BAB 14 - Suami Spek Buaya
"Cinta hadir karena terbiasa. Jadi, dinikmati saja setiap proses mendebarkan itu."
***
KARENA LELAH DENGAN setumpuk aktivitas dadakan, ditambah sebelumnya baru selesai berlayar, tubuh Adit sepertinya sudah overload. Semalam setelah mengantar kepulangan mertuanya, kepalanya mendadak berdenyut nyeri, tubuhnya pun seperti kehabisan tenaga dengan sensasi panas dingin yang membuat tak nyaman.
Sebenarnya, Adit tipe yang jarang dan tidak mudah sakit. Namun, sekalinya sakit, obatnya yang paling manjur adalah kehangatan sang mama. Sayangnya, sekarang dia sudah menikah dan terpisah dari Danita Zianandra. Lagi pula, mana mungkin dia sengaja pulang ke rumah ibunya hanya untuk merengek-rengek minta dimanja biar sakitnya cepat sembuh. Apa tanggapan istrinya nanti? Wanita itu kan belum tahu sisi kekanakannya.
Lalu, sekarang seisi kepala Adit mendadak kosong begitu menemukan posisinya saat bangun tidur.
Ada Caca di dekatnya, teramat dekat malah. Tangan kanan wanita itu memeluk tubuhnya yang bersandar nyaman ke dada Caca, sementara istrinya bersandar lelah ke kepala ranjang. Tangan kirinya jadi bantal dadakan Adit, dan ... dia memeluk pinggang wanita itu dengan erat.
Lalu, yang jadi masalah utamanya adalah ... dia bertelanjang dada.
Astagfirullah, apa yang udah kulakuin? batin Adit panas dingin. Mukanya sudah pucat pasi. Kepalanya kembali berdenyut dan sesuatu jatuh dari jidatnya. Kompresan. Apa semalaman wanita itu sudah merawatnya?
Gini banget punya kebiasaan aneh pas lagi sakit. Pria itu memijit-mijit keningnya. Ada banyak kebiasaan aneh ketika dia sakit. Selain harus selalu menempel pada sang mama, dia juga suka lepas baju meski sedang demam dengan alasan karena gerah.
Adit merotasikan pandangan, menemukan baskon putih kecil di nakas lalu sebuah kemasan pembalut wanita yang sudah dibuka di sisinya. Jempolnya memijit kening, berupaya mengenyahkan rasa pusing yang terus berdenyut. Dia terbatuk sekali dan langsung mengalihkan pandangan pada wajah istrinya yang tetap tenang. Caca tak terganggu sedikit pun. Sepertinya dia sangat kelelahan.
Jam menunjukkan pukul 04.40. Sudah lewat waktu Subuh. Adit memaksakan tubuhnya untuk bangkit dari kasur, tanpa mengganggu Caca sedikit pun. Namun, sebelum pergi ke kamar mandi, dia lebih dulu membetulkan posisi tidur Caca dengan hati-hati.
Selamat tidur, Cahaya-ku, batinnya sambil mengusa-usap lembut kepala Caca. Namun, lagi-lagi wanita itu tak memberi reaksi, terlalu lelap dalam tidurnya.
Tadinya Adit berencana akan menyiapkan sarapan sehabis melaksanakan salat Subuh, tetapi kepala yang terus berdenyut sudah cukup menjadi tanda bahwa tubuhnya butuh istirahat sedikit lagi. Jadi, Adit kembali naik ke kasur, bergabung dengan Caca yang masih tidur. Mungkin dia perlu tidur dua atau tiga jam lagi untuk memulihkan tenaga. Tubuhnya sedikit segar setelah mandi dan keramas tadi, tetapi sekarang malah kedinginan.
"Izin peluk kamu, Cahaya," bisik Adit tepat di telinga Caca. Tangannya menarik selimut tebal yang membungkus mereka, membetulkannya. Kehangatan segera menyebar, tetapi dia enggan memejamkan mata, masih ingin menikmati pemandangan ini.
Dengan bibir membisu dan mata memaku satu objek, Adit berubah jadi patung karena tak membuat gerakan sedikit pun; hanya memandangi Caca yang tertidur sampai nyaris 10 menit. Kantuk menyerang dan akhirnya menumbangkannya. Pada akhirnya, Adit kembali merebahkan diri dengan posisi memeluk Caca lembut.
***
Pukul 12 siang, Adit belum juga keluar kamar. Caca jadi khawatir. Pukul sembilan dia bangun dan lagi-lagi sempat dibikin jantungan saat menemukan posisi tidur mereka.
Benar kata Vera, bahwa dua manuisa berbeda jenis kalau ada di satu tempat yang sama, pasti secara insting, sadar atau tidak, akan mengikis jarak lalu saling menempel. Kemudian, setan akan bersorak bahagia sambil joget jedag-jedug. Untungnya Caca dan Adit sudah dilabeli halal meski mereka bukan produk haram.
Caca sudah memasak—membuatkan bubur—dan melakukan kegiatan yang bisa dilakukan sambil menunggu Adit turun sendiri karena tak ingin mengganggu waktu istirahatnya. Namun, sekarang sepertinya dia sudah tak bisa menunggu lagi. Terakhir dicek, suhu tubuh Adit masih panas.
Berbekal sisa-sisa keberanian, Caca pun naik ke lantai dua dan tiba di depan kamar Adit. Tangan kiri wanita itu memutar handel pintu lalu mendorongnya dengan pelan, sementara tangan kanannya membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih. Saat memasuki ruangan, ternyata Adit masih tidur. Pria itu tetap bergelung selimut, tidur dengan memunggungi pintu masuk.
"Kok masih tidur?" gumam Caca. Jangan-jangan ....
Seketika dia berlari kecil dengan jantung berdebar panik. Otaknya dengan cepat memproduksi banyak praduga buruk mengenai suaminya. Jangan-jangan Adit pingsan, kondisinya memburuk, atau bahkan ....
"A! A Ditya!" panggil Caca panik. Dia buru-buru menaruh nampan di nakas. Kemudian, terus mengguncang bahu Adit dengan panik, apalagi saat pria itu tak merespons sama sekali. "A! Sadar, A!" Wanita itu bertambah panik saja.
Karena tak ada repons sama sekali, Caca segera naik ke kasur, kemudian menempelkan telinganya ke dada pria itu. Masih ada detaknya. Syukurlah.
"Hatsyu!"
"Astagfirullahalazim! Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa!" Caca baca doa sekenanya dengan panik dan setengah menjerit. Sementara dia sudah tak memedulikan kondisi tubuh karena kedua tangannya refleks menutup kuping.
Adit otomatis kaget, apalagi dia baru saja dapat meraih kesadaran. Hidungnya geli, sepertinya termasuki sesuatu—yang tak lain adalah helai-helai rambut Caca. Sekarang malah ada seorang wanita yang bersandar—atau lebih tepatnya menimpa—di tubuhnya. Kedua tangan Adit refleks memeluk wanita itu, seperti sebuah perangkap ketika mendapat mangsa.
"A ...." Caca mencicit takut.
"Baca doa apa tadi?" tanya Adit begitu menyadari kalimat yang diteriakkan oleh Caca.
Caca tak langsung menjawab. Otaknya perlu waktu untuk memproses kejadian yang telah berlalu. "Doa ...." Wanita itu menggantungkan ucapannya dan melipat bibir.
Sedetik kemudian, Adit tertawa lepas, dengan tangan masih memeluk Caca, yang malah sengaja dieratkan. Otomatis wanita itu dapat melihatnya tertawa dari dekat.
"Kamu mau itu?" goda Adit di sela tawanya.
Sekujur tubuh Caca langsung merinding, apalagi dia sekarang masih berada di atas badan Adit. Jadi, dia buru-buru minta dilepaskan sampai setengah mendorong tubuh suaminya. Namun, pria itu masih puas tertawa, sampai akhirnya tersedak ludah sendiri dan batuk-batuk. Mendadak keluar sesuatu dari hidungnya.
"Ih, A Ditya, jijiiik!" Caca refleks mundur sambil bergidik saat melihat muka Adit dihiasi ingus. Dia buru-buru mengambil tisu di atas nakas dan memberikannya pada pria itu.
Adit mengelap ingusnya sambil berulang kali mengucapkan kata maaf.
"Aa sih dibangunin gak bangun-bangun, bikin panik," jelas Caca setelah berhasil menguasai diri.
"Maaf," lagi-lagi Adit meminta maaf, "aku pas sakit emang perlu lebih banyak waktu untuk tidur. Aku anti obat soalnya. Cukup tidur aja, nanti sembuh sendiri," jelasnya.
"Cukup tidurnya kayak simulasi menuju akhirat ya, Pak," cibir Caca yang masih sedikit panik. Adit malah nyengir tanpa merasa bersalah. Namun, diam-diam dia bisa melihat kekhawatiran dari tingkah istrinya itu.
Caca lalu mengambil nampan berisi semangkuk bubur. "Isi perut dulu. Tadi pagi gak sarapan, kemarin juga makan sedikit." Dia bicara dengan nada mengomel khas emak-emak.
Ultimatum itu tentu membuat Adit tak bisa menolak. Dia pun menurut, terlebih karena disuapi oleh Caca.
Keduanya mungkin masih belum bisa membuka hati sepenuhnya karena bagaimanapun semua terlalu mendadak. Tiga hari berstatus sebagai suami-istri bahkan untuk mengobrol saja masih terasa canggung, apalagi kalau bersentuhan fisik. Namun, kejadian-kejadian kecil yang menciptakan kebersamaan, secara perlahan-lahan meluluhkan hati Adit dan Caca.
"Aw!" Caca refleks memegangi perut kiri bawahnya saat sensasi menyakitkan itu mendadak menyerang.
"Nyeri haid, ya?" tanya Adit usai menelan air di mulutnya. Anggukan dari sang istri menjawab pertanyaannya. "Sakit banget, ya? Udah makan belum?"
"Belum," jawab Caca sambil masih mengelus lembut perutnya.
Adit membuka selimut yang menutupi tubuhnya. "Yuk, aku masakin," katanya sambil beranjak dengan lancar.
"Lho, bukannya Aa sakit?" Caca mengernyit dalam, menatap Adit dengan ekspresi campur aduk. Bagaimana mungkin orang sakit bisa terlihat sesehat itu, padahal beberapa waktu lalu seperti tak punya banyak tenaga?
"Udah sembuh, berkat bubur enak buatan kamu, Sayang." Dengan iseng Adit mendaratkan kecupan singkat di kening Caca, membuat wanita itu membeku dengan mulut menganga.
Tak ingin membiarkan dirinya lebih gemas lagi—ditakutkan sampai kehilangan kontrol, Adit segera merebut lembut nampan dari tangan Caca, kemudian menggenggam tangan kanan wanita itu.
"Ayo!" ulangnya karena Caca masih belum memberi reaksi.
"Masa sih secepat itu? Atau ... Aa pura-pura, ya?" tuduh Caca saat mereka berjalan pelan menuruni anak tangga. Adit menggenggam erat tangan kanannya, sementara tangan kiri pria itu membawa nampan.
"Gak pura-pura, Sayang, emang aku udah nemu obat yang manjur sekarang." Adit menjawab dengan senyuman simpul di wajahnya.
"Obat? Bukannya Aa anti obat, ya?"
Mereka berjalan bersisian menuju meja makan. Sekarang Caca bisa melihat perbedaan tinggi mereka, 160 vs 189 sentimeter. Caca seperti mendongak menatap puncak Monas.
"Kamu, kamu obatnya, Sayang. Jadi, sehabis dirawat oleh kamu, dimasakin bubur yang enak, aku udah sehat sepenuhnya." Adit mengangkat tangan Caca dan menciumnya.
Pipi Caca siap meledak. Hidungnya kembang kempis seperti bisa menyedot debu-debu yang beterbangan. Jantungnya jangan ditanya, seperti beduk malam Takbiran yang dibawa arak-arakan keliling kampung.
Dih, sejak kapan Adit memanggilnya 'sayang'? Kenapa pula pria itu mengganti panggilan di antara mereka? Sejak kapan mereka jadi sedekat ini? Tolong, Caca butuh jantung cadangan.
"Wih, pada bersih. Pasti tadi kamu yang rapiin rumah, kan?" Suara Adit menyadarkan Caca dari agenda salting brutal-nya.
Caca berdeham kecil. "Karena gabut," jawabnya.
"Makasih, makasih karena udah rawat aku dengan baik. Maaf, aku pasti ngerepotin ya semalam?" Adit bicara sambil berjalan ke arah kulkas dua pintu di sudut ruangan, mengambil beberapa bahan di sana.
"Enggak juga,"jawab Caca. Dia datang mendekati Adit untuk memberikan bantuan. Namun, pria itu malah menghalangi tangannya yang siap mengambil kemasan sawi segar.
"Kamu duduk aja, biar aku yang masak," kata pria itu. Dengan gerakan cekatan, dia memindahkan seluruh bahan makanan ke dekat wastafel untuk mencucinya. "Tolong pasangkan celemek dong, Sayang."
Dih, lancar banget bilang sayang nih buaya satu, batin Caca yang tetap menuruti permintaan Adit. Dia berdeham untuk menghilangkan canggung saat berdiri tepat berhadapan dengan Adit. Kemudian, kakinya berjinjit untuk menambah tinggi sehingga kedua tangannya bisa berhasil mengalungkan tali celemek ke leher pria itu.
Adit malah sengaja tidak menunduk, dia punya niat usil untuk menciptakan suasana yang bisa membuat mereka kontak fisik.
"Nunduk dong, A. Punya tubuh kok tinggi banget, nyusahin orang aja." Caca mengomel begitu saja, tak memedulikan kata apa yang keluar dari mulutnya.
"Iya, nih," kata Adit sambil menahan tawa.
Usai berhasil mengalungkan tali celemek, Caca berpindah ke belakang tubuh Adit dan memasang sisa talinya; mengikatnya dengan pelan.
"Gih, duduk manis aja di kursinya, Yang Mulia Ratu," perintah Adit. Sekarang dia bisa lebih gesit mengerjakan agenda ini.
Caca menurut, tak banyak kata. Berada di dekat Adit terus pun tak baik untuk kesehatan jantungnya. Apalagi sekarang pria itu sudah bersikap biasa saja, memanggilnya 'sayang' dengan lancar pula. Padahal bagi Caca, menyebut kata 'suami' saja masih aneh dan susah.
Apa benar Adit itu seorang pemain, ya, sehingga bisa dengan mudah akrab pada wanita?
Namun, pikiran absurd itu segera tersingkir dari kepala Caca. Sekarang sepasang matanya tengah fokus pada pria tinggi di depan sana yang mulai sibuk memotong-motong sayuran. Sesekali Adit bercerita, bertanya, atau menjawab pertanyaan Caca. Obrolan antara mereka masih kaku, tetapi sudah ada perkembangan.
"Aku kalau sakit wajib makan sayur," ucap Adit usai mencicipi sayur sup di panci. Rasanya pas.
"Sejak kapan Aa bisa masak?" Caca malah menanyakan hal lain.
"Kayaknya sejak SMA. Soalnya aku senang bantu Mama masak dari kecil. Apalagi setelah berlayar, skill kayak gini tuh penting. Memasak kan bukan harus hanya dilakukan oleh seorang wanita, melainkan skill bertahan hidup yang wajib dimiliki siap aja," jawab Adit detail.
Caca angguk-angguk. Agak tidak enak hati karena tadi sempat meragukan citarasa masakan buatan Adit. Senyumnya merekah begitu saja saat lanjut menonton Adit memasak. Pria itu benar-benar tampak lihai menguasai dapur. Dia jadi penasaran, kenapa Adit tidak daftar program lomba memasak saja atau ambil pendidikan jurusan memasak, daripada berlayar ke lautan lepas.
"Kenapa Aa pilih berlayar?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
Adit sudah menyelesaikan menu masakan terakhirnya. "Karena berlayar itu bebas. Selain itu, aku bisa dapat banyak pengalaman dan pelajaran baru. Contohnya adalah tak menyia-nyiakan makanan sedikit pun. Sebagai pelayar, meski sudah dalam persiapan matang, kita tidak akan tahu cuaca dan kondisi sejam kemudian. Kalau terjadi hal buruk, makanan apa pun itu menjadi salah satu bahan penting."
Caca angguk-angguk. Rasa kagum menguasai hatinya, lalu berubah menjadi rasa penasaran yang terus bertambah kuat setiap menatap Adit.
"Nah, masakan dari suami tercinta untuk istri tercinta sudah siap." Adit dengan cekatan membawakan dua mangkuk sup hangat yang menguarkan aroma lezat.
Cacing-cacing di perut Caca langsung berdemo.
"Mari makan bersama, Sayang!" Adit mendaratkan tangan bersihnya di kepala Caca, mengusaknya dengan lembut.
Dia tak menyadari, tindakannya itu nyaris membuat jantung Caca berhenti berdetak.
***
Isi babnya kebanyakan gula, ah.🤣🤟
Btw, janlup ikut PO nantiii.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top