BAB 15 - Sapaan di Pagi Hari

"Gengsi aja terus ditinggiin. Saat kena panah asmara nanti, rasainlah malam-malam penuh rindu dan hari-hari dengan debar yang menggebu itu."

***


SEKARANG SETIAP BANGUN tidur, Caca selalu nyaris jantungan. Padahal niat pernikahannya adalah untuk ibadah, bukan simulasi menuju akhirat jalur serangan jantung.

Hari kedua Adit sakit, keberangkatan ke rumah baru jelas tertunda, malah Danita yang meminta agar mereka tak bepergian jauh dulu, apalagi sampai langsung mendiami rumah baru. Kebetulan Adit juga masih memiliki urusan di Bandung. Jadi, sekarang mereka masih di kediaman di Nusa Hijau, Cimahi.

Kemarin, Danita datang berkunjung dari sore sampai malam dan Caca bisa melihat sendiri bagaimana sisi lain suaminya di depan wanita itu. Adit berubah jadi anak usia tujuh tahun. Ajaib betul. Sayangnya, interaksi hangat mereka yang mulai sering terjadi tak membuat Caca bisa dekat begitu saja dengan Adit. Dia masih mengelak dari agenda-tidur-bersama dengan pura-pura ketiduran di sofa ruang tengah. Namun, paginya, Adit sudah tidur meringkuk di dekatnya.

Besoknya, Caca terpaksa tidur di kamar bareng Adit. Awalnya saling menjaga jarak karena Adit pun sepertinya bisa memahami ketidaknyamanannya. Jadi, setiap akan tidur, mereka selalu meletakkan guling atau bantal sebagai pembatas.

"Pagi."

Namun, pagi ini, Caca dibuat tak berkutik dengan pemandangan pertama yang dilihatnya. Wajah suaminya. Adit tampak begitu dekat dengannya. Iyalah, orang mereka sekarang tengah pelukan. Caca menelan ludah.

"Cantiknya istriku."

Pipinya memanas seketika. Jantungnya juga, malah ikut-ikutan membangun sensasi yang membuat suasana makin canggung. Padahal semalam posisi tidurnya miring ke kiri, memunggungi Adit.

"Meluk akunya erat banget. Mimpi indah, ya?"Adit malah terus-terusan menggoda istrinya.

Karena sudah tak punya sisa-sisa keberanian lagi, Caca berniat kabur. Namun, tangannya malah memegang sesuatu. Kotak-kota keras. Kedua matanya berotasi turun, pada sensasi hangat yang terasa di tangannya. Adit tak pakai baju dan sekarang ... dia tengah menyentuh perut berotot pria itu.

Astagfirullah! Caca memejamkan kedua mata panik. Tidak, tidak, sekarang otaknya malah mendadak blank.

Dering ponsel kemudian memecahkan suasana tersebut. Nyawa Caca selamat. Namun, malah tak ada yang berubah dari posisi mereka. Adit hanya sedikit bergerak untuk mengambil ponsel, tanpa melepas pelukannya pada Caca yang masih meringkuk membeku.

"Yo, bro!" Adit menyapa ramah temannya yang menelepon.

"Wih, pengantin baru kayaknya baru bangun."

Caca bisa mendengar suara si penelepon, terutama tawa suaminya. Matanya berotasi turun, pada leher suaminya, lalu dengan cepat kembali memejamkan mata. Dia ingin kabur, tetapi tangan Adit menahannya dan menepuk-nepuknya pelan.

"Saya ada info penting. Bukannya kemarin kamu berencana pengin berlayar lagi, kan? Ada loker untuk lane luar, gajinya lumayan."

Berlayar? Caca jadi merasa tertarik.

"Iya, saya memang ingin kembali berlayar karena adik saya sudah mau wisuda, perlu biaya juga. Cuma ...." Kedua mata Adit teralih pada Caca yang mendongak ke arahnya.

"Ya, ya, paham. Lagian kau ini kenapa? Nikah buru-buru, saya sampai tak sempat datang," omel rekan Adit.

Adit tertawa singkat. "Ya gimana, saya sudah ketemu jodoh. Buat apa lagi ditunda-tunda, kan?" jawabnya sambil masih tertawa.

"Heleh, yang lima tahun tuh apa kabar? Jagain jodoh orang kau?"

Caca mencoba kabur lagi, tetapi Adit tak membiarkannya. Bikin dia tertahan posisi itu. Eh, sedetik berikutnya, Adit malah mencium keningnya. Caca jadi patung sungguhan.

"Dia sudah ke laut, ngapain saya pusingkan lagi? Lagian sekarang saya sudah dapat pengganti, yang lebih-lebih dari mantan saya," jawab Adit dan lagi-lagi dia melayangkan ciuman—yang sengaja diiringi suara keras dari mulutnya—ke kening Caca.

"Haihhh, apa pula itu? Bikin sakit telinga. Sudah-sudah, telepon saya tutup. Info lokernya saya kasih lewat WhatsApp. Lanjutlah kalian mesra-mesraan, tak mau saya jadi obat nyamuk." Temannya Adit sepertinya bukan orang Jawa karena logatnya berbeda, seperti orang Medan.

Adit tertawa ngakak. "Makanya, cepat nikah. Jangan pacaran mulu kau sama dugong-dugong itu," ledeknya.

Rekannya mengomel sebelum menutup telepon, menyisakan Adit yang tertawa puas karena telah berhasil meledek temannya habis-habisan.

Lalu, tawanya terhenti dan pandangan Adit langsung tertuju pada Caca. Wanita itu kelihatan pucat pasi, sorot matanya penuh reaksi yang justru tampak lucu di mata Adit. Tiga detik berikutnya, dalam gerakan cepat, Adit melancarkan ciuman singkat ke bibir Caca dan kembali tertawa karena reaksi lucu istrinya. Caca benar-benar mati kutu.

"Udah ya, aku mau mandi, kecuali kalau kamu mau lanjut," goda Adit sambil menarik-turunkan kedua alisnya.

Mendengar itu, otomatis Caca langsung mendorong tubuh Adit dan kabur dengan muka merah padam. Jantungnya berdebar kencang tak karuan. Kedua tangannya refleks memeluk diri sendiri. Panas dingin. Untung pakaiannya masih utuh.

Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah, batin Caca sambil menepuk-nepuk pelan pipinya yang masih hangat.

Jantungnya kenapa berdebar tak karuan? Kenapa pula hatinya seperti ditumbuhi banyak bunga-bunga yang langsung bermekaran? Kenapa hatinya serasa secerah langit biru di pantai berombak syahdu? Kenapa pula seperti ada gerombolan kupu-kupu yang terbang dengan bahagia di perutnya?

Aduh! Apakah ini yang dinamakan sensasi cinta? Apakah dia sudah jatuh cinta? Karena dia pernah merasakan sensasi ini, tetapi tak sehebat sekarang.

***

Adit pamit ke luar untuk bertemu teman-teman pelautnya, sementara Caca menggabut di rumah. Jadi, dia mengundang Vera untuk datang berkunjung sekaligus melepas kangen—padahal mereka baru terpisah beberapa hari.

Wanita kalau bertemu kawan pasti tak jauh dari agenda menggibahkan apa saja, tentu ditemani tumpukan camilan yang bikin aktivitas itu jadi lebih seru. Caca dan Vera sudah membahas ini-itu sejak duduk berdua di ruang tengah sepuluh menit lalu sambil terus mengunyah. Namun kemudian, Caca jadi lebih pasif dalam obrolan.

"Kenapa tuh muka? Ada yang pengin dicurhatin?" Vera memang sahabat paling the best. Wanita itu bisa langsung mengetahui hal-hal kecil, teramat peka.

"Laki-laki kalau langsung manggil sayang tanpa nyatain perasaan, itu tanda-tanda dia buaya, kah?" Caca menyakan kalimat itu dengan ekspresi sendu yang mendukung.

Tawa Vera meledak, membahana di tengah ruangan yang sepi itu. Dia baru berhenti saat Caca memberinya pukulan teguran di paha.

"Jadi, udah sejauh apa tahap pendekatan kalian?" tanya Vera sambil menyenggol-nyenggol pelan pundak Caca.

Caca berdecih risi, tetapi eskpresinya cepat melunak. "Ya gak secepat itu. Cuma kan aku gak sebut A Ditya, kenapa singgung-singgung dia, sih?" elaknya, mencoba melindungi diri dari serangan usil Vera yang pasti akan terjadi dalam beberapa saat lagi.

"Cieee, sampai udah punya panggilan khusus."

Caca tak menggubris.

"Kenapa gak sekalian panggil ayam-bebek aja?"

Caca cuma mencebik.

"Udah pelukan bel—oh! Atau, kalian udah sampek tahap sama-sama telan—"

"WOI!" Caca teriak depan muka Vera, dengan tangan membekap erat mulut wanita itu, sampai nyaris membuatnya kehabisan napas.

Vera meronta-ronta layaknya korban tak berdaya yang sudah nyaris di ujung nyawa seperti di film-film thriller. Sambil terus mengomel, Caca akhirnya melepaskan bekapannya. Sahabatnya itu sampai batuk-batuk.

"Dari mana sih kamu hafal ilmu pernikahan sampai sedetail itu, hah? Doyan banget ya baca buku eroro, atau nonton drama 1821, atau rajin buka web biru?" amuk Caca dengan muka merah padam—itu perpaduan malu dan marah.

Bukannya ikut marah, Vera malah nyengir lebar. "Habis kalo bahas hubungan kamu sama Adit seru banget lho, Ca. Kalian itu kayak ...." Kedua tangannya mulai mengambang di udara, memeragakan sebuah adegan yang membuat muka Caca merah padam. Wanita itu menggeplak tangannya, membuat tawanya kembali meledak.

"Serius, ih. Aku nyesel nih curhat kalau kamunya malah ngeledek," rajuk Caca dengan nada kesal. Dia juga menarik jarak sehingga jauhan setengah meter dari Vera.

Vera menggeser duduknya hingga mereka kembali merapat. "Maaf, maaf." Dia berdeham untuk menetralkan ekspresi dan suaranya. "Jadi, Adit kenapa?"

Lama Caca terdiam, seperti tengah memikirkan hal berat dan rumit karena ekspresi wajahnya tampak kosong; beberapa kali dia juga menghela napas berat. Kemudian, usai tarikan napas kencang kesekian, wanita itu akhirnya mengangkat pandangan.

"Agak aneh buatku, Ver, tiba-tiba denger A Ditya panggil-panggil sayang, lihat dia tiap bangun tidur, denger suara dia nyaris 24 jam, terus ... kemarin ...," suara Caca memelan, "... dimasakin dia."

Vera mangap lebar-lebar dengan mata memelotot. Andai Caca tidak sedang curhat, pasti dia akan langsung ambil kamera, memotret Vera, terus dijadikan stiker WhatsApp.

"Mingkem, Per, mingkem. Kamu mangap mulu dari tadi, bisa-bisa aku kesedot lama-lama!" omel Caca dengan kedua tangan mengatupkan mulut Vera.

Wanita itu menepis tangannya lalu membetulkan tatanan rambut. "Kalian udah sejauh itu ternyata. Perkembangan yang cuuukup baik."

"Hah, tapi aku lagi bimbang sekarang. Tadi A Ditya ditelepon temannya, bahas soal berlayar. Dia mau berlayar lagi kayaknya, soalnya Dinda udah mau wisuda," cerita Caca tanpa mengabaikan celetukan Vera. Dalam sekejap, ekspresinya berubah murung.

Mendengar itu, Vera langsung pasang tampang sedih. Dia pun mengabaikan semua niat usilnya untuk menggoda Caca.

"Kayaknya bentar lagi berangkat, soalnya temannya udah dapat info loker yang bagus," lanjut Caca dengan mimik kecewa.

"Terus, kok, kamu sedih?"

Caca menghela napas lesu.

"Gak mau ditinggal Adit?" terka Vera.

"Entah," jawab Caca.

Tiba-tiba Vera melebarkan senyum dengan tatapan penuh kesan kejailan. Caca jadi merinding dan langsung pasang tameng, bersiap dari segala keusilan yang akan dilakukan wanita itu.

"Cieeee, udah love-love sekebon nih sama Mas Suami sekarang?" goda Vera sambil mencolek-colek pipi Caca.

"Ish, apa deh?"

"Hayooo, udah berapa kali ini pipi kena sosor Adit?" sambung Vera.

Caca kehabisan kata-kata, tetapi risi digoda oleh Vera. Apalagi sekarang pipinya terasa memanas, tanda bahwa reaksi malunya sudah tervisualkan dengan jelas di depan mata Vera. Wanita berusia 25 tahun itu tertawa lepas.

"Cieee, udah jatuh cinta lagi sama orang baru! Udah ganti sekarang yeee bucinannya?" Vera masih menggoda sambil terus tertawa geli. Melihat bagaimana Caca jadi malu-malu, sungguh menggelitik perutnya. Apalagi sahabatnya itu terlihat tak bisa mengelak sedikit pun.

"Yaaa ...." Caca mau ngomong, tetapi karena terus digoda oleh Vera, seluruh kata-kata yang sudah tersusun rapi di otaknya jadi hilang begitu saja.

Vera berdeham usai puas menertawai Caca dan mendapat pelototan sadis dari wanita itu. "Jadi, intinya Adit mau berlayar lagi?"

Caca mengangguk lesu.

"Bukannya kalo berlayar gitu bisa tahunan, ya?" sambung Vera sambil mengunyah bakso aci pedas yang serasa menggigit lidah.

Kali ini pertanyaannya ditanggapi dengan gelengan lesu Caca. Diam-diam dia bahagia saat menyadari bahwa sahabatnya itu benar-benar telah move on ke orang baru.

"Tapi, kayaknya gak mungkin deh, soalnya kalian belum juga sebulan nikah, ya kali Adit langsung pergi merantau lagi," simpulnya yakin. Dia menyedot Thai Tea sampai rasa pedas di mulutnya berkurang. "Kalian ini masih bucin-bucinnya, masa udah LDR aja."

"Tapi kalau jadi, gimana?" tanya Caca dengan pelan. Itulah yang dia takutkan sekarang. Entahlah, rasanya tak rela, dia belum siap kalau harus berpisah lama dari pria itu. Caca jadi tak mengerti dirinya sendiri. Dia menyuap martabak dengan lahap, melampiaskan rasa yang bercokol dan membuat tak nyaman hatinya.

"Coba manfaatin waktu yang ada aja, kalau-kalau Adit betulan jadi berlayar," saran Vera yang sekarang ikut mengambil sepotong martabak dan melahapnya. "Duh, pulang dari sini, bisa mendadak gendut aku keknya."

"Entah, deh," jawab Caca bingung. Bingung, hanya kata itu yang mampu menggambarkan situasi hatinya sekarang. Setelah tahu Adit akan kembali berlayar, hatinya sedih tak karuan.

"Atau kamu bisa bikin kejutan kecil-kecilan, kayak ...," Vera tampak berpikir keras, "masakin balik Adit?"

Caca mencebik. "Insecure duluan aku, Per, masakan A Ditya itu lebih enak dari masakanku," keluhnya.

"Ya gak apa kali. Kan, yang penting itu usahanya; yang penting Adit lihat usaha kamu," hibur Vera, berupaya memberikan kekuatan pada hati Caca yang tengah rapuh saat ini.

"Gitu, ya?" Wanita itu menatapnya penuh harap.

Vera mengangguk. "Iya." Tangan kirinya langsung merangkul pundak Caca. "Masakan kamu pasti lebih enak kok, soalnya ... pakai bumbu cinta." Dia berusaha mati-matian untuk tak menyemburkan tawa gelinya detik itu juga.

Cinta? Muka Caca merah padam.


****
Ciyeeee ciyeeee. Ada yang mulai terkena panah asmara, nich.🤣🤣

Btw makasiii buat vote n comment-nya.🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top