Bab 1 - Negatif

Reyna menghela napas beberapa kali, mengumpulkan segenap keberanian untuk mengangkat alat tes kehamilan dari sebuah gelas kecil. Tangannya gemetar kala mengambil tespek itu dengan mata terpejam.

Tuhan ... tolong untuk kali ini garis dua. Aku ingin memberi kejutan untuk suamiku, kata Reyna dalam hati.

Perlahan-lahan Reyna membuka mata. Seketika tubuh terasa lemas, kaki jenjang tak mampu lagi menopang tubuh rampingnya hingga luruh ke lantai. Buliran bening mulai menetes dari kedua sudut mata. Dalam hati ingin sekali dia berteriak, mengutuk takdirnya yang belum juga mendapat kepercayaan dari Tuhan. Dalam hati selalu ingin bertanya pada-Nya, kesalahan apa yang telah dia perbuat hingga pernikahan yang sudah lebih dari lima tahun, tak kunjung dikaruniai buah hati. Namun, tidak ... Aufar, sang suami, masih terlelap. Sebisa mungkin Reyna berusaha menahan suaranya agar tidak keluar dari kamar mandi. Dia menangis dalam diam.

Pintu kamar mandi terbuka, pria bertubuh tegap dengan sedikit rambut halus di bagian dagu dan dadanya masuk tanpa permisi. “Sayang, kenapa kamu duduk di lantai sambil nangis kaya gitu? Kamu jatuh?” tanya Aufar yang panik melihat kondisi sang istri, dan kini sudah terduduk tepat di samping sang istri.

“A-aku ....” Ucapan Reyna terhenti saat Aufar memotongnya dengan rentetan kata maaf. Dengan cepat jemari lentiknya menutup mulut sang suami. “Aku nggak pa-pa, Mas. Aku nggak jatuh.”

Mata yang biasa memancarkan binar kebahagiaan itu tampak sayu. Sisa-sisa air mata masih jelas menggenangi pelupuk mata.

“Terus, kamu nangis karena apa? Atau ada yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya? Atau mau panggil Dokter Greys ke sini?” tawar Aufar yang memang merasa cemas akan kondisi sang istri.

Reyna mengangkat telapak tangannya tepat di depan wajah Aufar. Menunjukkan sebuah tespek dengan posisi terbalik.

“Ini ...?” tanya Aufar yang dengan ragu-ragu mengambil alat tes kehamilan dari tangan Reyna.

“Maaf, aku masih belum bisa menghadirkan malaikat kecil untuk keluarga kecil kita, Mas,” ucap Reyna lirih dan lagi-lagi pipi tirus dibasahi air mata.

Dengan sigap Aufar menangkup wajah Reyna, kedua ibu jarinya mengusap lembut jejak air mata dari pipi yang lembut itu.

“Hey, nggak perlu nangis, Sayang. Kamu tahu, kan, kalau anak itu kehendak Tuhan, bukan kemauan manusia. Kita hanya berencana dan berproses. Kalau saat ini belum dikasih kepercayaan, itu artinya Tuhan mau kita usaha lebih keras lagi.” Aufar mengerlingkan mata, dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Reyna hingga satu sama lain dapat merasakan embusan napas masing-masing.

Sedetik kemudian bibir mereka saling berpagutan dengan lembut, dan perlahan memanas, dengan kedua tangan Aufar yang mulai bergerilya, mengusap punggung hingga melepas pengait bra sang istri dari balik baju tidur yang dikenakan. Gerakan tangan itu makin naik, menangkup leher jenjang nan putih, seiring makin panasnya pagutan bibir mereka.

“Mas ...,” ucap Reyna lirih dengan napas tersengal, membuat aktivitas mereka berhenti sejenak, “Jangan di sini. Aku nggak kuat kalau harus berdiri nantinya.”

Kedua sudut bibir Aufar terangkat, menampilkan sebuah senyuman yang begitu indah di mata Reyna. “Mau di bath-up aja?”

Dengan keras Reyna mencubit pinggang Aufar yang memang masih dalam pelukannya. “Nggak di bath-up juga. Di ranjang aja.”

“Tapi kenapa? Kan biar sekalian mandi, Sayang?” tanya Aufar yang sebenarnya memang sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama.

“Aku pernah nonton wawancaranya Dokter Boyke, katanya kalau mau cepet jadi, posisi istri ....”

“Ah, iya, Mas paham. Ya udah, mau di ranjang?” Lagi-lagi Aufar mengerlingkan mata kepada sang istri, kemudian membantunya untuk berdiri. Namun, saat Reyna hendak melangkah keluar dari kamar mandi, dengan sigap Aufar langsung menggendong tubuh mungil itu hingga Reyna memekik karena terkejut.

Dengan hati-hati Aufar meletakkan tubuh sang istri ke atas ranjang, dilanjutkan dengan melucuti pakaian yang menutupi kemolekan tubuh Reyna. Sesaat, dia memperhatikan detail tubuh yang sudah lima tahun menemaninya tidur, setelah itu kembali mencumbu bibir merah di hadapannya dengan rakus. Tangan yang semula membelai lembut rambut panjang yang selalu wangi, perlahan turun, kembali mengelus leher dan bagian belakang telinga.

“Mmm ....” Reyna melenguh, tangannya melingkar di leher Aufar, sesekali naik ke rambut dan meremasnya pelan.

Aufar mengangkat kepalanya, menampilkan senyum menggoda untuk Reyna. “Sayang, pagi ini Mas ada meeting, kalau kelamaan, Mas bisa telat.”

Reyna menangkup wajah sang suami dan menatapnya dengan sendu. “Lakuin sekarang kalau gitu.”

“Gimana bisa? Dia masih terkurung, Sayang,” goda Aufar sambil melihat ke antara dua pahanya yang terlihat menggembung. Hal itu memang sengaja dilakukan untuk memberi kode agar sang istri yang melepas semua pakaiannya.

Reyna menghela napas seraya memutar mata. Namun begitu, dia yang paham lantas melepas kancing piama Aufar satu per satu, kemudian melemparnya ke lantai. Tak lupa, celana panjang dan boxer hitam  juga sudah terlepas. Tak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuh keduanya.

Seketika Reyna menutup mata, seolah baru pertama kali melihat tubuh polos Aufar di hadapannya. “Kamu kebiasaan deh, Yang. Ngapain sih nutup mata kaya gitu? Ini bukan yang pertama kalau kamu lupa.” Aufar menarik tangan sang istri, sedikit mengintervensi Reyna agar mau menatapnya.

Sayangnya, hal itu tidak dihiraukan. Reyna masih saja memejamkan mata dengan rapat. Tak membuang waktu, Aufar lantas mengisap kuat puncak dada sang istri, hingga beberapa kali lenguhan yang makin membangkitkan gairah terdengar merdu di telinganya.

“Ah ... Mas ....” Reyna mendesah pelan seraya menggigit bibir bagian bawahnya saat Aufar kini tengah bermain di area yang paling sensitif. Tangan yang awalnya mencengkeram seprei, kini beralih ke kepala Aufar, jemari lentiknya menyisir sambil meremas pelan rambut sang suami.

Setelah puas memainkan lidah di bagian intim Reyna, Aufar kembali bangkit. Membuka lebar paha sang istri dan memosisikan tubuh di antara keduanya.

Pelan tapi pasti, Reyna dapat merasakan sesuatu yang begitu keras memasuki tubuhnya, membuatnya merasa penuh. Hentakan yang awalnya pelan, makin lama makin cepat. Keduanya beradu desahan. Sesekali Aufar juga melumat bibir dan puncak dada istrinya.

“Mas ... a-aku ... ah.” Reyna mengerang saat merasakan puncak kenikmatan.

Aufar menghentikan aktivitasnya, mengambil bantal dan diletakkannya di bawah pinggul Reyna, kemudian kembali melanjutkan apa yang dia tunda beberapa detik lalu. Namun, sebelum itu Aufar mengangkat kedua kaki sang istri dan diletakkannya di pundak.

“Ah, Mas ....” Reyna kembali melenguh saat merasakan hujaman Aufar makin cepat, dengan penetrasi yang cukup dalam. Sesekali dia juga mengerang, saat benda tumpul yang memenuhi area intim seolah juga ingin menemukan batas dinding rahimnya.

“Sayang ... ah, Mas ma-u ....” Aufar tak lagi bisa melanjutkan perkataannya, naluri meminta dia untuk terus melakukan gerakan lebih cepat lagi, sebelum akhirnya sebuah ketukan dari balik pintu kamar diikuti suara yang sangat mereka kenal memanggil Aufar dan juga Reyna, memaksa keduanya untuk menunda menuntaskan hasrat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top