetap membisu.
"Dia gak seperti kamu, Dit, yang bisa sabar dan paham sama semua sifatku. Dia punya ego yang menyakiti hatiku," lanjut Deby. Tangannya mencabut selembar tisu dari boksnya di dasbor mobil.
Lagi-lagi Adit hanya diam, fokus menyetir. Namun, Deby yakin bahwa pria itu tetap mendengarnya.
"Kami udah sering berantem belakangan ini, makanya tadi aku nekat kabur dari rumah. Aku cuma bawa ponsel, dan ... satu-satunya orang yang kupikirkan saat aku terdesak gini adalah kamu, Dit, dari dulu pun begitu." Deby sengaja menekankan empat kata terakhir meski dengan suara lebih rendah. Jelas itu untuk menegaskan bahwa Adit masih memiliki tempat yang spesial di hatinya.
Tangisnya pecah begitu saja usai memaku tatapan lama pada wajah Adit. Pria ini, pria yang tetap baik padanya ini setelah dikhianati olehnya, adalah bukti nyata penyesalan terbesar Deby seumur hidupnya.
Adit pun tak bisa menyangkal, hatinya luluh saat mendengar isakan pelan Deby.
Dulu dia pernah begitu mengusahakan kebahagiaan wanita ini. Dia yang selalu berupaya keras menjadi pasangan sempurna versi Deby, dia yang selalu menjadi tempat apa pun yang dibutuhkan Deby, dan dia yang selalu memberikan sepenuh hatinya pada Deby.
"Sebaiknya kamu tenangin diri dulu, Deb," kata Adit pelan. Suaranya akhirnya terdengar, membuat tangis Deby makin pecah.
Deby butuh pelukan Adit atau salah satu pundaknya untuk bersandar di situasi begini, seperti yang biasa dilakukan pria itu dulu. Namun, mendengar suaranya saja sudah cukup, mengingat sekarang pria itu seperti membangun tembok tinggi-tebal di antara mereka.
"Turun aja kalau udah tenang," ucap Adit lagi. Dia mematikan mesin mobil usai mendapat tempat parkir di halaman depan sebuah restoran.
Ah, Adit bahkan masih ingat semua hal tentang Deby, salah satunya adalah kebiasaan wanita itu yang tak memedulikan perut saat suasana hatinya tengah buruk—dan dia akan selalu jadi kurir dadakan untuknya.
"Gak bisa." Ucapan Deby terdengar ambigu. Ada banyak makna yang tersirat dalam dua kata itu.
Hening. Adit berubah bak menjadi patung, sementara Deby terlalu kepayahan meladeni semua gejolak rasa di dalam hatinya. Kenapa sekarang semua terasa sulit untuknya? Melepas Adit demi memilih Zeze, rasanya ada yang salah dengan pilihannya itu.
"Dit, aku nyesel ...." Deby menelan banyak kata yang hendak diucapkannya; tangisnya makin kencang.
Terdengar hela napas kencang dari Adit.
"Bisa gak, kita kayak dulu lagi?" sambung Deby dengan air mata yang kembali berderai. Rambut panjangnya jatuh menutupi muka begitu wanita itu menundukkan kepala ke arah Adit.
Adit menghela napas berat. "Dengan kita begini aja udah salah, Deb. Kamu udah nikah, aku juga udah punya Caca," balasnya.
"Tapi kamu masih peduli aku, kan?" tembak Deby. Kali ini dia mengangkat kepala, membuat Adit dapat melihat wajah kacaunya.
Adit diam, matanya terus bergerak-gerak pelan mengamati setiap inci wajah Deby. Ada ekspresi misterius di wajah pria itu, tetapi jelas sekali ada kebimbangan di sana.
***
Caca berubah jadi chef dadakan. Hasil kerja kerasnya di dapur selama dua jam menghasilkan beberapa menu yang sekarang sudah tertata rapi di wadah-wadah di meja makan. Mendadak gugup menyergap hatinya. Pertanyaan penuh overthinking membuatnya tak bisa meninggalkan meja makan.
"Duh, gimana kalau masakanku keasinan?" gumamnya untuk kesekian kali. Tangannya kembali merapikan letak sendok dan garpu yang padahal sejak tadi sudah dalam keadaan rapi. "Udah mau jam enam lagi."
Jam bulat bergaya klasik di ruangan itu menunjukkan pukul 17.40. Hampir malam. Hujan belum juga reda di luaran sana, membuat rasa cemas menambah tumpukan pikiran Caca. Adit belum pulang sejak pagi tadi, tak pula memberi kabar di mana keberadaannya.
"Mandi dulu aja, deh," putus Caca sebelum benar-benar beranjak dari ruang makan yang menyatu dengan dapur.
Dia pikir, setelah mandi, rumah ini akan kembali ramai karena Adit sudah pulang. Faktanya, wanita itu hanya bisa menunggu dengan duduk cemas di ruang tamu. Ponsel yang menampilkan beranda obrolan chat dengan Adit di WhatsApp senantiasa menjadi objek utama tatapannya. Tak ada pesan baru di sana; jumlah pesan mereka juga tak banyak dan cuma berisi chat-chat singkat.
Pukul 19.45, mobil Adit akhirnya memasuki halaman rumah. Deru mesinnya membuat Caca setengah melompat dari sofa dan buru-buru berlari kecil menuju pintu utama rumah dua lantai itu; membuka kuncinya.
"Asalamualaikum," sapa Adit begitu melihat istrinya muncul di balik pintu.
"Waalaikumsalam," balas Caca. Ada jeda dua detik sebelum dia meraih tangan Adit dan menciumnya. Kemudian, satu pertanyaan muncul begitu saja saat melihat jaket Adit basah. "Aa kehujanan?"
Pertanyaan itu tak langsung mendapat jawaban. Adit tampak diam, menatap Caca dalam-dalam. "Tadi antar teman," kilahnya, merasa sulit untuk jujur sepenuhnya. "Maaf ya, aku perginya lama."
Caca mengangguk paham. Wanita itu tampak sudah rapi dan wangi, meski tetap koloran dan pakai kaus oblong hitam kebesaran. Rambutnya digelung dengan penjepit hitam. "Gak apa-apa." Dia tersenyum simpul. Namun, ekspresi wajahnya seketika berubah saat mencium aroma parfum wanita dari tubuh Adit.
Aroma yang samar itu hilang dalam sekejap, tetapi dampaknya bercokol lama di hati Caca. Teman? Teman wanita, kah? Apa tidak apa kalau dia marah seandainya Adit memang mengantar teman wanita, saat hujan-hujan begini pula?
"Kamu udah makan?" tanya Adit, menyadarkan Caca dari lamunan.
"Belum," Caca menjawab sendu, "Aa mandi aja dulu. Habis kehujanan, kan?"
Adit mengangguk, melirik pakaiannya yang memang masih sedikit basah. "Ya udah, aku mandi dulu."
Begitu pria itu melangkahkan kakinya, kening Caca mengerut dalam. Pikirannya langsung rumit oleh banyak dugaan buruk gara-gara aroma parfum tadi. Hidungnya tak mungkin salah, aroma perpaduan mawar yang manis itu jelas bukan parfum pria.
Caca menggeleng, berupaya keras mengenyahkan pikirannya yang mulai liar. "Gak boleh, gak boleh nething berlebih. Aku harus percaya A Ditya," katanya pada diri sendiri. Dia kemudian mengunci pintu, kemudian berjalan menuju dapur untuk mengecek ulang hasil masakannya tadi.
Nyaris semua makanan telah dingin karena jeda yang cukup lama dari proses masaknya. Caca menghangatkan ulang beberapa menu yang masih sempat. Untung saat Adit datang, semua telah siap. Pria itu menarik kursi dengan pelan, menimbulkan derit yang memecah hening. Tangan kirinya sibuk menggosok-gosokkan handuk ke rambut yang basah.
"Wih, kamu habis masak banyak, Cahaya?"
Panggilannya kembali berubah, Caca langsung fokus pada namanya yang disebut pria itu. Hatinya makin tak tenang. Padahal jelas sejak semalam pria itu memanggilnya 'sayang' dengan penuh hati, lalu kenapa sekarang berubah lagi ke panggilan biasa?
"Iya," jawab Caca. Meski suasana hatinya sedang buruk, dia berusaha pasang ekspresi tenang di hadapan Adit. Tangannya dengan cekatan menyiapkan piring untuk Adit dan mengisinya.
"MasyAllah, Alhamdulillah, pulang kerja disambut istri dan masakannya yang enak-enak," sanjung Adit tanpa menyadari kegundahan yang tengah melanda Caca.
Suapan pertama yang masuk ke mulutnya membuat pria itu membulatkan mata. Lidahnya tak bohong dan menyepakati ucapan yang sebelumnya. Masakan Caca memang enak, kebetulan pula perutnya sedang lapar. Bisa-bisa masakan Caca habis semua olehnya.
Melihat Adit makan dengan lahap, Caca berusaha keras melawan pikiran negatifnya. Dia tak boleh merusak momen manis ini, momen hangat pertama mereka yang berjalan normal tanpa canggung satu sama lain.
"Makasih masakannya, Sayang. Enak banget!" puji Adit begitu menghabiskan butir nasi terakhir di piringnya.
"Iya, sama-sama," balas Caca yang tersipu malu.
"Gak usah minta cium, ya. Mulutku bau petai soalnya."
Caca mengernyit dengan ekspresi keki. "Ih, siapa juga yang minta?" sangkalnya. Namun, kedua pipinya malah memanas tak karuan. Pasti sekarang sudah memerah seperti tomat masak.
"Idih, tadi pagi aja kamu nikmati, kan?" goda Adit. Dia dengan sengaja menggerak-gerakkan kedua alisnya, menggoda betulan.
Caca tak bisa menjawab. Tangannya terulur mengambil gelas air dan minum yang sengaja dilama-lamakan.
Tawa Adit meledak begitu saja.
***
Deby
Makasih buat waktunya, Dit.
Makasih juga udah nyediain pundak buat aku.
Maaf bikin kamu ikut hujan-hujanan.
Cepat mandi gih, takutnya kamu sakit. ❤❤
Seketika tubuh Caca membeku. Kemudian, sensasi panas mulai merayapi hatinya.
Saat ini dia tengah duduk sendirian di depan televisi yang menayangkan sebuah drama Korea. Adit sedang ke toilet, meninggalkan ponselnya yang tergeletak di sofa, nyaris tertutupi sehelai selimut yang mereka gunakan untuk penghangat.
Padahal beberapa saat lalu Caca dan Adit sedang menikmati momen romantis tipis-tipis berkat modus Adit yang berjalan dengan lancar. Caca pun baper dan iya-iya saja diajak duduk dempetan plus satu selimut, menikmati tontonan bergenre komedi romantis.
Namun, suasana hati Caca yang sempat membaik sepertinya sudah hancur lagi. Chat yang masuk dari Deby membakar habis kesabaran dan ketenteramannya. Jadi, Adit berhubungan kembali dengan masa lalunya. Lalu ... aroma parfum itu, apa mungkin milik Deby juga? Kenapa sampai ada di tubuh Adit? Apakah mereka ....
"Sayang!" Adit sudah kembali dengan senyum semringah di wajahnya. Caca terlonjak kaget dan buru-buru mengalihkan pandangan. Layar ponsel sudah kembali mati, semoga saja Adit tak memergokinya yang telah mengintip privasi pria itu.
Pria itu buru-buru duduk di samping Caca, menarik sisa selimut dan menutupi kakinya yang dingin. "Dingin," dia bergidik, "kamu dingin gak, Sayang?" Tangan kirinya terulur, memeluk pundak Caca dan membawa wanita itu merapat padanya.
Caca membeku, dia menggeleng kaku.
"Oh iya, aku lupa bilang, besok aku bakal urus kerjaan di luar kota, kurang lebih satu atau dua hari, gak apa-apa?" Adit mengambil remote televisi dan mengganti channel karena drama yang mereka tonton telah selesai.
Kerja ke luar kota sampai menginap? Ragu mematahkan hati Caca untuk percaya sepenuhnya pada ucapan Adit. Mendadak saja pikiran-pikiran buruk menguasai kepalanya. "Eee ... aku pamit ke kamar dulu, A," jawabnya dengan gelagapan. Suasana hatinya sudah tak karuan saat ini, tak bisa lagi dipaksa untuk berada di dekat Adit.
Adit mengernyit, tatapannya pun menajam karena berupaya menemukan jejak-jejak aneh di wajah istrinya. Memang ada yang aneh, tetapi pikirnya mungkin karena Caca masih dalam periode datang bulan. Seperti dua hari ini, mood wanita itu selalu naik-turun dan dia kena imbasnya.
Sementara itu, Caca sudah tiba di kamar, dan begitu pintu tertutup, tubuhnya melorot ke lantai. Hatinya berdenyut sakit entah kenapa, pikirannya pun mendadak kacau balau. Lalu, sensasi panas itu menjalar dari dadanya, merambat ke tenggorokan dan berakhir di mata.
Dengan tangan gemetar, Caca mengangkat ponselnya dan langsung mencari kontak Vera. Dalam dering ketiga, telepon darinya pun dijawab oleh wanita itu.
"Halo, Ca?"
"Ver ...." Lidah Caca mendadak kelu, kepayahan mengatakan isi hatinya yang terlalu gemuruh sekarang ini.
"Ca? What happen to you? Apa yang udah terjadi?" cecar Vera yang langsung menyadari keadaan sahabatnya.
Bukannya menjawab, tangis Caca justru pecah. Tangannya refleks membekap mulut, berupaya keras agar isakannya tak terlalu terdengar. Jelas Vera bisa mendengarnya, tetapi wanita itu memilih membiarkan Caca meluapkan emosinya dulu sebelum ditanya ini-itu.
"Ca, udah bisa ngomong?" Vera bertanya dengan suara lembut saat tangis Caca sudah mereda.
"Ya," jawab Caca dengan suara serak dan sengau. Dia mengelap ingus dengan ujung kausnya dan mengedip-ngedipkan mata untuk menghalau rasa perih.
"Ada apa?" Di seberang sana, Vera sedang merapikan peralatan makeup-nya dan kegiatan itu langsung terhenti begitu mendengar Caca menangis.
Sebelum menjawab, Caca menarik napas dalam-dalam sampai udara memenuhi paru-parunya. "Aku gak sengaja ya, tadi lihat hape A Ditya," dia menelan ludah, "dan ... gak sengaja lihat chat dari Deby—"
"APA?" Vera menjerit.
"Deby bilang makasih karena A Ditya udah nemenin dia," sambung Caca sebelum air matanya kembali berjatuhan. "Udah nyediain pundaknya buat dia."
"BABI!" Lagi-lagi Vera menjerit, bahkan kali ini dia meremas dua eyeshadow yang siap dimasukkan ke tas. "Sial banget aku besok ada job ke Garut. Kalau kosong, kulabrak itu si cewek genit."
"Gak apa-apa, Ver, gak perlu lakuin itu," kata Caca, berusaha menenangkan Vera yang pasti sudah kebakaran jenggot.
"Gak! Sabar perlu, tapi kalo sama manusia bangsat mah gak usah sabar-sabar, langsung hajar aja!" amuk Vera. Sepertinya sudah keluar sepasang tanduk dari kepalanya untuk menyeruduk orang yang membuatnya naik darah malam-malam begini.
Caca tertawa singkat. Melihat Vera emosi adalah sebuah kesenangan tersendiri, walaupun yang keluar dari mulut wanita itu tak jauh dari bahasa kebun binatang.
"Jadi, maunya gimana sekarang?" tanya Vera lagi.
Hela napas keluar dari mulut Caca, lantas wanita itu menatap langit-langit kamar. Matanya pedih dan masih sedikit basah karena ada jejak-jejak air di sana. "Entah, cuma ... aku masih gak percaya. Gak percaya dugaanku sendiri dan ... gak percaya sama A Ditya."
"Aku laporin ayahmu, ya—"
"Jangan!" Caca kelepasan teriak. "Jangan," kali ini dia berbisik, "jangan sampai kasus ini sampai ke orang tuaku dulu karena masih belum jelas. Bukti belum ada—"
"Ada, itu buktinya chat si kunyuk Deby," potong Vera dengan gemas.
"Tapi kan faktanya bisa lain." Sampai detik ini, pikiran Caca masih berusaha menghadirkan dugaan-dugaan positif meski tak bisa menenangkan hatinya.
"Terus, kenapa kamu nangis-nangis ngadu ke aku?" tembak Vera. Seluruh barangnya untuk dibawa kerja besok telah siap. Andai saja saat ini dia masih di Bandung, pasti langsung tancap gas ke Cimahi untuk melabrak Adit.
"Ya kan kamu sahabatku, Ver." Caca menjawab seadanya.
Vera tertawa singkat, tetapi tawanya segera reda karena khawatir pada Caca. "Ya udah, sementara kamu bertahan aja dulu, tapi kamu sendiri, oke? Ada aku yang siap jadi tameng sekaligus anjing gilamu kalau-kalau tuh lakik nyakitin kamu," cerocosnya. Terdengar ketukan langkah yang berirama, menandakan bahwa wanita itu tengah menapaki anak tangga.
Caca tersenyum haru. Ternyata dia memang dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayanginya. "Aku paham, terima kasih. Jadi, untuk sekarang aku mau bertahan dulu," putusnya dengan penuh yakin. "Aku gak mau ambil keputusan terburu-buru yang nantinya akan membuatku menyesal."
"Hilih, bilang aja kamu udah bucin sama Adit, Ca, sampe doi ketahuan selingkuh ae masih berusaha positive thinking. Inget ya, bucin boleh, bloon jangan," cibir Vera yang sukses membuat Caca mengerucutkan bibir.
***
Mau hug Caca ndak?🥺🥺🥺
Btw, KABAR GEMBIRA!
DUAR, NIKAH! DALAM ANTREAN TERBIT! YEAYYYY!🥳🥳🥳🤟
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top