BAB 12 - Makan Bersama
"Jangan menyangkal kata cinta kalau jantungmu berdebar setiap kali berada di dekatnya."
***
ADIT BERDEHAM CANGGUNG begitu menemukan wajah Caca di antara orang-orang yang sudah duduk manis di meja makan. Jantungnya tak bisa bohong, berdetak cepat dan menghantarkan sensasi aneh ke sekujur tubuh, memberi pertanda bahwa mulai ada yang lain di hatinya.
Namun, ternyata tak hanya dirinya saja yang bereaksi begitu. Caca pun refleks membuang pandangan, padahal tengah asyik mengobrol—lebih tepatnya diajak ngobrol—sama Vera. Dia tak kuasa menyembunyikan perasaannya atau sekadar membuat ekspresi muka tembok di hadapan suaminya.
Ya gimana, bangun tidur tadi mereka sudah dalam posisi pelukan, rapat banget lagi. Mengingat itu, muka Caca dan Adit panas begitu saja.
"Kenapa kamu, hah?" Vera jadi sebal sendiri karena gibahannya tentang Aa Jong-suk tak digubris lagi oleh Caca, padahal sahabatnya itu tadi cukup ekspresif.
"Gak," jawab Caca lalu berdeham lagi.
Begitu merotasikan tatapan karena menyadari kehadiran satu orang lagi di antara keramaian meja makan, Vera langsung mengangguk-angguk dengan senyum miring merekah di wajah tanpa makeup-nya. "Kalian habis bercocok tanam berapa ronde?" celetuknya.
Ikram yang tengah menyeruput teh melatinya langsung terbatuk-batuk. Lalu, tawa menyembur dari Fahmi yang sedang mengajak putri kecilnya berbicara, membuat bayi satu tahun itu menangis kencang dan dia berujung ditegur istrinya.
Wajah Adit dan Caca merah padam. Caca langsung menghadiahi Vera dengan pukulan kencang di pundaknya, sementara Adit membeku sepersekian detik sebelum menarik kursi kosong yang masih tersisa dan duduk di sana.
"Frontal banget kamu, Ver," kata Fahmi. Dia menyerahkan putri kecilnya pada sang istri yang langsung beranjak untuk menenangkan si kecil. "Eh, tapi aku penasaran juga lho sama kalian."
Mendapat tatapan penuh selidik dari kedua orang itu, Caca menciut di tempat duduknya. Apalagi saat menemukan wajah—yang entah kenapa malah terlihat penasaran juga—Adit yang duduk tepat di sampingnya. Ikram sendiri hanya geleng-geleng dan lanjut sok sibuk baca koran harian terbaru.
"Gak ada!" Caca menjawab tegas dan jujur.
"Masa?" Fahmi dan Vera kompak menyahut.
Fahmi mencondongkan tubuhnya lalu berbisik, "Aa dulu main sampe ...," dia celingukan mencari istrinya, "sampe nyaris subuh."
Vera meringis, Caca pasang tampang horor, dan Adit yang tak sengaja mendengarnya hanya bersikap pura-pura tuli.
"Tenaga pengantin baru emang gak main-main ya, A?" tanya Vera sok polos.
Caca nyengir keki. Bisa jadi pasien psikiater dia kalau lama-lama duduk di antara kedua orang ini.
Fahmi mengangguk, menahan tawa. Dia kembali beralih pada satu-satunya adiknya itu. "Jadi, Dek, gimana Adit di ranjang?" Pertanyaannya terlontar dalam bisikan, tetapi jelas sekali Adit bisa mendengar karena posisi mereka tak terlalu berjauhan.
Diam-diam Adit menajamkan pendengaran. Memang apa yang telah terjadi semalam, ya? Seingatnya dia hanya tidur, tetapi ... dia punya kebiasaan tak bisa tidur tanpa memeluk sesuatu.
"A Adit ...." Caca sengaja menggantungkan ucapannya. Diusili dua orang ini? Jelas dia tak boleh diam saja, harus ada pembalasan! "Dia di ranjang ...."
"Habis berapa ronde, habis berapa ronde?" bisik Vera. Fahmi angguk-angguk.
Caca menggenggam erat balon mainan milik keponakannya, kemudian dengan gerakan cepat mendaratkannya—masing-masing satu kali—di depan Vera dan Fahmi. "Gak ada! Kami cuma tidur doang!" jawabnya sambil memelotot galak.
"Bohong!" tukas Fahmi.
"Gak percaya, buktinya rambutmu basah. Pasti habis mandi wajib, kan?" imbuh Vera.
Caca menghela napas kencang. "Otak kalian benerin gih, copot dulu kalau perlu, biar sama Mama dicuci pake Bayclin sampe bersih. Aku emang mandi, keramas, tapi mandi biasa. Dan semalam kami emang cuma tidur doang, TITIK!" cerocosnya.
Vanda bergabung ke meja makan sambil membawa semangkuk sup hangat. "Kalian ini, gak usah repot urusin dapur orang. Apalagi kamu, Ver, yang belum nikah, pamali bahas begituan," tegurnya bijak. "Neng, bantu Mama, yuk!"
Acara sarapan yang terlambat tiga jam itu akan segera dimulai. Para wanita bekerja sama mengisi meja makan dengan segala hidangan. Caca dan Vera sibuk membantu Vanda sambil sesekali bercengkerama dengan Lista, sang kakak ipar.
Lima menit berikutnya, meja makan pun ramai oleh beragam suara. Perut mereka jelas sudah meminta jatah untuk diisi karena sarapan terus tertunda dari tadi. Para tamu yang tak lain adalah sanak keluarga, secara berurutan mulai meninggalkan kediaman Ikram sehingga sang tuan rumah tak henti-hentinya sibuk bahkan sejak pukul empat subuh.
Sesekali Adit melirik Caca di sela kunyahannya, pun Caca yang curi-curi pandang pada pria itu tanpa suara. Pemandangan itu jelas menjadi tontonan gratis seisi meja makan.
"Hilih, sok malu-malu, lirik-lirik dikit, padahal aslinya kalian anuan kan di kamar? No jaim-jaim," celetuk Fahmi yang langsung mendapat pukulan pelan di pahanya dari sang istri. Namun, bukannya kapok, pria itu malah mendaratkan kecupan singkat di kening istrinya, mencairkan suasana.
"Heeeh, udah-udah, jangan digangguin mulu pengantin barunya," tegur Vanda yang sudah duduk manis di dekat putra pertamanya.
"Habis, Ma, aku gak percaya banget kalau malam pertama mereka cuma tidur doang." Vera bicara sambil mengunyah lahap masakan Vanda yang mengisi piringnya.
"Ya emang harus ngapain? Sumo?" balas Caca geram. Dia memasukkan sesendok penuh nasi ke mulutnya dan mengunyah dengan ganas. Melihat pemandangan menggemaskan itu, Adit menahan senyumnya.
"Gaya sumo sabi, tuh," celetuk Fahmi.
"Hus!" Lista menegur dengan pelototan.
"Udah, udah." Vanda menengahi, melirik tak enak hati pada menantunya. "Maafin ya, Dit, keluarga kami suka usil."
Adit langsung menggeleng cepat. "Gak apa kok, Ma, aku seneng-seneng aja," jawabnya jujur. Suasana keluarga yang hangat membuatnya merasa diterima dengan baik meski mereka baru kenal kurang dari sebulan.
"Nah, gak usah sungkan, Dit, anggap aja rumah sendiri," kata Fahmi sambil mengulurkan tangan untuk menyendok sambal.
Tiba-tiba Adit seperti tersadar akan sesuatu. Maka dia berdeham sebelum berujar, "Ma, Pa, A, Adit izin bawa Cahaya ke rumah baru di Ciwidey dalam waktu dekat ini." Ekspresinya tenang, tetapi langsung berubah begitu mendengar dehaman Ikram.
"Kapan?" Suara pria itu menggelegar, nyaris merontokkan bulu-bulu di tubuh Adit. Mendadak mertuanya itu menguarkan aura killer yang menguji nyalinya.
"Dua atau tiga hari dari sekarang, Yah. Rencana ...," dia melirik takut-takut pada ekspresi Ikram yang ternyata tengah memelototinya, "hari ini juga saya akan bawa Cahaya ke rumah Mama dan Papa karena masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan dulu."
Ikram tak menjawab atau bereaksi dan itu membuat Adit menghela napas. Kenapa pria itu jadi punya dua mode yang bisa langsung berubah begitu putri bungsunya disinggung? Tadi Ikram tampak santai, malah melebarkan senyum hangat pertanda menyapa pada Adit, lalu dalam sekejap ekspresi tenangnya itu lenyap begitu saja.
Sekarang hanya ada mertua galak di depannya.
"Yah, biarin aja kali, kan Caca sekarang udah tanggung jawab Adit," tegur Vanda yang menyadari suasana meja makan mulai menegang.
"Ayah nih, cemburunya masih gak kekontrol, padahal kan Caca udah nikah," imbuh Fahmi di sela menyuapi si kecil.
Mau tak mau, Ikram melunakkan ekspresinya yang horor itu. "Ayah cuma khawatir," elaknya.
"Khawatir atau gak rela, Yah?" goda Vanda yang mengisi ulang piring Ikram dengan secentong nasi.
Ikram tak menjawab, bibirnya manyun, mengundang tawa yang lain. Merasa suasana mencair, kedua pundak Adit melorok begitu saja. Ketegangannya telah lewat.
"Gak apa-apa, mau dibawa ke mana pun, asal kamu bisa tanggung jawab penuh pada Caca, Mama ikhlas dan cuma bisa dorong dengan doa." Suara lembut Vanda, dengan nada pelan, menyentuh hati kelima orang yang berstatus anak itu. Mereka sontak memelankan kunyahan begitu merasakan hati menghangat begitu saja. "Satu lagi, izinin kami mengantar Caca, ya?"
Adit mengangguk. "Tentu aja, Ma," jawabnya atas dua permintaan sang mertua.
Dehaman Ikram kembali membekukan suasana. Pria itu memasang wajah serius, pertanda akan ada kalimat penting yang dikeluarkan. "Ayah percaya kamu, tapi jika suatu hari nanti kamu sudah tak bisa memenuhi kata-katamu, tolong pulangkan Cahaya dengan baik-baik kepada Ayah. Tidak usah malu tidak perlu sungkan. Ayah bisa memaafkan apa pun kesalahan kamu selama kamu meminta maaf baik-baik kepada Ayah."
Amanat yang terlalu mendalam dan kental akan emosi. Caca refleks melempar pandangan pada ayahnya, pria yang menjadi cinta pertamanya. Lalu, kedua matanya berkaca-kaca, nyaris menjatuhkan setetes bulir bening andai tak ditahan. Vera mengusap-usap pelan pahanya di bawah meja.
"Ayah tenang aja, aku gak akan pernah mengingkari ucapan apalagi janjiku. Dan ..., aku gak akan pernah biarin hati Cahaya terluka apalagi sampai meneteskan air mata kesedihan karenaku." Adit pun berujar dengan sungguh-sungguh, sontak membuat atmosfer meja makan makin haru.
Diam-diam Vanda melirik putri bungsunya yang nyaris meneteskan air mata. Takdir Tuhan memang selalu indah meski dengan cara yang buruk di mata manusia. Selama ini, Vanda tak pernah melihat putrinya dekat dengan pria selain para sahabatnya. Jelas dia tahu kisah cinta sendirian Caca pada Zeze, tetapi tak terlalu banyak ikut campur.
Caca tak pernah pacaran sekali pun sampai sekarang. Dekat dengan Zeze pun terbilang kedekatan tanpa status. Maka dari itu, Vanda tak menyangka bahwa jodoh putrinya datang dengan cepat, tetapi syukurnya di waktu yang tepat.
Nak, Mama harap pernikahan kalian awet sampai maut memisahkan lalu kalian nanti dipertemukan kembali di syurga-Nya. Mama berharap penuh Adit adalah pasangan sehidup sesurga kamu, Sayang. Mama harap Adit adalah pria yang tepat untuk melengkapi setiap kekurangan kamu, menuntunmu ke jalan benar, dan selalu menemenaimu dengan cinta dan sayang tak terbatas. Wanita itu tanpa sadar meneteskan air mata dengan tatapan masih terfokus pada Caca.
"Mama kenapa nangis?" Suara Caca membuyarkan lamunan dalam Vanda.
Buru-buru Vanda menghapus sisa air mata dari pipinya. "Mama terharu, ternyata anak Mama yang tomboi ini bisa bucin dan dibucinin cowok juga."
"Mama kira aku gak normal?" sambar Caca yang kemudian pasang wajah cemberut.
Sontak tawa berderai memecahkan suasana meja makan. Fahmi dengan iseng mengambil piring semur jengkol yang sisa sedikit lagi, padahal Caca hendak mengambilnya. Perang kecil meledak, membuat Ikram langsung menegur keduanya dengan galak.[]
***
Double up bab, nih, spesial buat pembaca setia.☺️
Jangan lupa vote n comment yaaa.🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top