BAB 10 - Malam Pertama
"Aku tak menyangka, secepat itu kita bisa serumah dan menyandang status suami-istri."
***
INI MALAM PERTAMA dan Caca rasanya masuk ke sarang harimau begitu menginjakkan kaki di kamarnya. Padahal ini ruangan yang menjadi "habitatnya" selama belasan tahun ini. Namun, sekarang terasa asing karena banyaknya dekorasi yang menutupi setiap sudut, ditambahi beragam aroma wewangian, dan kasur yang dihias berlebih-menurutnya.
Terlebih kalau ingat akan ada penghuni tambahan di sini. Berbagi kasur dengan seorang pria ....? Tubuhnya refleks bergidik dengan bulu-bulu berdiri serempak. Dia memukul-mukul kepala, berusaha mengenyahkan pikirannya yang mulai ke mana-mana.
"Kebanyakan temenan sama Vera tuh gini jadinya!" Dia mengomel dalam bisikan.
Di ruang tamu, Vera yang sedang asyik gibah dengan Vanda mendadak bersin, membuat sebutir kacang asin melompat keluar dari mulutnya.
Tiba-tiba pintu terdengar dibuka oleh seseorang. Adit muncul, masih dengan setelan acaranya karena baru selesai ngobrol dengan banyak tamu. Dia belum sempat berganti pakaian apalagi mandi.
"Eh, hai!" sapa pria itu, kaku.
"Hai juga." Caca lebih kaku dan kelihatan canggung. Dia berdeham dengan mata tak berhenti bergerak untuk mencari pelarian lain.
"Mandi belum?" Adit berjalan pelan kemudian duduk di salah satu sudut kasur yang sudah ditaburi bunga-bunga. Khas kamar pengantin banget.
"Belum," jawab Caca. Dia memilih duduk di meja rias dan mulai mencopot satu per satu pernak-pernik yang menempeli tubuhnya. Untuk mengikuti acara malam tadi, dia masih dirias meski tak seheboh siang tadi. Tiba-tiba dia merasakan hawa kehadiran yang mendekat. Saat mendongak, rupanya Adit sudah berdiri di belakangnya.
"Mau dibantu?" tawar pria itu.
Dari dekat begini, ternyata tubuh Adit menjulang tinggi. Bahkan, saat pria itu merundukkan tubuh, Caca masih perlu usaha untuk mendongakkan kepala dan berhasil menatap wajah suaminya. Suami? Ah, astaga!
"Kenapa?" tanya Adit begitu melihat reaksi aneh Caca. Wanita itu kelihatan salah tingkah sekaligus canggung.
Caca merasakan pipinya memanas begitu saja. "Kak-eh, maksudnya A ... Aa mandi duluan aja," kata wanita itu. Dia sempat ragu, bingung harus mengganti panggilan apa kepada suaminya, mengingat sapaan 'kakak' terlalu asing untuk pasangan halal. Sayang? Ish, tidak, tidak! Lidahnya bisa geli maksimal kalau sampai memakai panggilan itu.
"Hmmm, yakin gak mau dibantu?" Suara Adit melembut. Membuat Caca termenung sesaat. Kenapa pria itu tampak kecewa?
"Bukan gitu maksudnya. Aa kan capek pastinya, habis nerima banyak tamu. Jadi, Aa mandi duluan aja. Soalnya kan pria itu mandinya cepet. Lah, aku malah masih sibuk copotin perintilan ini," jelas Caca dengan cepat.
Adit mengangguk-angguk, tak melempar protes lagi. Pria itu menuju kopernya, mengambil handuk serta satu setel pakaian, kemudian berjalan santai menuju kamar mandi setelah ditunjukkan oleh Caca.
Caca mengembuskan napas lega. Sepertinya malam ini akan terasa lebih panjang untuknya. Tidak, tidak, dia harus mencari akal agar bisa terbebas dari agenda-tidur-bersama-pengantin-baru. Dia belum siap!
"Masih belum beres?"
Mendengar suara yang tiba-tiba itu, tubuh Caca sedikit terlonjak. Jelas saja dia kaget karena tengah melamun-dengan keheningan kamar yang mendukung-sampai tak menyadari sekitar. Adit sudah muncul dengan rambut basah yang masih mengucurkan bulir-bulir air. Dia tampil lebih fresh. Pria itu mengenakan kaus putih polos dan kolor hitam selutut.
Caca refleks nutup mata, belum terbiasa dengan pemandangan seperti itu.
"Kenapa, lho? Aku kan suami kamu. Kita sudah halal, sah secara agama dan hukum. Malah kalau kamu mau lihat aku telanjang juga bisa," cerocos Adit sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Lalu, tiga detik berikutnya, gerakan pria itu terhenti. Tubuhnya langsung membeku begitu menyadari ada yang salah dengan ucapannya tadi. Untung Caca sudah selesai dengan seluruh pernak-pernik yang menguras tenaganya, jadi dia punya kesempatan untuk lari dari suasana canggung itu.
"E-eh, aku ke-ke kamar mandi dulu, ya. Ma-mau mandi, gerah."
Caca berdiri dengan terburu-buru dan langsung ngacir ambil handuk, kemudian memelesat ke kamar mandi. Bahkan, tanpa sadar dia setengah membanting pintu.
Jelas saja Adit agak kaget, ditambah dengan melihat reaksi Caca tadi. Wanita itu pasti kaget atau bahkan langsung membencinya karena mengira dia pria cabul, tak beretika, dan tak tahu tata krama? Namun, apa salah? Toh, kan mereka sekarang sudah sah jadi suami-istri.
Di dalam kamar mandi, Caca masih tak sadar merapatkan tubuhnya ke badan pintu. Jantungnya berdetak lebih cepat dan kencang, matanya tak berhenti bergerak padahal tak mencari sesuatu, belum lagi sensasi aneh yang membuat seluruh tubuhnya meremang dengan muka panas tanpa sebab.
Lima menit terdiam, Caca akhirnya berdeham dan berjalan untuk meletakkan handuk. Kaki kanannya melangkah ke bawah shower, air hangat pun mulai mengguyur tubuhnya, membuat kepalanya perlahan-lahan bisa melepaskan diri dari segala pikiran rumit.
Mandi memang obat manjur untuk mengembalikan mood. Sayangnya, mood Caca yang baru membaik itu retak dan hancur seketika begitu menyadari bahwa dia ke kamar mandi cuma bawa handuk.
Mati aku! Lupa bawa pakaian ganti! batin Caca sambil memukul-mukul pelan jidatnya yang masih basah. Selembar handuk memang bisa menutupi tubuhnya?
"Eh, udah selesai?" Adit tersadar dari lamunan begitu pintu kamar mandi dibuka.
Panik langsung menyerang, membuat kepalanya blank. Seluruh gerakan tubuhnya yang diharap bisa mendatangkan sebuah ide secara ajaib pun hanya sia-sia. Pada akhirnya, dingin udara kamar mandi menusuk kulitnya, membuat wanita itu mulai menggigil. Dia tidak mungkin ditemukan meninggal di sini terus nanti viral masuk artikel dengan judul "Seorang Pengantin Wanita Ditemukan Meninggal di Kamar Mandi Gara-gara Lupa Bawa Baju Ganti".
"Sial!" Caca hanya bisa mengumpat pelan. Kemudian, matanya berotasi pada pintu. Hening di luar sana. Adit sedang apa? Apa sedang tidur? Sepertinya tidur, mengingat Caca di dalam kamar mandi sudah nyaris satu jam. Padahal biasanya dia tak pernah mandi lama-lama, cuma gara-gara ini malam pertama, dia sengaja melakukan ritual mandinya dengan gaya slow motion.
Dia pasti sudah tidur. Caca mengambil kesimpulan cepat. Jadi, dia mulai melangkahkan kakinya yang terasa beku. Langkahnya pelan dan pendek-pendek, seperti seekor kucing ketika akan mencuri sepotong ikan goreng dari piring majikannya.
Handel berputar pelan, nyaris tak menimbulkan suara. Kemudian, kepala wanita itu melongok keluar dan matanya membulat begitu melihat ruangan sepi. Tak ada Adit di sana. Apa benar pria itu sudah tidur?
Caca mengambil langkah pertama dengan jantung nyaris berhenti berdetak. Lalu, napasnya terembus kencang begitu melihat Adit memang sudah tidur di kasur. Badannya tak bergerak sedikit pun saat Caca mengendap-endap mendekati lemari pakaian yang bersisian dengan kasur.
Jangan bangun, jangan bangun, jangan bangun. Caca terus merapal mantra meski dia bukan penyihir, berharap penuh selarik kalimat itu bisa membuat Adit benar-benar tak bangun untuk saat ini.
"Ekhem!"
Ada yang batuk!
"Udah selesai mandinya?"
Tolong, sekujur tubuh Caca meremang sekarang, bagai kucing yang ketemu anjing lalu seluruh helai bulu di badannya berdiri tegak.
Wanita itu memejamkan mata sambil memegangi erat ujung handuk di dadanya. Untung saat ini dia tengah jongkok, tetapi adegan ini juga tak menjadi keuntungan baginya. Malah dia rasanya mau mati.
Tuhan, tolong ubah aku jadi meja prasmanan aja!
Terlalu panik membuat Caca tak bisa berbalik, bahkan untuk sedikit pun menggerakkan kepalanya. Adit sudah duduk, tetapi sengaja memunggungi istrinya. Dia memang sempat nyaris tertidur, tetapi rasa kantuknya hilang sudah begitu mendengar pergerakan di ruangan ini yang berasal dari Caca. Tadi dia memang sempat mengintip wanita itu mengendap-endap dengan tubuh hanya ditutupi handuk.
"A-aku ke-keluar dulu kalo gitu," sambung Adit karena sadar bahwa istrinya tak bisa mengucap sepatah kata pun saat ini.
Caca berdeham, tetapi suaranya seperti tikus terjepit. "Gak apa-apa. A-aku udah dapat bajunya, kok," katanya di luar konteks. Padahal kenapa dilarang? Bukankah perginya Adit akan membuatnya selamat?
"O-oh, o-oke. Aku tutup mata, kok."
Adit beneran tutup mata meski sudah memunggungi Caca.
Dalam gerakan patah-patah dan jantung bertalu-talu, Caca akhirnya berdiri kokoh. Kemudian, kembali berlari ke kamar mandi untuk segera menutupi tubuhnya dengan pakaian layak.
Beberapa saat kemudian, Caca kembali ke ruangan, tetapi mukanya merah padam. Jangan tanya bagaimana jantungnya saat ini. Untung dia tak punya riwayat penyakit jantung karena suasana ini benar-benar membuatnya bisa terancam serangan jantung dadakan.
Wanita itu menggosok-gosok rambut pendeknya yang menjadi gulungan-gulungan kecil. Dia mengenakan T-shirt hitam oversize dengan celana kain selutut. Sekarang Caca menyesali kenapa dia tak pernah beli pakaian beragam varian. Seisi lemarinya hanya dipenuhi baju dengan model itu-itu saja.
Adit menatapnya nyaris tanpa kedip dan Caca menganggap itu sebagai tanda bahaya.
"Duduk sini!" pinta Adit sambil menepuk-napuk kasur di sampingnya. Dia menyimpan ponsel di nakas.
Caca diam membeku. Menurut berarti bahaya, tak menurut berarti durhaka. Dia harus pilih mana? Sementara Adit masih terus menatapnya, seolah-olah mengharap penuh bahwa dia akan menurut.
"Kenapa?" Suara jernih Adit membuat isi kepala Caca makin kalang kabut.
Akhirnya, dengan terpaksa dia menurut. Gerakannya kaku, langkahnya kecil dan pendek-pendek begitu berjalan menuju kasur. Ranjang berderit pelan begitu Caca duduk sepuluh senti dari Adit. Namun, dalam gerakan cepat, pria itu memangkas jarak. Caca agak kaget begitu Adit mengambil handuk dari tangannya, kemudian mulai menggosok pelan rambutnya yang masih basah.
"Sini, kubantu keringin rambut kamu, Cahaya," kata Adit tanpa menunjukkan niat lain sedikit pun.
Caca bisa melihat ketulusan pertolongan pria itu, tetapi dia sudah trust issue duluan gara-gara kebanyakan makan doktrin si Vera.
"Adit pasti brutal, Ca."
Caca menepuk udara saat Vera muncul dalam bentuk setan khayalan tengah tertawa terbahak-bahak sambil pasang tampang cabul.
"Ada nyamuk, kah?" celetuk Adit sambil merotasikan matanya ke sekitar kepala wanita itu.
"Eh?" Caca tersadar dan pipinya kembali memanas. "Bukan." Dia berdeham canggung.
Lalu hening. Perlahan Caca menikmati usapan lembut Adit di kepalanya, sementara Adit tak bisa mengalihkan pandangan dari wanita itu. Pikirannya berkelana, tetapi bukan memikirkan yang iya-iya. Dia hanya tak menyangka, ternyata wanita yang bersamanya lima tahun kalah sama yang baru kenal sehari. Jodoh memang kejutan terbaik dari Tuhan.
Usapan Adit perlahan turun ke leher Caca dan tanpa sadar Caca pun menolehkan mata tepat ke wajah Adit. Keduanya bertatapan dari jarak dekat, dengan tubuh saling berhadapan pula; diam kaku.
Waktu seperti berhenti berjalan, udara tak lagi berembus, dan keramaian lenyap begitu saja. Secara naluriah, Adit mendekatkan kepalanya dengan tatapan masih mengunci mata Caca. Caca merasa Adit telah menggunakan sihir berkekuatan tinggi yang membuat tubuhnya membeku dan bergerak sendiri. Dia diam tatkala wajah Adit kian dekat, bukannya segera menghindar, minimal mendorong atau sekalian saja menampar pria itu.
Sepertinya ini terlalu cepat.
Kan, pria kalau berbuat baik, pasti ada maunya!
***
NGAREPIN APA KALIAN, HAHHH?
🗿🗿🗿🗿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top