BAB 13 - Demam

"Laki-laki selalu punya sisi kekanakan yang akan ditunjukan pada seseorang yang membuatnya nyaman."

***


SEBUAH RUMAH MINIMALIS dua lantai menjadi tempat ketibaan Caca dan keluarga. Bangunan itu memiliki kesan elegan dengan pemilihan warna cat dominan cokelat, dilengkapi beberapa lampu hias yang menyala oranye lembut. Ini rumah yang sudah dihuni Adit sejak tiga tahun lalu meski hanya sesekali ditinggalinya ketika tengah rehat dari berlayar. Sebagai ganti, Dinda-lah yang menjadi penghuni tetap rumah dua lantai itu.

Mereka tiba tepat ketika azan Magrib berkumandang, jadi langsung bergegas masuk untuk bersiap-siap menunaikan ibadah. Kemudian, para wanita sibuk memasak, termasuk Dinda. Caca pikir akan canggung berkenalan dengan adik ipar, tetapi ternyata perkenalan mereka berlangsung lancar. Wanita berusia 22 tahun itu adalah orang yang banyak bicara dan suka bercanda, sefrekuensi dengan Vanda.

"Baik-baik di sini ya, Neng." Vanda memeluk erat putrinya dan menghadiahi beberapa ciuman sayang.

"Nitip si Neng ya, A," kata Ikram dengan tabah sambil memeluk Adit.

Sekarang sudah pukul setengah sepuluh malam, kedua orang tua Caca akan pamit pulang. Vera tak ikut mengantar karena urusan pekerjaan sehingga Ikram dan Vanda hanya kembali berdua. Lalu, dengan alasan tak mau mengganggu pengantin baru, Dinda pun ngacir lima menit lalu, kembali ke rumah kedua orang tuanya yang berjarak kurang dari seratus meter dari sana.

"Aman, Yah, Ma. Neng udah jadi tanggung jawab saya sekarang," kata Adit lalu tersenyum manis. "Dan ..., terima kasih sudah memberi saya kepercayaan itu."

Ikram melebarkan senyum. "Saya percaya kamu, Dit. Tapi, kalau sampai kamu sakitin si Neng, walau sedikit saja, Ayah gak akan pernah segan buat pukul kamu." Itu ancaman serius dari ayah mertua dan Adit cuma bisa menyengir kaku.

"Udah, Yah. Ayo, pulang! Kita gak boleh lebih lama ganggu pasangan muda. Mereka harus punya banyak waktu buat reproduksi cucu kita," goda Vanda yang berakhir cekikikan sendiri.

Eh, Ikram malah ikut-ikutan menahan tawa. "Iya, Ma. Ayah lupa, dulu juga kita perlu hal itu buat itu," balasnya lalu mencium kening Vanda yang tertutup hijab hitam tanpa malu sedikit pun.

Mereka kemudian berjalan pergi dengan Ikram merangkul mesra istrinya. Caca dan Adit mengantar sampai pintu depan, kemudian mencium tangan keduanya bergantian sebelum mereka benar-benar pergi dengan SUV hitam yang dikendarai Ikram.

Caca memandangi kepergian kedua orang tuanya. Setelah 25 tahun hidup bersama, dibesarkan dengan penuh cinta oleh mereka, sekarang dia benar-benar berpisah rumah dari kedua orang yang amat dicintainya. Sekarang dia sudah dalam tahap mengambil langkah pertama untuk membuat keluarga sendiri.

"Ayo masuk! Dingin di luar," ajak Adit sambil merangkul pundak Caca.

Caca mengangguk pelan, lalu tiba-tiba mengerutkan keningnya cukup lama, sambil terus berjalan mengikuti Adit. "Mau langsung tidur, A?" tanyanya begitu melihat Adit naik ke lantai dua. Tangannya refleks mengelus perut yang terasa sakit. Pasti mau haid, nih.

Senyumnya merekah penuh harap. Untuk pertama kalinya, dia berharap segera haid biar punya tameng kuat untuk dijadikan alasan.

"Heem," jawab suaminya dengan suara lesu.

Kamar mereka ada di lantai dua, tadi Caca sudah melihatnya sendiri. Dekorasinya masih kental akan khas laki-laki, tetapi tadi langsung dibereskan karena barang-barangnya juga ikut dimasukkan.

Rumah itu terdiri dari tiga kamar. Satu kamar di lantai dua, sisanya di lantai satu. Satu kamar di lantai bawah diisi oleh Dinda, satunya lagi kosong. Selain itu, ada dua ruang luas juga: satu untuk ruang tamu, satu untuk ruang keluarga. Ada halaman kecil di samping rumah itu, yang diisi beberapa pot bunga atau tanaman hias.

Jadi, sekarang Caca bingung mau melakukan apa. Dia berjalan ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Tak ada film yang menarik. Mau langsung ke kamar juga rasanya terlalu cepat. Dia masih belum siap dengan kenyataan bahwa sekarang dirinya harus berbagi kasur dengan seorang pria.

"Yo, pengantin baru kok gak kerja lembur?"

"Wih, wih, manten anayar akhirnya nongol juga!"

Keputusan final, Caca memilih login dan main gim, bergabung dengan rekan-rekannya yang tengah online.

"Eh, eh, ngapain kamu on, Cil? Harusnya kamu masih gelut sama si Adit." Itu suara Zeze.

"Lah, kok gelut?" tanya Gavin.

"Gelut di kasur. Paham lah lo. Makanya, nikah sana!" Zeze nyinyir, bikin yang lain ngakak ngenes.

"Ca, gak ada masalah lagi kan di rumah tanggamu yang masih panas itu?" tanya Ega.

Caca mengunyah sukro dengan santai saat mendengar kalimat-kalimat aneh rekan mainnya. "Gak," jawabnya cuek.

"Terus kenapa malah login?" tanya Isam.

"Ya gabut. Lagian kenapa? Toh, ini hapeku, akunku, WiFi-ku." Caca menjawab dengan nada ketus.

Pada akhirnya, malam itu dia main gim sampai lewat tengah malam. Caca baru naik ke kamar pada pukul satu dinihari, setelah pergi ke kamar mandi dan ternyata menemukan fakta bahwa dia memang datang bulan. Caca auto full senyum.

Harus tidur di sampingnya, kah?

Sekarang wanita itu diam membeku di ambang pintu. Kedua matanya memejam, jantungnya berdebar tak karuan. Gini banget rasanya jadi pengantin baru. Tidur dengan Adit? Dia masih belum terbiasa. Kemarin saja karena terpaksa, dan kalau kembali ingat, mukanya pasti langsung panas seperti habis disiram air cabai.

Adit sudah tidur pulas di kasur, mengambil alih sebuah bantal dan satu guling-yang dipeluknya erat dengan posisi menyampin ke kiri, memunggungi pintu masuk. Tangan kanan Caca terulur perlahan, mengambil bantal dan guling yang menganggur. Kemudian, kedua kakinya mengendap-endap menuju pintu kamar.

Caca berencana untuk tidur di kamar sebelah. Namun, langkahnya seketika terhenti. Apa yang akan dikatakan Adit nanti? Apa alasan yang harus diberikan olehnya? Tambah, bagaimana kalau mertuanya mendadak datang berkunjung lalu menemukan fakta bahwa mereka tidur di kamar terpisah padahal baru sah dua hari?

Tiba-tiba sebuah ide brilian muncul di kepalanya. Dia akan tidur di sofa dan beralasan ketiduran!

"Ma ...."

Seketika langkah Caca kembali terhenti. Tangannya yang hampir mencapai kenop pintu mendadak tertahan di udara.

"Jangan ...."

Itu lirihan Adit. Suara pelan yang mengalun menjadi rengekan kecil.

"Haihhh ...." Caca jadi takut sekarang. Jangan-jangan pria itu sudah menangkap basah dirinya?

Caca memejamkan mata, berusaha menyusun rencana untuk menyelamatkan diri. Satu menit kemudian, dia membalikkan badan dengan perlahan, takut kalau-kalau Adit ternyata sudah berdiri di belakangnya. Namun, ternyata itu hanya ketakutannya saja. Di luar dugaannya yang keliru, Adit tampak masih tidur di kasur. Posisinya sedikit berubah, jadi telentang, tidak lagi miring ke kanan seperti tadi.

"Ma ...." Lagi-lagi pria itu mengigau.

Mendengar nada pelan pria itu, segala ketakutan dan kecurigaan Caca sedikit demi sedikit meluntur. Kedua kakinya melangkah sebelum dia sempat menyadari apa yang akan dilakukannya. Wanita itu memeluk erat-erat bantal dan gulingnya, dengan mata menatap fokus pada Adit. Lampu ruangan yang menyala terang membantu kedua matanya untuk mengidentifikasi suasana dengan cepat.

Adit tampak berkeringat dalam tidurnya. Dia bergerak-gerak gelisah, sesekali matanya bergerak-gerak pelan dalam keadaan masih tertutup. Sepertinya pria itu memang sungguhan mengigau, tetapi ada yang salah dengan dirinya.

Segera Caca mendapat sebuah kesimpulan. Kemudian, dia berjalan mendekat ke sisi suaminya. Bantal dan guling yang sejak tadi terus didekapnya, diletakkan pelan-pelan ke atas kasur. Kemudian, tangannya beralih terulur ke kening Adit.

Panas. Suhu tubuh pria itu amat panas.

"Dia demam," gumam Caca sambil menatap iba pada pria yang terus mengigau itu.

Tanpa membuang waktu, dia segera berlari kecil menuju dapur. Dengan gesit, dia menyiapkan air hangat serta handuk kecil untuk mengompres Adit. Kembali ke kamar, mendadak rasa canggung menyergap. Kalau mengompres, artinya dia akan menyentuh kulit pria itu, kan? Apalagi kalau mengikut kebiasaannya sejak kecil. Saat Caca sakit, Vanda akan mengompres dahi, ketiak, dan ... dada.

HIII! Caca malah merinding sendiri.

"Ma, jangan tinggalin Ditya ...." Gumaman setengah tidak jelas pria itu menarik kembali Caca ke kenyataan. Dia meringis kecil dengan napas putus-putus yang keluar dari mulut pucatnya.

Tidak, tidak. Tidak apa-apa, kan? Toh, mereka sekarang sudah sah. Jadi, tidak akan berdosa kalau dia menyentuh dada pria itu. Daripada membiarkan suaminya ini sakit, terus nanti berujung berabe. Bahaya part dua, nanti ada artikel viral berjudul "Seorang Suami Ditemukan Tak Bernyawa di Kasurnya karena Sakit Tak Diurus Istri". Waduh!

Pertama-tama, Caca membetulkan posisi tidur pria itu meski dengan takut-takut, kemudian merapikan selimutnya. Sekarang dia berkacak pinggang, mengumpulkan keberanian sebelum mulai mengompres Adit.

"Ma, peluk ...."

Caca membeku dalam duduknya saat tangannya yang akan mengompres area leher Adit justru ditahan oleh pria itu. Adit memeluk lengannya. Jarak mereka terlalu dekat, membuat Caca refleks menahan napas. Dia bisa merasakan suhu panas menguar dari tubuh pria itu saking dekatnya jarak mereka. Lalu, entah kenapa Caca merasakan waktu berhenti melaju, seisi dunia pun mendadak senyap. Kedua matanya hanya terfokus pada wajah pria itu.

Adit memiliki bulu mata yang lebat, alis tebal dan agak berantakan. Lalu, bagian yang menarik adalah bibirnya, agak tebal dan sedikit merah. Tekstur kulit bibirnya juga lembut, tidak seperti milik Caca yang suka pecah-pecah dan kadang jadi bahan gabutnya. Bikin Caca iri saja. Terakhir, rambut pria itu ikal dan agak panjang, tetapi saat disentuh setiap helaiannya terasa lembut. Rahang yang tegas menjadi objek penelitian Caca berikutnya.

Tidak, sepertinya Caca baru saja tersihir oleh sebuah mantra cinta. Jantungnya di dalam sana langsung bereaksi menggila begitu menahan pandangan pada wajah Adit dalam jarak dekat selama sepuluh detik.

"Ma, peluk Ditya ...," rengek Adit, masih dengan kedua mata memejam.

Caca jadi serba bingung sekarang. Hatinya panik bukan main, jantungnya meronta-ronta ketakutan, sementara tubuhnya malah diam membeku.

Tiba-tiba Adit sedikit membuka mata dan kembali meringis pelan. Dia memaksakan diri untuk bangun. "Sini, Maaa." Dia merengek lagi dengan suara bindengnya.

Ternyata fakta bahwa laki-laki bisa menghadapi patah tulang atau kecelakaan parah, tetapi tumbang oleh demam itu terbukti adanya. Buktinya sekarang Adit berubah seperti anak kecil yang diberi sakit parah dan sudah tak kuasa lagi bertahan.

Karena otaknya blank, Caca tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menurut. Dia naik ke kasur dengan perlahan, kemudian duduk di samping Adit. Adit malah langsung menempel kepadanya, menjatuhkan kepala ke dadanya lalu memeluk erat; masih dengan mata terpejam. Tiga detik kemudian, sepertinya pria itu lanjut tidur.

Oh Tuhan, ... Caca bisa mati jantungan.

"Usapin," pinta Adit dengan suara pelan. Sepertinya pria itu hanya setengah sadar, atau tidak sadar betulan dan mengigau menganggap Caca adalah ibunya.

Caca berdeham untuk meredam detak jantungnya yang menggila. "Sa-sambil ...." Suaranya malah hilang begitu saja.

Akhirnya, Caca mulai menggerakkan tangannya di punggung pria itu dengan keadaan jantung yang justru berdebar makin gila. Tentu, tangan kanannya sibuk mengompres tubuh Adit. Adit bergerak pelan membetulkan posisinya dan perlahan tertidur dalam kenyamanan.

"Buka ...." Adit kembali mengigau sambil menarik-narik kausnya.

Caca menelan ludah panik. Jangan bilang, pria itu mau dibukakan baju?

"Bukaaa ...." Adit bangkit duduk dan sedikit oleng sehingga Caca buru-buru menahannya. Dengan tangan yang bergerak kesusahan, pria itu mulai menarik bajunya dalam beberapa kali percobaan. Hingga akhirnya, tampillah tubuh bagian atasnya yang polos tanpa sehelai benang pun.

Dugaan Caca benar, pria itu punya tubuh atletis yang bikin mulutnya refleks menganga.

Lantas, masih dengan matanya yang terpejam, pria itu kembali menjatuhkan diri ke pelukan Caca dan lanjut tidur.

Ya Tuhan, berilah cadangan nyawa lebih kepada Caca untuk malam ini.[]

***
Adit-nya lagi sakit malah bikin salting anak orang woe!😭🤟

Awas panas dinginnnn.😭🤟

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top