Dua Remaja Akhir

A/N.
Cerita ini terinspirasi dari obrolan saya dengan kenalan saya; entah bagaimana, kami bukannya basa-basi malah diskusi berat begini ... saya jadi merasa sok tahu soal keadaan negeri ini, padahal saya masih mental bocah.

⏮️

Dua Remaja Akhir


"Negeri kita bobrok, Ri."

Mendengar itu, aku mengerling ke arah Ratna yang memandangi ponsel pintarnya. Dapat kulihat sebuah iklan berita dengan headline yang menuliskan sesuatu tentang Indonesia. Mataku kembali memandang laptop yang diletakkan di atas meja kopi, sambil menyenderkan punggung pada sofa panjang di belakangku. Mungkin memang sudah kebiasaan mendarah daging banyak orang Indonesia untuk duduk di lantai, padahal ada furnitur untuk duduk.

"Memangnya kenapa, Rat?" tanyaku, menatap layar dan mulai mengetik formulir SNMPTN di websitenya, "Tentang kebusukan Bidikmisi dan KJP lagi? Moral sekarang memang sudah anjlok. Dibuang ke kali Ciliwung, mungkin."

"Bukan. Soal itu sih, aku memang masih marah, Ri," jawab Ratna, meletakkan ponsel dan ikut lanjut mengisi formulirnya sendiri, "Habisnya, dari keluargah berada, kok, masih saja daftar Bidikmisi. Sampai ada yang rela pergi ke rumah lama bin jelek punya keluarga, cuma demi foto."

"Oh, si anu, ya," Aku terkekeh mengejek saat mendengar ungkapan Ratna. Kami berdua tahu siapa yang dia maksud—salah seorang anak kelas sebelah yang tidak perlu disebutkan namanya. "Yah, ekonomi makin susah. Mau gimana lagi, kan. Semuanya mengincar Bidikmisi, biar beban orangtua juga ringan."

"Ya, tapi kan—"

"Negeri kita bobrok, Rat," tukasku, mengembalikan kalimat pembuka diskusi kami. Diam-diam, aku tersenyum miring melihat Ratna yang tak puas atas tanggapanku.

Sambil mengembalikan fokus ke arah laptop, aku lanjut berkata, "Nilai Rupiah makin turun, harga barang makin naik. Aku kurang paham soal ekonomi, tapi seenggaknya aku tahu kalau ekonomi kita ... terdesak. Ekonomi negeri lain kayaknya bernasib sama. Kayaknya, ya. Aku kan bego soal ekonomi."

Ratna tertawa miris. "Negeri ini sedang berjalan menuju kehancuran, ya."

"Aku lebih suka menyebutnya 'berlari'," timpalku, menggerakkan kursor dan mengecek ulang formulirku, takut ada yang salah, "Rakyat selalu menyalahkan pemerintah, padahal sendirinya juga salah. Mereka komplain tanpa membantu apa-apa soal keadaan ini."

Ratna mengangguk tanpa menatapku, ikut fokus menatap layar laptop, "Menyedihkan, ya."

"Generasi kita juga moralnya makin rusak. Menyontek dan kelakuan malas sudah membudaya sejak lama."

"... Aku mau bilang 'busuk' tapi sendirinya juga masih busuk."

"Generasi kita itu kayak makanan gosong. Bahannya benar, cara masaknya salah. Makanya jadi gosong."

Ratna tertawa mendengar sindiranku, lalu menggelengkan kepala sambil meringis. "Kalau sudah begini, mati segan, hidup tak mau," ujarnya kepadaku.

Aku menoleh, menatapnya. Dia ikut melakukan hal yang sama. Sedetik kemudian, kami tertawa pahit.

Negeri ini memang sudah bobrok, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top