8


Akandra memanggul surfing board menuju sebuah gubuk di tepi pantai. Beberapa temannya sudah lebih dulu ke darat. Sangat jarang ia bisa menghabiskan waktu menekuni hobinya. Pertama kali mengenal surfing saat masih bertugas sebagai dokter PTT di Lombok. Kebetulan ia bertugas di daerah pesisir yang terkenal memiliki ombak yang cukup baik. Diperkenalkan oleh pemuda setempat, akhirnya keterusan sampai sekarang.

Entah kenapa berada ditengah laut, hanya mendengarkan deru ombak dan berkejaran dengan gelombang tinggi membuatnya merasa tertantang. Entah mungkin karena setiap hari hanya berkutat dengan pasien terus menerus. Sehingga butuh pengalihan fokus untuk tetap bisa menyeimbangkan pikiran.

Sesampai di gubuk ia segera mengikuti perbincangan beberapa temannya.

"Gimana dok, kapan-kapan ke Banyuwangi yuk. Spot disana bagus. Belum terlalu ramai juga."

"Nanti lihat jadwal dulu. Kasih tahu saja tanggalnya di grup. Kalau bisa saya usahakan ikut."

"Gitu dong, dok. Sesekali gabung bareng kita. mumpung belum ada yang marah. Kalau sudah kayak saya, harus rajin-rajin bohong. Kalau nunggu ijin istri nggak bakalan bisa seperti ini."

Akandra hanya tertawa kecil. Tidak ada yang tahu, kalau ia kemari selain menghilangkan kepenatan, sebenarnya juga menjauh dari sosok Alea. Sejak malam itu, keduanya sama sekali tidak berkomunikasi. Mengira kalau gadis tersebut memang tidak ingin melanjutkan hubungan dengannya. Mereka mungkin bukan pasangan yang cocok. Karena Akandra tida bisa memahami pasangan seperti yang diinginkan Alea.

Ia bukan tipe pria yang bisa bemanis-manis, merayu sedemikian rupa. Mengatakan sesuatu yang bukan kebenaran. Ia juga tidak pandai menutupi kebohongan agar gadisnya tersenyum dan percaya. Akandra selalu hidup apa adanya. Baginya kejujuran adalah nomor satu, meski kadang pahit. Ia akan terus berhubungan dengan Lintang, entah Alea suka atau tidak. Mereka merupakan satu tim disebuah organisasi nirlaba yang bergerak saat ada bencana alam. Dan selama ini ia tidak pernah terganggu dengan kehadiran Lintang. Mereka adalah teman dan sepupu yang baik.

Tak lama ia memohon pamit pada teman-temannya untuk kembali ke Jakarta, karena nanti sore harus praktek di klinik. Sebelum berpisah mereka menyempatkan diri untuk foto bersama. Sekadar mengingat suatu hari kelak, bahwa pernah menghabiskan waktu dilaut hari itu. Akandra segera menguploadnya ke media sosial miliknya sesuai kebiasaan mereka.

***

Sore itu klinik sangat ramai. Terutama karena keikutsertaan pihak donatur yang membawa bantuan berupa susu untuk anak-anak dan ibu hamil. Beberapa relawan sibuk mencocokkan data penerima dan jumlah bantuan. Sementara anak-anak bermain dihalaman klinik menunggu nama mereka dipanggil. Akan ada sahutan terdengar bekali-kali untuk memanggil nama penerima.

Akandra sendiri masih sibuk dengan pasien manula. Beberapa dari mereka adalah pasien penderita paru-paru yang sudah berbulan-bulan berobat. Meski obat dari pemerintah diberikan secara gratis, namun masih banyak diantara mereka yang malas meminum dengan rutin. Sehingga kadang harus mengulangi pengobatan dari awal. Hal tersebut sering membuat Akandra menggelengkan kepala. Karena banyak orang menganggap bahwa TB adalah penyakit biasa. Padahal TB paru jelas bisa menulari siapa saja.

Seorang perawat yang mendampinginya harus berteriak untuk memanggil nama agar suaranya terdengar. Pasien datang silih berganti. Kebetulan juga hari ini ada seorang bidan yang mendampingi Akandra. Meski berada di ruangan berbeda, namun kebisingan tidak bisa dihindari. Karena pembatas ruangan hanyalah selembar tripleks. Yang sudah pasti tidak kedap suara.

Pukul Sembilan malam, barulah segala keruwetan itu berakhir. Para perawat menyusun kembali kartu pasien. Juga membersihkan klinik dan menyimpan obat-obatan yang dibawa oleh Akandra. Selesai semua, barulah mereka pulang. Seperti biasa, pria itu akan mengantar dulu rekannya ke rumah masing-masing. Kebetulan mereka tinggal tidak jauh dari sana. Kali ini yang terjauh adalah Bunda Rita, yang merupakan seorang bidan senior di sebuah rumah sakit pemerintah.

"Dokter baru surfing?" tanya Bidan Rita saat melihat papan surfing masih ada diatas mobilnya.

"Iya, tadi siang baru pulang. Makanya kemarin sore saya digantikan Dokter Artha."

"Nggak capek,dok?" tanya perempuan itu lagi.

"Lumayan sih, tapi sudah biasa. Habis ini saya pasti tidur nyenyak. Besok pagi sudah pulih kembali."

"Oh iya dok, saya mau bertanya sesuatu. Tapi berbau pribadi, apa boleh?"

"Wah, buat saya nggak ada yang pribadi. Mau nanya apa, bu?"

"Dokter masih sendirian? Maksud saya apa sudah punya pacar, gitu?"

Akandra tertawa lepas, hampir semua orang tahu kalau dia belum menikah dan tidak pernah terlihat punya pacar. Karena memang selalu sendirian.

"Memangnya kenapa, bu?"

"Ada keponakan saya, sudah umur 26. Guru di sekolah swasta. Orangnya baik, tapi nggak pernah pacaran. Siapa tahu kalian jodoh, dok."

"Wah, terima kasih sekali. Tapi beginilah keadaan saya. Kasihan nanti keponakan ibu. Saya punya banyak kegiatan diluar dan tidak bisa bersama dia terus. Ibu sudah lama kenal saya kan? Bisa saja tiba-tiba saya sudah di daerah pedalaman. Padahal perempuan kan biasanya ingin dimanja."

"Iya juga ya dok. Tapi apa nggak kepingin menikah begitu?"

"Siapa sih yang tidak kepingin punya pasangan, tapi ya kembali lagi. Tidak semua perempuan bisa menerima pekerjaan saya. Dia harus siap menjadi nomor dua. Walaupun nanti saya juga nggak mungkin menelantarkan dia. Kasihan masyarakat yang sakit nanti kalau saya harus membiarkan klinik sering tutup karena alasan yang tidak penting."

"Iya juga ya, dok. Tapi begini saja. Kalau boleh nanti saya kasihkan nomor dokter ke dia. Siapa tahu bisa buat teman ngobrol."

Akandra merasa tidak enak, sehingga akhirnya ia mengiyakan. Meski yakin, kalau itu tak akan bisa berjalan sesuai keinginan Bu Rita.

***

Pria itu menonton vidio siaran langsung diakun Instagram Alea. Sudah lewat tengah malam sebenarnya. Kemudian hanya bisa menggeleng, dunia mereka begitu berbeda. Meski ia sebenarnya tertarik pada sosok sang gadis. Siapa sih yang tidak terpaku pada Alea? Wajah cantik serta tubuhnya yang indah. Tidak ada mata yang berpaling saat dia ada. Mungkin gadis itu hanya ingin menjadikannya seorang teman. Ia saja yang menanggapi secara berlebihan.

Ditatapnya kembali layar ponsel yang masih menayangkan keseruan acara tersebut. Terlihat ada beberapa orang asisten Alea ikut. Juga tampak seorang pria yang tengah menari bersamanya. Setahunya adalah seorang pengusaha muda di Jakarta. Mereka pernah bertemu dalam sebuah acara amal yang diadakan perusahaan milik keluarga pria itu.

Ia bukan siapa-siapa, ditutupnya ponsel dan segera berbaring. Ditatapnya sebuah pigura yang sebenarnya baru terletak diatas nakas. Sebuah foto Alea bersama Ibu Rianty. Diambil saat pemilik rumah sakit itu berulang tahun. Ia menyayangi keduanya, karena itu mencetak foto mereka dan memajangnya disitu. Ditempat paling pribadi dan tak seorangpun yang bisa masuk. Sayang rasa itu harus dibatasi kenyataan, bahwa ia tidak bisa memiliki mereka.

Akandra memijit keningnya, ia tahu akan kembali sulit tidur malam ini. Kenapa takdir mengharuskan mengenal keduanya? Laki-laki itu kemudian melangkah keluar kamar sambil menenteng macbook miliknya. Memilih mengerjakan beberapa laporan di ruang makan. Sambil menunggu rasa kantuk menjelang. Pusing dengan urusan hati.

***

Pagi itu dihebohkan dengan kembali masuknya Alea ke rumah sakit. Perempuan itu dirawat karena kedapatan pingsan disebuah acara. Akandra terpaksa kembali menemuinya. Tubuh lemah dan pucat itu berbaring diatas ranjang. Menatapnya dengan sayu. Ada Richard laki-laki yang dilihatnya bersama Alea saat di Bali. Sang ibu buru-buru menghampirinya.

"Ini lho dok, Alea. Masak nggak kapok-kapok sampai sekarang? Ada waktu libur bukannya istirahat, malah sibuk party dengan teman-temannya. Yang dulu saja belum sembuh benar, ini malah sudah dirawat lagi."

Akandra hanya mengangguk sambil membaca status pasien yang diserahkan perawat. Membaca dengan teliti apa yang tertera disana. Selesai membaca disentuhnya kening gadis itu. Meski sebenarnya bukan sekedar sentuhan dokter biasa terhadap pasien. Melainkan ada rindu yang harus ditutupi agar tidak ada yang tahu.

"Kamu demam?" tanyanya pelan.

Alea mengangguk.

"Ada minum alkohol kemarin?"

Kembali ada anggukan disana. Akandra menghembuskan nafas pelan sebelum berkata.

"Tidak semua orang bisa minum sesuka hati, salah satunya ya kamu. Masak sih harus kembali kemari dengan penyakit yang sama. Tekanan darah kamu juga sangat rendah, istirahat lagi ya." Ucapnya sambil berusaha tersenyum. Meski sebenarnya ingin segera meninggalkan ruangan, karena Richard tampak mengelus rambut Alea.

Tidak mudah bekerja dengan melibatkan perasaan. Selesai berkata demikian. Akandra segera berlalu meski masih sempat pamit terlebih dahulu. Ia tak suka pada pemandangan itu.

***

Happy reading
Maaf untuk typo
8121

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top